Judul diatas tentulah sangat aneh , karena tidak mungkin suatu demokrasi tanpa ada warga negara , demokrasi dan warga negara adalah satu kesatuan karena demokrasi menjadikan warga negara sebagi subjek berdaulat dalam wadah republik, tapi marilah kita hentikan dahulu contradictio in terminis ini karena contradictio in terminis akan dicoba diuraikan dalam akhir tulisan ini .sekarang marilah kita lihat yang terjadi dalam demorasi politik kita sekarang setelah 12 tahun lebih kita mengalami reformasi .tak ayal lagi adalah suatu keniscayaan karena sejak 1998 reformasi telah banyak merubah hidup kita dalam segala bidang dari politik, ekonomi , kultural bahkan sampai dunia pribadi.

Telah terjadi banyak perubahan dalam suprastruktur politik dan infrastruktur politik kita , UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah diamandemen berkali-kali , muncul kelembagaan negara yang belum pernah ada sebelumnya di jaman Orba seperti Mahkamah Konstitusi , Komisi Judisial dan berbagai komisi negara yang kesemuanya itu dibarengi dengan aliran inflow capital portofolio yang meningkat tajam , pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan target APBN, IHSG yang hampir mencapai angka hampir 4000 .Tetapi tiu semua apakah sudah memberikan kepuasan pada kita khususnya masyarakat awam yang tidak terlalu suka dan tidak mengerti akan segala parameter keberhasilan pemerintah dalam angka statistik .

Mengapa di masyarakat awam secara laten dan aktual muncul keresahan yang walaupun tidak tampil di permukaan tapi teraksentuasi dalam media ekspresi publik baik bersifat grafis maupun audio-visual bahkan secara virtual , ketidakpuasan dan keresahan masyarakat setidaknya yang terbaca dalam hasil survei yang menyatakan

tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono terus menurun selama satu tahun masa pemerintahannya.( menurut hasil survei LSI Aguatus 2010 ,
tren tingkat kepuasan masyarakat terus menurun masyarakat terhadap kinerja Presiden SBY sejak terpilihnye kembali SBY sejak menjadi Presiden pada Juli 2009 lalu dan penurunan tingkat kepuasan masyarakat itu, dipengaruhi menurunnya tingkat persepsi masyarakat terhadap kondisi keamanan dan ketertiban nasional, proses penegakan hukum dan kondisi ekonomi yang terus memburuk. dimana kelompok masyarakat yang menilai kondisi keamanan dan ketertiban lebih baik mengalami penurunan dari 59 persen menjadi 55 persen. Begitu pun, kondisi penegakan hukum juga mengalami penurunan dari 43 persen yang menyatakan baik menurun menjadi 35 persen.

Data diatas bersifat statistik yang ditangkap melalui survey , sementara yang tidak tertangkap melalui survey , yang bisa kita tangkap melalui perbincangan melalui media publik lebih tajam lagi karena di kalangan masyarakat awam telah berkembang suatu pendapat bahwa di masa rezim Orde Baru keadaan lebih baik karena terjadinya kestabilan politik dan kestabilan ekonomi dibandingkan masa sekarang walaupun pada masa Orde Baru penuh dengan represi baik yang aktual dan simbolik , masyarakat awam berfikir lebih pada apa yang mereka lihat dan rasakan bukan apa yang dianalisa dan dipikirkan, mereka tidak terlalu suka pada parameter kemajuan dalam demokrasi politik seperti pemilihan umum yang langsung baik pada tingkat pilpres , pemilukada propinsi dan kabupaten / kota , masyarakat kita tidak menyukai itu sebagai indikator kemajuan demokrasi politik karena yang mereka lihat adalah hasil dari pemilu itu sendiri baik pilpres, pemilu legislatif maupun pemilukada yang hanya menghasilkan elite politik yang bekerja untuk kepentingan pribadi , kelompok , partai dan sedikit sekali untuk kepentingan masyarakat ini yang masyarakat sering nyatakan secara terbuka melalui media publik baik media publik audio-visual maupun virtual.

Tetapi salahkan jika masyarakat awam menilai seperti diatas , apakah ada empiris dari pandangan masyarakat seperti itu? Untuk melihat ini kita harus melihatnya secara out of box , bahwa demokrasi politik kita lahir dan berkembang ketika bangunan demokrasi kontemporer tidak lagi dibangun secara konvensional melalui pembangunan infrastruktur politik seperti pemilu dan penguatan suprastruktur politik seprti lembaga negara dan penguatan partisipasi masyarakat melalui proses transisi demokratis dari rezim authoritarian menuju pemerintahan demokratis sebagaimana yang terjadi di negara-negara Amerika Latin atu seperti di Korea Selatan , demokrasi kita dibangun dalam kemendadakan , yaitu ketika aksi massa yang bersifat masiv yang dimotori mahasiswa berhasil menumbangkan rezim authoritarian Orba di bawah Presiden Suharto yang diwarnai kekerasan berdarah ( tragedi Mei 98) dan kemudian setelah pemilu 1999 setelah terbentuk pemerintahan hasil pemilu dihasilkan banyak kebijakan yang intinya liberalisasi media , otonomi daerah dan supremasi sipil dan hasil dari ketiga hal ini adalah:

– media massa yang bebas dari represi pemerintah dan berkembangnya multidimensionalitas media

– pemerintah daerah yang terlepas dari kontrol pusat – kecuali untuk keuangan ,hankam, agama –

– termarginalkannya TNI sebagai kekuatan sosial politik dan dominasi partai politik dalam setiap jenjang pemerintahan

Yang akan kita bahas untuk selanjutnya adalah liberalisasi media yang telah menjadi pilar demokrasi dan menjadi bangunan peambentuk demokrasi itu sendiri , dan media yang membentuk demokrasi kita bukan lagi seperti media jaman Orde baru yang penuh dengan represi oleh pemerintah melalui sensor , instrumen SIUPP dan pembreidelan .

Media sekarang baik yang audio-visual lebih-lebih yang virtual sekarang dibangun atas stimulasi imagologis (pencitraan) dan logika aritifisial dan superfisial yang menstimulasi masyarakat melalui suplai informasi masiv yang konsumtif , fetitistik dan penuh pencitraan dan suka tidak suka ini telah menjadi arsitektur pembangun demokrasi kita dan telah terjadi hegemoni oleh media dalam bangunan demokrasi yang dibentuk , dan terjadi simbiosa mutualisma antara demokrasi dan media membentuk bangunan demokrasi dan yang terjadi adalah suatu konstruksi demokrasi yang mutan karena mesin demokrasi politik yang menjadi inti demokrasi yang semestinya menjadi agen pembangun karakter masyarakat dengan memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi dengan kekutan pikiran , pengetahuan dan intelektualitas akhirnya hanya menjadi mesin pencitraan yang dikuasai oleh imagologi (pencitraan) ,tontonan dan teater politik dari para pencari perhatian (attentionalist) yang tidak lain dari elit politk sendiri yang berupaya mencari sanjungan politik dan pencitraan politik masiv melalui media kontemporer (audio-visual-virtual) yang bersifat masiv sehingga proses demokrasi tak berhasil membangun masyarakat politik yang cerdas , etis dan estetis karena pendidikan politik warga telah dihegemoni dan diambil alih oleh dan melalui “acara penghiburan warga” (civic entertainment) dengan para elite politik di segala bidang menjadi selebritinya dan ini bisa terjadi karena elite politik sudah terjebak pada logika media yang penuh dengan kedangkalan , artifisialitas dan virtualitas dibawah kuasa modal , padahal para elit politik yang dipilih melaui pemilu demokratis ini – sama seperti warga negara lainnya yang merupakan subjek politik tetapi alih-alih menjadi subjek politik yang mempunyai kuasa dan wewenang dengan memperkaya demokrasi dengan pengayaan makna dan nilai justru menjadi obyek politik yang tunduk dan patuh pada logika artifisial dan superfisial dari strategi media itu sendiri yang mengalami proses simbiosis mutualisma dengan demokrasi para elite politk.

Logika artifisial dan superfisial dari media ini akan secara perlahan tapi pasti menghancurkan rasionalitas politik itu sendiri bahkan in the long run menghancurkan masyarakat politik , kalau kita masih percaya bahwa demokrasi berdasarkan pada logika rasionalitas politik yang menyangkut pilihan ,tindakan dan keputusan politik untuk mencapai tujuan warga negara sebagai masyarakat politik .

Logika artifisial dan superfisial dari media bergerak dengan kuasa rasionalitasnya sendiri yang menjebak para aktor politik dan elit politk terjebak dalam logika artifisial dan superfisial dari media , dan pembelokan oleh logika media kontemporer ini bila tanpa disertai kecerdasan , intelelektualitas dan kebijaksanaan politik akan mendekonstruksi bangunan demokrasi politik yang hal ini akan membahayakan keberlangsungan demokrasi politik di masa depan karena ada distorsi pengetahuan, ketrampilan dan kompentensi politik yang hanya diarahkan hanya untuk imajinasi politik dari para elite politik untuk mecapai kekuasaan , dengan menghadirkan tontonan politik dangkal , artifisial dan irrasional bagi warga negara sebagai subjek demokrasi politik , dan ini diperparah dengan kenyataan bahwa ketika ruang kebebasan bagi masyarakat dibuka sejak reformasi 1998 masyarakat kita yang pada mulanya sebagian besar hidup – meminjam istilah Alvin Toffler- dalam First Wave dan Second Wave tiba -tiba dengan ruang kebebasan yang dibuka lebar sejak 1998 langsung dikondisikan pada masyarakat yang hidup dalm Third Wave , sekarang kita bisa melihat tanpa halangan banyak peristiwa tragis misalnya yang terjadi pada masyarakat Papua yang sebagian besar hidup sebagai masyarakat First Wave tetapi peristiwa tragis yang mereka alami berupa penyiksaan dan pelanggaran HAM yang dialami dapat disaksikan melaui YouTube yang merupakan ikon masyarakat Gelombang Ketiga (Third Wave).

Jika demokrasi politik hanya tereduksi menjadi tontonan politik yang dihadirkan oleh media dengan segala logika artifisal, superfisial dan ( seringkali) irrasional maka secara perlahan demokrasi kita menjadi demokrasi tanpa warga negara karena warga negara hanya menjadi penonton (viewer) dari para pencari perhatian ( attentionalist) yaitu para elite politik yang menggiring warga negara pada irrasionalitas politik dan desubtansialitas politik untuk mencapai tujuan politik mereka yang mendasarkan diri pada pencitraan melalui imajinasi populer yang dihadirkan pada warga negara sebagai masyarakat politik.