Julian Assange, Wikileaks dan Dekonstruksi Hegemoni

//
//
// 

//

Julian Paul Assange atau yang lebih kita kenal dengan nama Julian Assange lahir pada tanggal 3 Juli 1971 di Townsville, Queensland, Australia. Dia adalah Pendiri sekaligus Pemimpin redaksi dan juru bicara WikiLeaks. Wikileaks sendiri merupakan situs yang mempublikasikan dokumen rahasia pemerintah dan beberapa institusi.

Pada usia 11 hingga 16 tahun, Assange hidup dalam pelarian karena hubungan ibunya dengan seorang musisi dipenuhi kekerasan. Pada usia 18 tahun, dia memiliki seorang anak. Dia berpisah dengan istrinya pada tahun 1991, setelah polisi menyerang dan membawa putra mereka. Hingga tahun 1999, dia melakukan gugatan atas pengaturan hak asuh anaknya. Bersama dengan ibunya, Assange membentuk suatu kelompok aktivis Penyelidikan Orang Tua terhadap Perlindungan Anak. Kegiatan kelompok ini berpusat pada pembuatan bank data yang berisi catatan hukum terkait dengan isu hak asuh anak di Australia.

Pada tahun 1991, ketika Assange berusia 20 tahun, dia dan beberapa teman yang berprofesi sebagai hacker (pengacak komputer) memecahkan dan memasuki jaringan terminal Nortel, perusahaan telekomunikasi Kanada. Akibatnya, dia tertangkap dan dinyatakan bersalah atas 25 dakwaan yang dikenakan padanya. Dia harus membayar denda sejumlah ribuan dolar kepada pemerintah Australia, namun dibebaskan dari hukuman penjara.

Assange diketahui pernah belajar di enam universitas. Dari tahun 2003-2006, dia mempelajari fisika dan matematika di Universitas Melbourne. Selain itu, dia juga mempelajari filosofi dan neurosains. Pada tahun 1990-an, Assange bekerja sebagai perancang program perangkat lunak yang mengatur keamana komputer di Australia dan luar negeri. Di tahun 1997, dia ikut menciptakan Rubberhose deniable encryption, suatu sistem kriptografi yang dibuat untuk pekerja hak asasi manusia untuk melindungi data sensitif di lapangan dan dia juga menjadi salah satu tokoh kunci dalam gerakan pembebasan perangkat lunak.

Jaksa Swedia menjatuhkan tuduhan kepada Assange atas pemerkosaan, pelecehan seksual, dan pemaksaan yang dilaporkan oleh dua wanita. Tuduhan tersebut diumumkan pada Agustus 2010, kemudian dibatalkan dan setelah itu diperbaharui kembali. Pada 24 November 2010, pengadilan Swedia menolak usaha banding Assange atas perintah penahanan yang dijatuhkan kepadanya. Kasus ini masih ditangani oleh Mahkamah Agung.

Julian Assange dan WikiLeaks

Di tahun 2006, Assange memutuskan untuk mendirikan WikiLeaks. Hal ini dilakukannya karena dia yakin bahwa pertukaran informasi akan mengakhiri pemerintahan yang tidak sah. Situs tersebut memiliki server utama di Swedia dan menerbitkan berbagai bahan dari berbagai sumber. Terkadang, dia dan beberapa rekan di WikiLeaks menyusup ke dalam sistem keamanan untuk mencari dokumen dan kemudian mempublikasikannya. WikiLeaks tidak menggaji Assange, namun dia memiliki investasi yang tidak diungkapkannya.Sekarang banyak polisi internasional bekerja sama untuk memburu Assange untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam kebocoran informasi rahasia milik negara..

Wikileaks adalah organisasi internasional yang bermarkas di Swedia.[2] Situs Wikileaks menerbitkan dokumen-dokumen rahasia sambil menjaga kerahasiaan sumber-sumbernya. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006. Saat ini alamat situs telah dialihkan ke http://www.wikileaks.ch untuk alasan keamanan. Organisasi ini didirikan oleh disiden politik Cina, dan juga jurnalis, matematikawan, dan teknolog dari Amerika Serikat, Taiwan, Eropa, Australia, dan Afrika Selatan.[1] Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks.[3] Situs Wikileaks menggunakan mesin MediaWiki.
WikiLeaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award dari majalah Economist untuk tahun 2008.[4] Pada bulan Juni 2009, WikiLeaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun 2008 berjudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances,[5] sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh polisi di Kenya.[6] Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan WikiLeaks pada peringkat pertama dalam “situs yang benar-benar bisa mengubah berita”.[7]
Pada Juli 2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan.[8] Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis kabel diplomatik Amerika Serikat.apa yang terjadi dengan Wikileaks adalah hasil dari tata dunia baru yang terbentuk pasca perang dingin dimana dalam era ini demaokrasi dan media melakukakan simbiosa mutualisma dan ini terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam era reformasi proses reformasi terjadi terobosan pada tingkat ideologi politik, globalisasi di segala bidang sebagai peluang memperluas wawasan geopolitik, perkembangan teknologi informasi digital sebagai cara memperlancar komunikasi politik, dan keterbukaan ekonomi melalui pasar bebas sebagai medan untuk memperluas pertukaran ekonomi-politik. 

Namun, meski semua kondisi itu telah terpenuhi, proses “percepatan demokrasi” tak kunjung datang. Alih-alih kian menguat, bangunan demokrasi justru kian “keropos”, dan wajah demokrasi tampil kian “palsu”, bahkan di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat. Di berbagai tempat proses demokratisasi dipenuhi intrik-intrik, jalan terjal, dan horor seperti ditunjukkan di Afganistan, Irak, dan Indonesia.
Masa transisi menuju demokrasi terlalu panjang, spirit perubahan terlalu lamban, dan kondisi turbulensi terlalu berlarut-larut, menimbulkan ketaksabaran, keputusasaan, dan frustrasi. Kemacetan demokratisasi membangkitkan spirit “negativitas demokrasi” (democracy negativity), berupa sikap-sikap sinis, apatis bahkan fatalistik terhadap demokrasi, yang dianggap terlalu “elitis”, karena hanya dinikmati elite tertentu, sementara rakyat tak mampu mengubah nasib.
Ada “hantu-hantu demokrasi”, berupa “jejaring kekuasaan” extra-nation state (teroris, narkoba, subkultur, kapitalis, cyberspace) yang memacetkan jalan demokrasi.
“Kuasa rakyat” (demos) sebagai pilar demokrasi kini diambil alih “kuasa jaringan” (netos), sehingga kekuasaan tertinggi yang secara de jure ada di tangan rakyat, kini secara de facto beralih pada “kekuasaan jaringan”, dengan medan “kedaulatan” sendiri, yang menjadi “parasit’’ di dalam sistem demokrasi.
Parasit demokrasi
Jacques Derrida dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1994) menjelaskan, “hantu” (specter) sebagai segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem, ideologi, atau rezim—terutama yang telah “mati”—yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim (demokratis) yang baru. “Hantu-hantu” itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai parasit, yang mengancam keberlanjutan sistem itu.
Proses demokratisasi yang berlangsung di atas tubuh bangsa ini kerap dibayangi “hantu-hantu” itu, yang menyebabkan berjalan amat lamban, chaotic, dan terancam masa depannya.
Pertama, “hantu totalitarianisme”, yang bangkit dalam wujud baru, yaitu (1) “fasis-fasis kecil” (micro-fascism) dalam sistem otonomi daerah; (2) “fasisme massa” (mass fascism) berupa pemaksaan kehendak (organisasi) massa melalui aneka kekerasan massa (penyerangan, penghancuran, pembakaran); dan (3) “fasisme media” (media fascism) berupa kecenderungan “totaliter” media (elektronik) dalam membentuk pikiran dan kesadaran massa, tanpa diimbangi kontrol dan pengawasan.
Kedua, “hantu fundamentalisme”, baik fundamentalisme agama, politik, maupun ekonomi. Isu terorisme global dapat dilihat dalam skema perseteruan antara satu “fundamentalis agama” dan “fundamentalisme agama” lainnya, yang menggunakan negara sebagai “medan permainan”. Dalam program antiterorisme Presiden George W Bush, fundamentalisme agama, politik, dan ekonomi dikombinasikan sebagai “kendaraan” melawan terorisme atas nama demokrasi.
Ketiga, “hantu anarkisme”, berupa spirit “pembangkangan sipil” (civil disobedience) terhadap otoritas negara, dengan merebaknya tafsir bebas, cara kekerasan dan tindak main hakim sendiri aneka kelompok tertentu, untuk menyelesaikan aneka persoalan publik (tempat perjudian, minuman keras, dan pornografi) yang tidak dapat diatasi negara. Sebaliknya, pelaku pornografi dan tindak sosial memperjuangkan “kebebasan ekspresi tanpa batas” (baca: anarkis) juga atas nama demokrasi.
Keempat, “hantu informasionisme” (specter of informationism). Politik abad informasi amat menggantungkan diri pada kekuatan tekno-media (techno-mediatic power) sebagai aparatus komunikasi aneka gagasan politik. Tetapi, dengan terbukanya media bagi aneka manipulasi citra, virtualitas politik yang diharapkan dapat memperkokoh bangunan demokrasi, malah mengancam masa depan demokrasi sendiri, karena runtuhnya kebenaran (truth) di dalamnya.
Demokrasi atau netokrasi?
Dalam era politik virtual (virtual politics) yang dibangun tidak lagi oleh kekuatan geopolitik, tetapi oleh kekuatan “politik jaringan” (politics of network), terutama jaringan televisi dan internet, “kedaulatan” kini kehilangan sistem hierarki dan klasifikasinya. “Hantu-hantu jaringan” (teroris, narkoba, kapitalis, subkultur, cyberspace) yang hidup di atas tubuh negara demokratis mengembangkan “sistem kedaulatan” sendiri, “melampaui” kedaulatan negara dan mengancam sistem demokrasinya.
Alexander Bard dan Jan Soderqvist, dalam Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism (2002) menyebut kecenderungan beralihnya kuasa “rakyat” (demos) ke “kuasa jaringan” (netos), sebagai peralihan demokrasi menuju netokrasi (netocracy). Dalam kuasa jaringan seperti internet tidak ada yang disebut “rakyat”, digantikan para individu bebas, yang tidak terikat sistem demokratis mana pun.
Terorisme adalah “jaringan” seperti itu, yang tak mengenal kekuasaan, rakyat, dan teritorial kekuasaan, tetapi mampu membangun sistem “kedaulatan” sendiri. Meski tanpa institusi kekuasaan, “kekuasaan nyata” terorisme ada di mana-mana; meski tanpa teritorial, teroris dapat menggelar kekuatan di teritorial mana pun (deterritorialisation); meski tanpa “rakyat”, teroris dapat merekrut para individu dari ras, bangsa, dan agama mana pun. Jaringan kapitalisme, narkoba, subkultur, atau komunitas virtual mempunyai cara kerja serupa.
Dihuni “hantu-hantu”, masa depan demokrasi menjadi semacam “demokrasi bayang-bayang”, di dalamnya geopolitik diambil alih “netopolitik” (neto-politics), komunikasi politik digantikan simulasi politik, rakyat menjadi komunitas virtual, fundamentalisme menggerogoti demokrasi, dan demos menjelma menjadi netos. Demokrasi hanya tampak pada citra permukaan, sementara dalam tubuh demokrasi hidup spirit-spirit anti-demokrasi, the specters of democracy.

apa yang kita saksikan sekarang dengan Wikileaks beserta Julian Assangenya adalah suatu ironi zaman karena negara sebesar Amerika Serikat yang merupakan pemegang hegemoni duni era pasca perang dingin dan berambisi menjadi logosentrisme dalam segala hal akhirnya menjadi bulan-bulan dari sebuah situs yang bernama Wikileaks karena Amerika Serikat dalam hegemoni global sekarang yang ingin dipegangnya justru terjebak dalam teknokogi informasi yang menjadi kekuatan dari Amerika Serikat sendiri , dan kemampuan WIkileaks dalam semesta informasi melalui teknologi informasi ( cyber) mampu menelanjangi segala intrik-intrik dan kebusukan poitik AMerika SErikat tidak hanya terhadap lawan dari Amerika Serikat sendiri tetapi juga terhadap para sekutu dekatnya , sehingga apa yang disebut dengan double standard dari kebijakan poitik ( luar negeri) Amerika menjadi benar adanya dan tak terbantahkan , dan konyolny sikap Amerika Serikat dan negara sekutunya menghadapi fenomena WIkileaks sunggullah memalukan karena menghadapinya secara reaktif dan emosional dangkal dengan menangkap Julian Assange di Inggris dengan tuduhan yang bisa dibilang dibuat-buat, Amerika Serikat dan negara -negara yang membenci sepak terjang Wikileaks tidak sadar bahwa dalam era sekarang kekuatan dari suatu kekuasaan bukan terletak pada individu seperti Julian Assange tapi pada jaringan yang terbentuk daripadanya , tidak saja dalam jaringan yang dibentuk Wikileaks sendiri tapi dari jaringan komunitas yang mnedukung Wikileaks itu sendiri , itu terbukti ketika Wikileaks ‘ dibunuh ‘ oleh negara seperti Amerika Serikat justru ribuan lebih para hacker di dunia menghidupkannya kembali , Episteme zaman ini meminjam definisi Michael Focault adalah kuasa sehingga siapa yang memiliki kuasa (power) adalah orang yang punya kekuasaan untuk mereproduksi pengetahuan, dan Wikileaks beserta julian assange adalah orang yang hidup dalam logika berpikir seperti ini.sehingga melalui upaya yang dilakukan oleh Wikileaks adalah dekonstruksi terhadap hegemoni ..

// //

Leave a comment