Tentang Hak-hak Pekerja dalam Penggabungan (Merger) dan Pengambilalihan (Akuisisi)

Coretan

Tentang Hak-hak Pekerja dalam Penggabungan (Merger) dan Pengambilalihan (Akuisis)[1]

 

Tidak ada perusahaan yang dapat berjalan tanpa pekerja. Selain konsumen, pekerja adalah aktor sosial yang paling menentukan jalan/tidaknya suatu perusahaan. Sehingga perusahaan manapun akan ketakutan jika pekerjanya melakukan aksi mogok, sama halnya jika konsumen melakukan boikot terhadap produk perusahaan. Namun demikian, posisi pekerja kerap luput dari perhatian akademisi maupun praktisi hukum. Terbukti,ketika mempersiapkan coretan singkat ini, Penulis kesulitan menemukan referensi mengenai dampak penggabungan dan pengambilalihan terhadap pekerja. Hal ini mencerminkan bahwa penggabungan dan pengambilalihan lebih dianggap sebagai tindakan hukum dan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan (bukan pekerja). Pekerja tidak dianggap sebagai aktor utama dalam proses ini. Meskipun secara sosiologis, penggabungan dan pengambilalihan berdampak besar terhadap pekerja.

1. Perspektif Ekonomi Manajemen

Dalam perspektif manajemen, penggabungan dan pengambilalihan dilakukan semata-mata agar perusahaan dapat mengoptimalkan keuntungannya dengan cara yang efisien. Maka dalam beberapa presentasi dan diskusi mengenai penggabungan dan pengambilalihan, beberapa pertanyaan kunci selalu ditanyakan sebelum sebuah perusahaan. Pertanyaan kunci tersebut adalah sebagai berikut:[3]

  1. How can your strategic business plan be accelerated or more successful via M&A? (Determine Business Plan Drivers)
  2. How can you fund M&A? What returns must be achieved? Who approves funding?(Determine Acquisition Financing Constraints)
  3. What specific private and public companies are you interested in acquiring? (develop Acquisition Candidate List)
  4. etc

Dari pertanyaan kunci ini sebenarnya semangatnya adalah keuntungan dan bukan kesejahteraan buruh atau pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Hal serupa juga terjadi dalam hal pemisahaan perusahaan (spin off) seperti PT KAI ataupun konsolidasi perusahaan.

2. Perspektif Hukum

Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) yang dimaksud dengan penggabungan perusahaan dan konsekuensi hukumnya adalah sebagai berikut:[4]

a. Perbuatan hukum

b. Dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih

c. Untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan

d. Dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Sedangkan yang dimaksud pengambilalihan perusaaan adalah sebagai berikut:[5]

1. Perbuatan hukum

2. Dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan

3. Untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.

Sehingga yang dimaksud dengan pengambilalihan secara hukum adalah pengambilalihan saham (acquisition of stock) dan bukan pengambilalihan aset (acquisition of assets). Dengan demikian, dampak langsungnya ada pada pihak pemegang saham mayoritas sebagai pemegang kendali dalam menentukan arah kebijakan perusahaan.

Hak Buruh dalam Penggabungan dan Pengambilalihan (Peraturan Perundang-undangan dan Tinjauan Kritis)

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenegakerjaan mengatur mengenai dampak penggabungan dan pengambilalihan terhadap buruh sebatas mengenai perjanjian kerja bersama dan status hubungan kerja. Sedangkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) hanya mengatur hak prosedural buruh, bersama dengan pihak bekepentingan lainnya untuk memperoleh rancangan Penggabungan dan Pengambilalihan.

Walaupun dinyatakan bahwa penggabungan dan pengambilalihan perusahaan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan karyawan perusahaan yang bersangkutan[6]

Dengan demikian, kebijakan di Indonesia sebenarnya tidak menjadikan buruh sebagai partner pengusaha dalam menentukan arah jalannya perusahaan. Sebab jika kita menelisik hak-hak dan partisipasi buruh dalam proses penggabungan dan pengambilalihan, maka terlihat jelas bahwa peran dan hak-hak buruh sangat minim.

Mengenai perjanjian kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan terhadap serikat buruh adalah sebagai berikut:[7]

  1. Dalam hal pengambilalihan perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama
  2. Dalam hal penggabungan dan kedua perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja
  3. Dalam hal penggabungan dan hanya salah satu perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (penggabungan) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.

Sedangkan mengenai status hubungan kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan adalah sebagai berikut.[8]

1. Hubungan kerja terus berlanjut

2. Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penggantian hak. Jadi jika pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, bukan dianggap sebagai pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam pasal 162 dan pasal 168 UUK

3. Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian. Jadi bukan dengan alasan efisiensi atau merugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 UUK

Hak buruh mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja ini disebut dengan hak substantf. Sedangkan UUPT juga mengatur hak prosedural buruh dalam proses penggabungan dan pengambilalihan yang dalam pasal 127 ayat (3) dinyatakan bahwa buruh sebagai pihak yang berkepentingan berhak untuk memperoleh rancangan Penggabungan dan Pengambilalihan di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. Bahkan dalam pasal 127 ayat (2) UUPT dan penjelasannya, Ringkasan rancangan harus diumumkan agar pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk buruh, berkesempatan menyatakan keberatannya. Namun pada akhirnya, keputusan mengenai penggabungan dan pengambilalihan ditentukan dalam rapat RUPS (Lihat Pasal 89 UUPT). Khusus dalam hal yang akan melakukan penggabungan dan pengambilalihan adalah Bank maka harus memperoleh persetujuan Komisaris, sedangkan pekerja hanya berhak mendapatkan pengumuman ringkasan rancangan pengambilalihan dan penggabungan dari Direksi.[9]

Hal ini tidak konsisten dengan apa yang hubungan industrial Pancasila yang pertama kali digagas oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo pada tahun 1974. Gagasan ini mengadaikan sebuah relasi antara pekerja dan pengusaha dianggap sebagai partner dalam relasi yang harmonis, kekeluargaan dan setara. Padahal kenyataannya terdapat perbedaan kepentingan yang tajam antara pekerja dan pengusaha, serta relasi yang tidak seimbang baik dalam secara sosial, ekonomi dan politik.[10] Gagasan ini sebenarnya untuk meredam aksi-aksi pekerja demi kelangsungan hidup perusahaan. Bahkan pada masa Orde Baru Hubungan Industrial Pancasilan diterapkan secara otoriter dengan melibatkan Kodim, Koramil dan Kodam untuk mengentikan aksi-aksi buruh. Black propaganda pun diluncurkan dengan menstigma aksi buruh dengan gerakan komunis, ditunggangi pihak ketiga dan bertentangan dengan ideologi negara dan pola pikir negara yang integralistik.

Dalam prakteknya, beberapa permasalah muncul dan menjadi obyek sengketa dalam hal terjadi penggabungan dan pengambilalihan, yaitu:

  1. Dalam hal hubungan kerja berlanjut, siapakah pihak dalam hubungan kerja?

Jika melihat dari Pasal 52  ayat (1)[11] jo Pasal 54 ayat (1) [12] UUK, maka hubungan kerja adalah dengan perusahaan yang dengannya pekerja melakukakan perjanjian kerja. Namun dalam hal terjadi penggabungan, maka perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum (Pasal 122 ayat 1 UUPT).

Dalam hal ini hubungan pekerja beralih ke perusahaan yang menggabungkan diri, dan masa kerja sebelum penggabungan/pengambilalihan tetap dihitung. Hal ini didasarkan pada penafsiran secara sistematis denan pasal 131 UUK yang menyatakan perjanjian kerja bersama yang telah dibuat tetap berlaku dalam hal perusahaan menggabungkan diri, sampai perjanjian kerja bersama tersebut berakhir. (lihat pasal 131 UUK)

Status pekerja  ini harus dinyatakan di dalam rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 123 ayat (1), (2) huruf (h), ayat (4) dan Pasal 126 ayat (6) huruf i  UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”).[13]

Dalam hal terjadi pengambilalihan dan hubungan kerja tetap berlanjut, maka status hubungan kerja buruh tetap dengan perusahaan yang membuat perjanjian kerja. Hal ini karena pengambilalihan tidak mengakibatkan status perusahaan yang dipengambilalihan berakhir demi hukum, namun dalam organisasi perusahaan akan ada perubahan komposisi pemegang saham, suara dominan dalam RUPS dan berpeluang adanya penggantian Direksi.

  1. Siapakah yang memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak?
    1. Pekerja dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak, dalam hal ini berbeda dengan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 dan Pasal 168 (Pasal; 163 ayat 1 UUK)
    2. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak setelah melakukan RUPS, rapat dengan komisaris dan membuat rancangan penggabungan atau pengambilalihan (Pasal 163 ayat 2 UUK jo Pasal 123 dan Pasal 125 UUPT)

Praktek Penggabungan dan Pengambilalihan

  1. Hero dan Tops (Pengambilalihan aset)[14]

Pada tahun 2003, PT Hero Supermarket Tbk mengumumkan pihaknya telah menandatangani perjanjian dengan PT Ahold Indonesia untuk mengakusisi 22 toko swalayan Tops. Sat itu pengambilalihan dilakukan secara bertahap yang menyisakah  satu swalayan Tops masih dalam tahap persiapan dan  dua gudang Tops.

Biaya pengambilalihan berasal dari cadangan fasilitas bank jangka panjang yang belum dipakai. Saat itu, Hero menawarkan kesempatan kerja kepada karyawan tetap supermarket dengan syarat dan kondisi yang sebanding dengan syarat dan kondisi yang mereka peroleh sebelumnya.

Secara teknis, Supermarket Tops itu di-rebranding dan dioperasikan segera dioperasikan dengan nama Hero. Secara keseluruhan total pekerja di  karyawan di seluruh pertokoan di bawah PT Hero Supermarket tbk sebanyak 9000 orang.

  1. Penggabungan Group 4 Flack dengan Securicor International[15]

Pada tahun 2004 Group 4 Flack penggabungan dengan Securicor International di tingkat internasional. Setelah penggabungan, pekerja PT. Securicor di Indonesia yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka. Pertemuan tersebut tidak sampai kepada kesimpulan mengenai status pekerja. Bahkan Presiden Direktur PT Securicore Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman PHK terhadap beberapa pekerja. Sebagai besar pekerja yang di-PHK adalah pengurus serikat pekerja, termasuk ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya. Namun dalam surat PHK, alasan PHK adalah perampingan (down sizing). Rapat tersebut dipimpin oleh Branch manager Surabaya.

PHK sepihak pertama kali dilakukan pada maret 2005. Fakta PHK sepihak diingkari oleh perusahaan, dalam beberapa pertemuan dengan pekerja dan pihak pemerintah. Meresponi hal tersebut pekerja  PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari  gagalnya perundingan (deadlock). Saat perundingan 284 pekerja di-PHK sepihak.

Tantangan dan Peluang Perlindungan Hak Pekerja

  1. Kepemilikan saham oleh serikat pekerja secara kolektif, sehingga pekerja memiliki posisi tawar dalam menentukan arah kebijakan perusahaan (pasal 43 ayat 3 UU PT)
  2. Turut serta dalam penyusunan perjanjian pengambilalihan dalam rangka penyusunan akta, demi memastikan status dan perlindungan hak pekerja.
  3. Bekerjasama dengan kreditor perusahaan, jika tindakan pengambilalihan atau penggabungan diduga kuat akan merugikan buruh. Dengan demikian, kreditor dapat melakukan action pauliana[16] untuk membatalkan oengalihan aset atau menggunakan negative covenant.[17]
  4. Dalam melakukan advokasi untuk perlindungan hak pekerja, beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan proses penggabungan dan pengambilalihan adalah sebagai berikut:
    1. Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan sosial yang akan diterapkan setelah penggabungan;
    2. Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja;
    3. Cara dan saat untuk menginformasikan penggabungan kepada pekerja;
    4. cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengeliminir kerugian materil pekerja
    5. Aktifitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan. Misalnya agenda rapat serikat pekerja, rencana pertemuan bipartit, dll

  1. Dalam prakteknya, perusahaan berusaha mengindarkan diri dari kewajibannya kepada pekerja dalam hal membayar kompensasi sebesar 2 kali ketentuan pasal 156, penggantian hak dan penghargaan masa kerja. Taktik yang sering digunakan adalah melakukan efisiensi atau PHK dengan alasan merugi setelah proses penggabungan dan pengambilalihan selesai dilakukan. Walaupun demikian, hal ini dapat diantisipasi dengan menguji rasionalisasi efisiensi dan merugi dengan melihat beberapa hal:
    1. Apakah terdapat peningkatan order/pesanan terhadap perusahaan?
    2. Apakah perusahaan merekrut pekerja baru?
    3. Apakah PHK dilakukan tidak berapa lama setelah penggabungan/pengambilalihan?

Tentu saja dalam menentukan strategi dan memanfaatkan peluang yang ada, perlu adanya komunikasi dan keterlibatan pekerja secara kolektif dalam setiap tahap.

_____________


[4] Pasal 1 angka 9 UUPT

[5] Pasal 1 angka 11 UUPT

[6] Pasal 126 ayat (1)  UUPT dan Pasal 4 PP No. 27 Tahun 1998

[7] Pasal 131 UUK

[8] Pasal 163 UUK

[9] Pasal 11 ayat 2 jo Pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1999 Tentang Penggabungan, Konsolidasi dan Akuisisi Bank

[10] YLBHI, Pokok-Pokok Pikiran YLBHI Tentang Reformasi Politik Prrburuhan Nasional, (YLBHI: Jakarta, 1996). Hal 6.

[11] (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :

a. kesepakatan kedua belah pihak;

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan

yang berlaku.

[12] (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya

memuat :

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha danpekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

[13] Pasal 123 UUPT

(1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.

(2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:….(h) cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;

[16] Pasal 1341 KUHPerdata: meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang, ….

[17] Klausul dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan. Dalam hal inipun, jika dilanggar oleh debitur, hanya menyebabkan debitur default terhadap perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga (Rai Mantili, Perlindungan Pihak yang Lemah dalam Proses Pengambilalihan Perusahaan, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran: Bandung, 2008. Hal. 16)

Demokrasi Tanpa Warga Negara

Judul diatas tentulah sangat aneh , karena tidak mungkin suatu demokrasi tanpa ada warga negara , demokrasi dan warga negara adalah satu kesatuan karena demokrasi menjadikan warga negara sebagi subjek berdaulat dalam wadah republik, tapi marilah kita hentikan dahulu contradictio in terminis ini karena contradictio in terminis akan dicoba diuraikan dalam akhir tulisan ini .sekarang marilah kita lihat yang terjadi dalam demorasi politik kita sekarang setelah 12 tahun lebih kita mengalami reformasi .tak ayal lagi adalah suatu keniscayaan karena sejak 1998 reformasi telah banyak merubah hidup kita dalam segala bidang dari politik, ekonomi , kultural bahkan sampai dunia pribadi.

Telah terjadi banyak perubahan dalam suprastruktur politik dan infrastruktur politik kita , UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah diamandemen berkali-kali , muncul kelembagaan negara yang belum pernah ada sebelumnya di jaman Orba seperti Mahkamah Konstitusi , Komisi Judisial dan berbagai komisi negara yang kesemuanya itu dibarengi dengan aliran inflow capital portofolio yang meningkat tajam , pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan target APBN, IHSG yang hampir mencapai angka hampir 4000 .Tetapi tiu semua apakah sudah memberikan kepuasan pada kita khususnya masyarakat awam yang tidak terlalu suka dan tidak mengerti akan segala parameter keberhasilan pemerintah dalam angka statistik .

Mengapa di masyarakat awam secara laten dan aktual muncul keresahan yang walaupun tidak tampil di permukaan tapi teraksentuasi dalam media ekspresi publik baik bersifat grafis maupun audio-visual bahkan secara virtual , ketidakpuasan dan keresahan masyarakat setidaknya yang terbaca dalam hasil survei yang menyatakan

tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono terus menurun selama satu tahun masa pemerintahannya.( menurut hasil survei LSI Aguatus 2010 ,
tren tingkat kepuasan masyarakat terus menurun masyarakat terhadap kinerja Presiden SBY sejak terpilihnye kembali SBY sejak menjadi Presiden pada Juli 2009 lalu dan penurunan tingkat kepuasan masyarakat itu, dipengaruhi menurunnya tingkat persepsi masyarakat terhadap kondisi keamanan dan ketertiban nasional, proses penegakan hukum dan kondisi ekonomi yang terus memburuk. dimana kelompok masyarakat yang menilai kondisi keamanan dan ketertiban lebih baik mengalami penurunan dari 59 persen menjadi 55 persen. Begitu pun, kondisi penegakan hukum juga mengalami penurunan dari 43 persen yang menyatakan baik menurun menjadi 35 persen.

Data diatas bersifat statistik yang ditangkap melalui survey , sementara yang tidak tertangkap melalui survey , yang bisa kita tangkap melalui perbincangan melalui media publik lebih tajam lagi karena di kalangan masyarakat awam telah berkembang suatu pendapat bahwa di masa rezim Orde Baru keadaan lebih baik karena terjadinya kestabilan politik dan kestabilan ekonomi dibandingkan masa sekarang walaupun pada masa Orde Baru penuh dengan represi baik yang aktual dan simbolik , masyarakat awam berfikir lebih pada apa yang mereka lihat dan rasakan bukan apa yang dianalisa dan dipikirkan, mereka tidak terlalu suka pada parameter kemajuan dalam demokrasi politik seperti pemilihan umum yang langsung baik pada tingkat pilpres , pemilukada propinsi dan kabupaten / kota , masyarakat kita tidak menyukai itu sebagai indikator kemajuan demokrasi politik karena yang mereka lihat adalah hasil dari pemilu itu sendiri baik pilpres, pemilu legislatif maupun pemilukada yang hanya menghasilkan elite politik yang bekerja untuk kepentingan pribadi , kelompok , partai dan sedikit sekali untuk kepentingan masyarakat ini yang masyarakat sering nyatakan secara terbuka melalui media publik baik media publik audio-visual maupun virtual.

Tetapi salahkan jika masyarakat awam menilai seperti diatas , apakah ada empiris dari pandangan masyarakat seperti itu? Untuk melihat ini kita harus melihatnya secara out of box , bahwa demokrasi politik kita lahir dan berkembang ketika bangunan demokrasi kontemporer tidak lagi dibangun secara konvensional melalui pembangunan infrastruktur politik seperti pemilu dan penguatan suprastruktur politik seprti lembaga negara dan penguatan partisipasi masyarakat melalui proses transisi demokratis dari rezim authoritarian menuju pemerintahan demokratis sebagaimana yang terjadi di negara-negara Amerika Latin atu seperti di Korea Selatan , demokrasi kita dibangun dalam kemendadakan , yaitu ketika aksi massa yang bersifat masiv yang dimotori mahasiswa berhasil menumbangkan rezim authoritarian Orba di bawah Presiden Suharto yang diwarnai kekerasan berdarah ( tragedi Mei 98) dan kemudian setelah pemilu 1999 setelah terbentuk pemerintahan hasil pemilu dihasilkan banyak kebijakan yang intinya liberalisasi media , otonomi daerah dan supremasi sipil dan hasil dari ketiga hal ini adalah:

– media massa yang bebas dari represi pemerintah dan berkembangnya multidimensionalitas media

– pemerintah daerah yang terlepas dari kontrol pusat – kecuali untuk keuangan ,hankam, agama –

– termarginalkannya TNI sebagai kekuatan sosial politik dan dominasi partai politik dalam setiap jenjang pemerintahan

Yang akan kita bahas untuk selanjutnya adalah liberalisasi media yang telah menjadi pilar demokrasi dan menjadi bangunan peambentuk demokrasi itu sendiri , dan media yang membentuk demokrasi kita bukan lagi seperti media jaman Orde baru yang penuh dengan represi oleh pemerintah melalui sensor , instrumen SIUPP dan pembreidelan .

Media sekarang baik yang audio-visual lebih-lebih yang virtual sekarang dibangun atas stimulasi imagologis (pencitraan) dan logika aritifisial dan superfisial yang menstimulasi masyarakat melalui suplai informasi masiv yang konsumtif , fetitistik dan penuh pencitraan dan suka tidak suka ini telah menjadi arsitektur pembangun demokrasi kita dan telah terjadi hegemoni oleh media dalam bangunan demokrasi yang dibentuk , dan terjadi simbiosa mutualisma antara demokrasi dan media membentuk bangunan demokrasi dan yang terjadi adalah suatu konstruksi demokrasi yang mutan karena mesin demokrasi politik yang menjadi inti demokrasi yang semestinya menjadi agen pembangun karakter masyarakat dengan memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi dengan kekutan pikiran , pengetahuan dan intelektualitas akhirnya hanya menjadi mesin pencitraan yang dikuasai oleh imagologi (pencitraan) ,tontonan dan teater politik dari para pencari perhatian (attentionalist) yang tidak lain dari elit politk sendiri yang berupaya mencari sanjungan politik dan pencitraan politik masiv melalui media kontemporer (audio-visual-virtual) yang bersifat masiv sehingga proses demokrasi tak berhasil membangun masyarakat politik yang cerdas , etis dan estetis karena pendidikan politik warga telah dihegemoni dan diambil alih oleh dan melalui “acara penghiburan warga” (civic entertainment) dengan para elite politik di segala bidang menjadi selebritinya dan ini bisa terjadi karena elite politik sudah terjebak pada logika media yang penuh dengan kedangkalan , artifisialitas dan virtualitas dibawah kuasa modal , padahal para elit politik yang dipilih melaui pemilu demokratis ini – sama seperti warga negara lainnya yang merupakan subjek politik tetapi alih-alih menjadi subjek politik yang mempunyai kuasa dan wewenang dengan memperkaya demokrasi dengan pengayaan makna dan nilai justru menjadi obyek politik yang tunduk dan patuh pada logika artifisial dan superfisial dari strategi media itu sendiri yang mengalami proses simbiosis mutualisma dengan demokrasi para elite politk.

Logika artifisial dan superfisial dari media ini akan secara perlahan tapi pasti menghancurkan rasionalitas politik itu sendiri bahkan in the long run menghancurkan masyarakat politik , kalau kita masih percaya bahwa demokrasi berdasarkan pada logika rasionalitas politik yang menyangkut pilihan ,tindakan dan keputusan politik untuk mencapai tujuan warga negara sebagai masyarakat politik .

Logika artifisial dan superfisial dari media bergerak dengan kuasa rasionalitasnya sendiri yang menjebak para aktor politik dan elit politk terjebak dalam logika artifisial dan superfisial dari media , dan pembelokan oleh logika media kontemporer ini bila tanpa disertai kecerdasan , intelelektualitas dan kebijaksanaan politik akan mendekonstruksi bangunan demokrasi politik yang hal ini akan membahayakan keberlangsungan demokrasi politik di masa depan karena ada distorsi pengetahuan, ketrampilan dan kompentensi politik yang hanya diarahkan hanya untuk imajinasi politik dari para elite politik untuk mecapai kekuasaan , dengan menghadirkan tontonan politik dangkal , artifisial dan irrasional bagi warga negara sebagai subjek demokrasi politik , dan ini diperparah dengan kenyataan bahwa ketika ruang kebebasan bagi masyarakat dibuka sejak reformasi 1998 masyarakat kita yang pada mulanya sebagian besar hidup – meminjam istilah Alvin Toffler- dalam First Wave dan Second Wave tiba -tiba dengan ruang kebebasan yang dibuka lebar sejak 1998 langsung dikondisikan pada masyarakat yang hidup dalm Third Wave , sekarang kita bisa melihat tanpa halangan banyak peristiwa tragis misalnya yang terjadi pada masyarakat Papua yang sebagian besar hidup sebagai masyarakat First Wave tetapi peristiwa tragis yang mereka alami berupa penyiksaan dan pelanggaran HAM yang dialami dapat disaksikan melaui YouTube yang merupakan ikon masyarakat Gelombang Ketiga (Third Wave).

Jika demokrasi politik hanya tereduksi menjadi tontonan politik yang dihadirkan oleh media dengan segala logika artifisal, superfisial dan ( seringkali) irrasional maka secara perlahan demokrasi kita menjadi demokrasi tanpa warga negara karena warga negara hanya menjadi penonton (viewer) dari para pencari perhatian ( attentionalist) yaitu para elite politik yang menggiring warga negara pada irrasionalitas politik dan desubtansialitas politik untuk mencapai tujuan politik mereka yang mendasarkan diri pada pencitraan melalui imajinasi populer yang dihadirkan pada warga negara sebagai masyarakat politik.

Positivisme dalam hukum yang dipertanyakan

Hukum adalah bahasa yang terlembagakan dengan sistematis dan mempunyai kekuatan sanksi sehingga hukum bukan sekedar bahasa indah seperti dalam karya sastra , seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya , ilmu hukum lahir dari filsafat dalam hal ini flsafat hukum yang dirintis oleh pemikiran August Comte yang kita kenal sebagai positivisme , dalam hal ini pemikiran positivisme August Comte melahirkan positivisme hukum , karena itu untuk dapat memahami pemikiran August Comte perlu dilihat pemikiran John Austin tentang apa itu positif dan bukan positif dalm ilmu hukum , yang menurut John Austin dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined , John Austin  membagi hukum dalam dua macam yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan ( God’s Law) dan hukum manusia ( Human Laws)  , yang menurut John Austin , hukum manusia dibedakan antara hukum yang sebenarnya ( hukum positif) dan hukum yang tidak sebenarnya (positive morality) , dan untuk dapat memenuhi unsur-unsur hukum positif haruslah memenuhi unsur-unsur: command (perintah ), sanksi, kewajiban dan sovereignity( kedaulatan), bila keempat unsur itu tidak terpenuhi maka yang ada bukanlah hukum positif tapi hanya sekedar positive morality.
Sedangkan menurut Hans Kelsen , keberlakuan hukum itu didasarkan pada kaidah yng lebih tinggi yanag diatur secara hierarkis hingga sampai pada tingkatan yang tertinggi yang dinamakan Grundnorm oleh karena itu pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dinamakan Grundnorm theorie.
Dari pemikiran John Austin dan Hans kelsen terlihat jelas bahwa pandangan mereka berdua sebagai tokoh dalam positivisme hukum menempatkan hukum sebagai alat ketertiban sosial karena hukum positif ditempatkan pada posisi superior diatas masyarakat sehingga jika terjadi konlik , discrepancy atau dikotomi antar keduanya maka  masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum dan mematuhinya tanpa syarat melalui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh hukum., pengaturan sanksi bagi pelanggara hukum merupakan upaya paksa agar orang tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dalam kehidupannya , dengan begitu hukum adalah alat ketertiban sosial ( law as a tool of social order)sehingga bagi positivisme yang menjadi tujuan hukum adalah penerapan hukum.

Senjakala Hukum

Akhir-akhir ini hukum di Indonesia menunjukkan suatu kecenderungan yang menyakiti hati nurani keadilan masyarakat , kejadian Nenek Minah, kasus Prita Mulia Sari , kasus seorang ibu di Cirebon yang harus menjual rumahnya  sebagai biaya untuk menebus suaminya yang ditahan polisi karena dituduh  terlibat kasus pembunuhan  dan karena tidak punya rumah lagi ibu tersebut harus tinggal di kandang kambing.
Kesemua peristiwa itu  menyakiti nurani keadilan masyarakat karena pandangan awam masyarakat tidak bisa menerima perlakuan ketidakadilan terhadap masyarakat  dalam hal ini masyarakat bawah, sementara mereka yang berada dalam lapisan sosial elite baik elite bisnis maupun elit politik jika berhadapan dengan hukum mereka seolah mendapat keistimewaan, seperti misalnya dalm kasus Joko Chandra ,kasus Artalyta Santosa dan obligor BLBI sehingga mereka -mereka ini seolah-olah menjadi the untouchtables.
Karena keadilan menjadi fokus utamanya maka dalam opini publik di masyarakat terciptalah dua pandangan besar yang menjadi mainsteam ( arus utama) saat ini, Yaitu ;
1. Mereka yang berlatar belakang para praktisi hukum yaitu , advokat , jaksa , polisi dan hakim serta sebagian ahli hukum yang berpandangan legal-positivism , , yang berkeyakinan bahwa keadilan hanya bisa ditemukan dalam rumusan hukum  nasional yang berlaku pada siapapun tanpa pandang bulu baik masyarkat lapis atas maupun masyarakat lapis bawah, baik konglomerat maupun orang melarat , baik pejabat maupun penjahat. dan inilah keadilan sebagaimana yang didefinisikan para praktisi hukum  dan akademisi hukum yang berpandangan legal-positivism sebagaimana pemikiran legal-positivism itu sendiri  sebagai faham atau pemikiran yang berpendapat bagwa hukum yang sebenarnya adalah hukum positif (ius constitutum) yang berlaku dan ditetapkan saat ini , dalam pandangan legal-positivism  hukum berlaku semata-mata karena hukum ini sendiri dan bukan karena faktor non-hukum ( lihat Grundnorm Theorienya Hans Kelsen) , sehingga ukuran suatu hukum itu berlaku atau tidak bergantung apakah hukum itu tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Tujuan hukum dalam pandangan legal-positivism adalah terjaminnya kepastian hukum sehingga kepada siapapun hukum itu akan berlaku tanpa pandang bulu.Hal ini dikarenakan dalam pandangan legal-positivism ,fungsi hukum adalah terjaminnya social order( ketertiban sosial)yang hal ini bisa tercipta karena hukum sebagai alat ketertiban sosial menempatkan  hukum positif  pada posisi superior diatas masyarakat sehingga jika terjadi konlik , discrepancy atau dikotomi antar keduanya maka  masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum dan mematuhinya tanpa syarat melalui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh hukum., pengaturan sanksi bagi pelanggaran hukum merupakan upaya paksa agar orang tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dalam kehidupannya , dengan begitu hukum adalah alat ketertiban sosial ( law as a tool of social order)sehingga bagi faham legal-positivism yang menjadi tujuan hukum adalah penerapan hukum..Dalam pandangan legal-positivism melihat hukum sebagai sesuatu yang final sehingga tema dari hukum adalah penerapan hukum dan bukan perubahan hukum.
Oleh karena tidaklah aneh bahwa bagi para ahli hukum/akademisi hukum dan para praktisi hukum bahwa hukum adalah ” pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang”.dan terkodifikasi.
2.Mereka yang berpandangan awam tentang hukum dalam hal ini masyarakat luas  dan para akademisi  hukum  progresif  yang berkeyakinan bahwa  hukum yang berkeadilan  adalah hukum nasional yang  dalam teapannya dari kasus ke kasus  mampu berhubungan secara relevan dengan kaedah -kaedah setempat , seperti apa yang dikemukakan oleh Friedrich Carl  von Savigny  yang menyatakan bahwa keadilan itu  bersifat partikular ( konsepsi keadialan mengikuti kaedah hukum setempat ).
Hukum itu sebagaimana dinyatakan oleh Prof Satjipto Rahardjo sifatnya itu amat esoterik artinya hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memang belajar hukum , banyak bahasa , istilah , nomenklatur  begitu juga konsepsi dan doktrin hukum  yang didominasi istilah asing bagi  masyarakat awam , dalam melihat hukum masyarakat melihatnya dalam bagaimana hukum itu bekerja dalam kehidupan , misalnya mengapa si A tidak segera dimasukkan ke penjara  padahal vonis pengadilan  sudah menyatakan seseorang itu bersalah dan kesalahannya telah terbuktikan dalam persidangan di tingkat pertama ( pengadilan negeri), begitu juga jika orang tertangkap melakukan perbuatan tindak pidana mengapa seseorang itu tidak langsung dijebloskan ke penjara , mengapa seseorang yang bersalah masih harus dibela dan didampingi seorang advokat.
Pertanyaan awam ini berdasarkan logika awam dan ini tidak didasarkan karena ketidaktahuan apalagi kebodohan , karena mereka berfikir dalam naluri keadilan masyarakat dan persepsi masyarakat itu sendiri tentang keadilan sehingga bagi mereka yang muncul adalah opini publik dan  kurang memperhatikan fakta hukum tapi sekali lagi itu bukan kebodohan masyarakat awam tetapi karena mereka berpikir berdasarkan persepsi mereka tentang keasilan, mereka cukup ceardas walaupun hanya menggunakan logika akal sehat dan nuraninya sendiri, dan seringkali logika dan kecerdasan awam dalam melihat masalah hukum lebih jernih dan tidak manipulatif dibandingkan mereka yang sering disebut praktisi hukum

.            Pandangan miring masyarakat tentang hukum pada saat ini disebabkan karena dua hal;
Pertama, kegeraman , ketidaksetujuan dan penentangan masyarakat terhadap hukum positif yang berlaku sekarang , dimana hukum dalam tindakan serta kenyataan keseharian atau law in action hanyakah menjadi kumpulan perdebatan kering tanpa makna tentang pasal yang dipertontonkan para praktisi hukum seperti advokat, jaksa , polisi, hakim yang tidak merefleksikan dahaga publik akan suatu keadilan subtanstif.
Kedua . tercemarnya aneka institusi hukum dan aparat penegak hukum akibat perilaku korupsi dan penyalahgunaan wewenang .
Ketiga kecenderungan jaman kontemporer yang menempaatkan yang virtual  sebagai antitesa dari yang real , dalam bentuk parlemen online yang sekarang marak ( facebook, twitter dan sejenisnya) , kata parlemen sendiri berasal dari kata bahasa Perancis “parle” , yang artinya bicara dalam parlemen online aseperti Facebook merupakan kanal atas kemampatan, kebuntuan komunikasi dalam masyarakat ketika masyarakat merasa tidak berdaya dan diperlakukan sewenang-wenang oleh hukum yang berlaku dan ketika mereka tidak berani menyuarakan secara terbuka penentangan , ketidaksetujuan mereka atas suatu masalah dalam hal ini masalah atau isue hukum , dalam parlemen online ini mereka bisa berbicara bebas tanpa rasa takut  dan   bahkan menggalang dukungan seperti yang diperlihatkan pada penggalangan di Facebook  sejuta dukungan pada Prita Mulia Sari , Bibit-Chandra  dan sekarang pada Susno Duaji
, ini semua merekam keinginan dan keebutuhan publik akan rasa keadilan hukum yang diiinginkan masyarakat sekaligus penolakan atas keadilan prosedural yang dilakukan aparat penegak  hukum.
Menurut Prof Satjupto Rahardjo , hukum dibuat untuk manusia dan bukan manusia yang diciptakan untuk hukum .., dan karena tujuan hukum adalah ketertiban maka menurut Prof.Satjipto Rahardjo, amatlah mustahil jika tujuan hukam itu dicapai bila hukum itu sangat normatif dan legalistik sebagaimana bisa kita lihat dalam pandangan para penganut legal-positivism.
Hukum yang sangat normatif hanya akan menjadi benda mati yang tidak bisa mengikuti perkembangan kehidupan manusia , hukum harus seperti mahluk hidup yang membutuhkan napas agar tetap hidup sehingga selalu bisa menyesuaikan diri dengan naluri keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga hukum bukan sekedar onggokan pasal-pasal kering yang akhirnya hanya jadi bahan perdebatan dan permainan manipulaatif para praktisi hukum.

Pola-pola mafia peradilan

Akhir -akhir ini kita  di Indonesia seperti dibombardir oleh istilah mafia hukum , mafia peradilan  , makelar kasus  yang kesemuanya itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena
walaupun  sebenatnya istilah  mafia peradilan sudah dikenal sejak tahun 1970-an , istilah ini dilontarkan untk menggambarkan proses penegakan hukum  yang dapat dibeli dan dibelokkan  mulai dari tingkat Kepolisian , Kejaksaan, , Pengadilan , Negeri , Pengadilan Tinggi  bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung .
Masyarakat luas sering mendengar kosa kata ‘mafia peradilan’, tapi tak pernah dapat membuktikan, seperti apa sosok dan bentuk yang namanya mafia peradilan itu. Tapi, sejak dibukanya percakapan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi, yang dulunya selalu menjadi teka teki itu, semuanya menjadi terang-benderang. Masyarakat luas menjadi sangat tersentak dan baru menyakini serta menyadari bahwa mafia peradilan sudah sangat parah dan menggurita.
Mafia Peradilan merupakan  istilah tidak sederhana dan multi tafsir , istilah ini sendiri bahkan mendapatkan dukungan dan bantahan , para akademisi hukum dan masyarakat umum mengakui akan keberadaan mafia peradilan  sedangkan lembaga – lembaga penegakan hukum yang label mafia peradilan dituduhkan padanya sepeti Kepolisian , Kejaksaan , dan Mahkamah Agung  seringkali menolak adanya mafia hukum yang bekerja di lembaganya , dalih mereka selalu mengatakan bahwa itu perbuatan oknum dan bukan lembaga ,sehingga sulit dicari definisi yang tepaat tentang  ,mafia hukum ini , mungkin istilah yang diberkan Indonesia Corruption Watch (ICW)  setidaknya bisa mewakili dimana ICW mendefinisikan  mafia hukum sebagai suatu jaringan yang tersusun secara rapi dan berhubungan satu sama lain secara tertutup dan tak terkoordinasi ( Kompas !! Juni 2001).

Arti mafia peradilan dari segi bahasa, menurut  pandangan Komisi Pemantau Peradilan yang dalam siaran persnya, mengutip hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002, mengungkapkan bahwa telah ada pola kerja sama yang melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan, dengan tujuan menghindari proses penanganan perkara yang semestinya. Hal ini terjadi mulai dari pengadilan negeri hingga MA.

Sementara itu  Ketua KY, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurrutnya, ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap terjadi di peradilan Indonesia. Pertama, penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Kedua, manipulasi fakta hukum. Ketiga, manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Modus keempat atau yang terakhir, berupa pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain.
Demikian pula, semasa menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA almarhum Gunanto Suryono, bahwa modus operasi mafia peradilan bisa berupa pengeluaran putusan palsu atau fiktif. Dalam hal ini, meskipun ia telah mengakui bahwa mafia peradilan itu ada, yaitu dalam bentuk pembuatan putusan palsu atau fiktif, namun ia ingin menegaskan bahwa pembuatan putusan tersebut tidak melibatkan institusi MA secara resmi. Meski begitu, tak jelas kapan sebuah putusan itu palsu atau fiktif. Apa kriterianya? Sudahkah MA mencoba untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Sementara itu, reaksi mantan Ketua MA dalam menanggapi hal ini terdengar lebih keras lagi. Bagir Manan (red, mantan ketua MA), menegaskan bahwa “Mafia Peradilan sebagai organized crime tidak ada, yang ada adalah orang dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum.” Di awal tulisan ini juga sudah dituturkan bagaimana baru-baru ini pernyataan senada kembali dilontarkan. Pernyataan tersebut, bisa saja dipahami (meski belum tentu dapat diterima), karena wajar saja apabila MA sebagai sebuah institusi, ingin menegaskan bahwa institusi tersebut bukanlah “segerombolan orang-orang yang melakukan kegiatan atau tindakan bersama-sama”, sehingga patut dianggap telah melakukan sebuah kejahatan yang terorganisir. Bukankah justru MA yang semestinya menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh? Apa jadinya kalau lembaga itu sendiri dianggap sebagai sebuah kejahatan terorganisir? Tentu, para pencari keadilan sendiri tidak bisa memungkiri kebutuhan mereka akan adanya sebuah lembaga peradilan. Bagaimanapun juga, keresahan yang timbul bersumber pada keraguan berikut ini: sudah adakah usaha MA sendiri untuk menindak mereka yang terlibat dalam apa yang Ketua MA sendiri sebut sebagai “perbuatan melawan hukum” tersebut? Bagir Manan (red, mantan ketua MA), secara implisit telah mengatakan bahwa telah ada tindakan yang diambil. Meski begitu, penyelesaian tersebut terjadi di belakang pintu. Alasan yang ia sampaikan: “Kalau saya beri tahu (siapa orang-orang tersebut, red), bisa dikatakan melanggar HAM nantinya. Yang pasti ada 16 hakim yang sudah kami beri sanksi terkait pelanggaran kode etik hakim.”
Padahal, kalau kita mau jujur, bukankah hak asasi (dalam hal ini penggunaan nama anonim) mereka yang terlibat tersebut harus ditimbang dengan kepentingan umum untuk menegakkan sistem peradilan yang baik, dalam arti meraih kepercayaan publik yang justru dibutuhkan oleh lembaga peradilan kita saat ini? Kalaupun ada tindakan yang telah diambil, nyatakan saja pada kasus-kasus seperti apa, supaya jelas kondisi obyektif seperti apa yang jadi batasan tindakan yang boleh dan tidak boleh. Kemudian, kalau memang tindakan itu telah ada dan berpengaruh pada proses perbaikan, bukankah akan dengan sendirinya terbukti dari kinerja MA yang akan semakin membaik? Dalam situasi yang masih tertutup seperti saat ini, memang dibutuhkan usaha berkesinambungan mendorong keterbukaan penanganan perkara, agar ada jaminan sebuah perkara diadili secara mandiri, tida
k berpihak dan obyektif. Jika demikian, Keadilan yang dicerminkan oleh lembaga peradilan tersebut akan mendongkrak kepercayaan publik pada lembaga peradilan dengan sendirinya.
Menurut Leo Tukas Leonard mendefinisikan mafia peradilan sebagai aktivitas yang terjadi di lingkungan peradilan termasuk jual beli putusan pengadilan,
Sedangkan menurut Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN , mendefinisikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis ,terstruktur, konspiratif dan kolektif yang dilakuakan oleh aktor aparat  penegak  hukum dan masyarakat umum, dimana masyarakat umum  demi mencapai tujuannya menggunakan penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum sehingga terjadi simbiosis mutalisma antara masyarakat dan aparat penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenang , tindakan mal administrasi dan  perbuatan melawan hukum.
Menurut Robert Klitgaard  Korupsi (C) terjadi karena terjadi Monopoli (M) ditambah Authority (A)( Kewenangan ) dikurangi Accountability(A)(Akuntabilitas), jadi korupsi terjadi bila ada kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan yang menyebabja terjadinya monopoli kewenangan dari aparat  penegak hukum.
begitu juga Mafia Peradilan sebagai bentuk dari korupsi terjadi karena pola -pola mafia peradilan yang dilakukan aparat penegak hukum dilakukan dengan menjual otoritas atau kewenangan  yang dimilikinya , dilain pihak akuntabilitas masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih minim dan menjadi saasaran empuk bagi aparat penegak hukum untuk membodohi dan melakukan perbuatan melawan hukum terhadap masyarakat apabila masyarakat mengurus kepentingaanya dengan aparat penegak hukum.
Akibat dari mafia peradilan adalah sangat luar biasa sehingga sebagai suatu bentuk Tindak Pidana Korupsi , mafia peradilan  merupakan kejahatan yang luar biasa ( extra ordinary crime ) dan berdampak bagi timbulnya kejahatn yang lain ( bersifat kriminogen) dan viktimogen ( secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan), dan yang pasti lembaga  peradilan dan aparat penegak hukum menjadi invalid , tidak independen , kriminogen dan yang jelas merugikan bagi para masyarakat pencari keadilan.

Dilemma Kontemporer

Plato, sang filsuf Yunani Kuno, sedikitpun tidak ragu ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, maka manusia tidak terlepas dari kodratnya untuk bergaul dan berinteraksi dengan manusia-manusia lain baik dalam skala besar seperti negara bangsa, ataupun hanya dalam sebuah komunitas “kecil” semacam Facebook. Sayangnya, sifat sosial manusia bukanlah sesuatu yang selalu positif dan patut dibanggakan. Sejarah manusia selalu penuh dengan perang, pembunuhan dan kekerasan sebagai akibat dari model interaksi sosial yang cenderung dipaksakan dari satu manusia ke manusia lain, oleh sekelompok orang kepada kelompok yang lain, bahkan oleh suatu negara kepada negara lain! Sistem pemerintahan, apapun bentuknya, hanyalah buah pikiran manusia selama berabad-abad dalam merumuskan model interaksi sosial yang paling tepat untuk suatu masyarakat. Namun sejak demokrasi jaman Yunani Kuno hingga sistem kapitalisme modern di abad 21, tidak ada satu sistem pemerintahan pun yang benar-benar ideal untuk dijadikan contoh dalam mengatur pola interaksi sosial manusia. Demokrasi rusak oleh para pendukunghya sendiri. Komunisme harus menelan kenyataan bahwa ideologi yang dianutnya hanya melahirkan tirani sementara kapitalisme modern menjadi sistem yang paling tidak manusiawi sepanjang sejarah. Sosialisme religius yang didengung-dengungkan sebagai ideologi alternatif pun kandas oleh kenyataan bahwa religiusitas tidak menjamin seseorang berperilaku sosial yang baik. Anehnya, manusia belum juga punah hingga detik ini meski perang akibat perbedaan ideologi menjadi tema besar dalam setiap periode sejarah. Manusia-manusia terus berinteraksi dalam wilayah komunalnya sendiri-sendiri, atau dalam cakupan yang lebih luas berupa pergaulan antarbangsa di dunia internasional. Manusia tidak pernah berhenti dan tidak akan pernah kapok untuk bergaul, sebab seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini, secara kodrati manusia adalah makhluk sosial. Kehadiran internet pun ikut menciptakan trend baru dalam interaksi sosial jaman modern: PERGAULAN DUNIA MAYA! Sebuah dunia baru yang lahir dari rahim teknologi informasi milenium ketiga; sebuah dunia yang semakin mengaburkan batas-batas sosial; sebuah dunia tanpa ideologi, tanpa mazhab; dunia yang mengabaikan lingkup geografis dan nasionalisme; SEBUAH DUNIA YANG DILIPAT dalam istilah Yasraf Amir Piliang. Di sini, di dunia maya, sebuah komunitas akan terbangun dengan sendirinya atas dasar kesamaan ide, minat, hobi, kegilaan, tanpa campur tangan ideologi atau sistem sosial manapun. Setiap orang berhak menjadi “warga negaranya“ tanpa melihat warna kulit, suku bangsa atau agama. Tidak ada yang mempersoalkan curriculum vitae anda di sini meskipun anda seorang teroris atau penjahat perang sekalipun! Pada akhirnya internet pun menjadi surga baru bagi manusia. Ia menjadi semacam UTOPIA dalam gambaran Thomas More enam abad silam, sebuah sistem kemasyarakatan yang sangat ideal sehingga mustahil bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Michael Focault tentang hukum

Suatu Sketsa Pemikiran Michael Focault dan Jacques Derrida tentang hukum Pemikiran Michael Focault dan Jacques Derrida tentang hukum Walaupun Michael Foucault dan Jacques Derrida bukanlah akademisi , praktisi dan ilmuwan hukum tetapi pemikirannya tentang kuasa, pengetahuan dan diskursus telah menjadi bahan refleksi pemikiran bagi para akademisi hukum lainnya terutama para akademisi hukum progresif , begitu pula Jacques Derrida yang pemikirannya tentang dekonstruksi teks menjadi perhatian menarik karena memfokuskan diri pada teks sebagai sebuah ciptaan manusia yang dalam ilmu hukum ini menjadi sentra kajian karena sebagaimana dalam pemikiran legisme dalam ilmu hukum yang menyatakan bahwa hukum adalah segala sesuatu yang termuat dalam perundang-undangan, dan isi dari undang-undang adalah teks hukum , disinilah kita bisa memulai bahasan tentang bagaimana pemikiran Micahael Focault dan Jacques Derrida mempunyai arti dalam kajian teori hukum kontemporer. Hukum adalah bahasa yang terlembagakan dengan sistematis dan mempunyai kekuatan sanksi sehingga hukum bukan sekedar bahasa indah seperti dalam karya sastra , karena teks hukum mempunyai wewenang dan mempunyai kekuatan sanksi karenanya teks dalam hukum mempunyai kekuasaan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Yang menurut John Austin dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined , John Austin membagi hukum dalam dua macam yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan ( God’s Law) dan hukum manusia ( Human Laws) , dimana hukum manusia yang menurut John Austin dibedakan antara hukum yang sebenarnya ( hukum positif) dan hukum yang tidak sebenarnya (positive morality) , dan untuk dapat memenuhi unsur-unsur hukum positif haruslah memenuhi unsur-unsur: command (perintah ), sanksi, kewajiban dan sovereignity( kedaulatan), bila keempat unsur itu tidak terpenuhi maka yang ada bukanlah hukum positif tapi hanya sekedar positive morality. Michael Focault menyatakan bahwa hukum hukum bukanlah kondisi yang diperlukan untuk membebaskan manusia dan juga bukan sesuatu yang timbul dari dominasi kelas sosial,dan hukum tidak cukup hanya dimengerti hanya melalui pandangan pelaku tindakan tidak juga melalui kehidupan keseharianyang dialami dan direproduksi. Pemikiran Derrida tentang cara membaca teks menduduki peran yang penting dalam hukum dalam perspektif dekonstruksi hukum Derrida , teks hukum bukanlah sekedar bahasa lisan temporal dan teks hukum terdiri dari jaringan , struktur hirarkis tersubordinasi dan teks hukum menciptakan dominasi makna . Hukum adalah bahasa terlembagakan dengan sistematis mengandung konstruksi metanarasi keadilan , bahasa hukum diciptakan untuk menanggulangi interpretasi multi tafsir , para ahli hukum dan praktisi hukum seperti akademisi hukum dan aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi, hakim dan advokat menjadikan hukum sebagai sumber kewenangan( source of authorithy)yang memberi ruang kewenangan bagi kepentingan profesi mereka . Hukum yang tertulis memiliki wilayah dan waktunya sendir daya ikat hukum timbul karena teks dalam hukum bekerja pada tataran afektif (perilaku) bukan hanya sekedar tataran kognitif saja , ini dikarenakan kemampuan memberikan sanksi melalui mekanisme sanksi sebagaimana dalam pemikiran John Austin dan Hans Kelsen terlihat jelas bahwa pandangan mereka berdua sebagai tokoh dalam positivisme hukum menempatkan hukum sebagai alat ketertiban sosial karena hukum positif ditempatkan pada posisi superior diatas masyarakat sehingga jika terjadi konlik , discrepancy atau dikotomi antar keduanya maka masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum dan mematuhinya tanpa syarat melalui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh hukum., pengaturan sanksi bagi pelanggara hukum merupakan upaya paksa agar orang tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dalam perilaku (afektif) kehidupannya , dengan begitu hukum adalah alat ketertiban sosial ( law as a tool of social order) . Dalam pemikiran positivisme hukum dikenal teori fiksi hukum yang menganggap bahwa semua orang dianggap mengetahui hukum begitu hukum itu diundangkan, ini bisa kita lihat dalam kasus Prita Mulia Sari persoalan hukum selanjunjutnya adalah dominasi tafsir , dalam konteks hukum negaralah yang mendominasi tafsir atas teks-teks hukum bahkan sampai dalam bagian penjelasan dari suatu aturan perundangan sekalipun tidak boleh ada penafsiran lain selain dari penjelasan resmi negara yang termuat dalam suatu kitab perundangan , Absolutisme negara dalam mendudukkan tafsir hukum telah menutup ruang bagi pikiran-pikiran lain , shingga dalam hukum bukan sekedar metanarasi keadilan tetapi juga tafsir atas peraturan perundangan sendiri adalah suatu metanarasi, sendiri ,Derrida menolak semua metanarasi karena metanarasi adalah suatu logosentrisme yang menguniversalkan makna rasional. Hukum nasional yang partisipatif adalah hukum nasional yang mengatur dasar pola-pola umum yang kemudia masyarakat mengaturkan sendiri dalam kehidupan keseharian , hukum menjadi suatu the living law yaitu sutu teks dokumen yang hidup berdasarkan napas dan kebutuhan masyarakat bukan hukum yang mengabsolutkan tafsir dan menerapkannya dalam suatu impersonalitas pranata dan kelembagaan hukum .. Diposkan oleh sketsa_pantarei di 4/11/2010 10:17:00 AM 0 komentar: Suatu Sketsa Pemikiran Michael Focault dan Jacques Derrida tentang hukum Pemikiran Michael Focault dan Jacques Derrida tentang hukum Walaupun Michael Foucault dan Jacques Derrida bukanlah akademisi , praktisi dan ilmuwan hukum tetapi pemikirannya tentang kuasa, pengetahuan dan diskursus telah menjadi bahan refleksi pemikiran bagi para akademisi hukum lainnya terutama para akademisi hukum progresif , begitu pula Jacques Derrida yang pemikirannya tentang dekonstruksi teks menjadi perhatian menarik karena memfokuskan diri pada teks sebagai sebuah ciptaan manusia yang dalam ilmu hukum ini menjadi sentra kajian karena sebagaimana dalam pemikiran legisme dalam ilmu hukum yang menyatakan bahwa hukum adalah segala sesuatu yang termuat dalam perundang-undangan, dan isi dari undang-undang adalah teks hukum , disinilah kita bisa memulai bahasan tentang bagaimana pemikiran Micahael Focault dan Jacques Derrida mempunyai arti dalam kajian teori hukum kontemporer. Hukum adalah bahasa yang terlembagakan dengan sistematis dan mempunyai kekuatan sanksi sehingga hukum bukan sekedar bahasa indah seperti dalam karya sastra , karena teks hukum mempunyai wewenang dan mempunyai kekuatan sanksi karenanya teks dalam hukum mempunyai kekuasaan untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Yang menurut John Austin dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined , John Austin membagi hukum dalam dua macam yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan ( God’s Law) dan hukum manusia ( Human Laws) , dimana hukum manusia yang menurut John Austin dibedakan antara hukum yang sebenarnya ( hukum positif) dan hukum yang tidak sebenarnya (positive morality) , dan untuk dapat memenuhi unsur-unsur hukum positif haruslah memenuhi unsur-unsur: command (perintah ), sanksi, kewajiban dan sovereignity( kedaulatan), bila keempat unsur itu tidak terpenuhi maka yang ada bukanlah hukum positif tapi hanya sekedar positive morality. Michael Focault menyatakan bahwa hukum hukum bukanlah kondisi yang diperlukan untuk membebaskan manusia dan juga bukan sesuatu yang timbul dari dominasi kelas sosial,dan hukum tidak cukup hanya dimengerti hanya melalui pandangan pelaku tindakan tidak juga melalui kehidupan keseharianyang dialami dan direproduksi. Pemikiran Derrida tentang cara membaca teks menduduki peran yang penting dalam hukum dalam perspektif dekonstruksi hukum Derrida , teks hukum bukanlah sekedar bahasa lisan temporal dan teks hukum terdiri dari jaringan , struktur hirarkis tersubordinasi dan teks hukum menciptakan dominasi makna . Hukum adalah bahasa terlembagakan dengan sistematis mengandung konstruksi metanarasi keadilan , bahasa hukum diciptakan untuk menanggulangi interpretasi multi tafsir , para ahli hukum dan praktisi hukum seperti akademisi hukum dan aparat penegak hukum seperti jaksa, polisi, hakim dan advokat menjadikan hukum sebagai sumber kewenangan( source of authorithy)yang memberi ruang kewenangan bagi kepentingan profesi mereka . Hukum yang tertulis memiliki wilayah dan waktunya sendir daya ikat hukum timbul karena teks dalam hukum bekerja pada tataran afektif (perilaku) bukan hanya sekedar tataran kognitif saja , ini dikarenakan kemampuan memberikan sanksi melalui mekanisme sanksi sebagaimana dalam pemikiran John Austin dan Hans Kelsen terlihat jelas bahwa pandangan mereka berdua sebagai tokoh dalam positivisme hukum menempatkan hukum sebagai alat ketertiban sosial karena hukum positif ditempatkan pada posisi superior diatas masyarakat sehingga jika terjadi konlik , discrepancy atau dikotomi antar keduanya maka masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum dan mematuhinya tanpa syarat melalui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh hukum., pengaturan sanksi bagi pelanggara hukum merupakan upaya paksa agar orang tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum dalam perilaku (afektif) kehidupannya , dengan begitu hukum adalah alat ketertiban sosial ( law as a tool of social order) . Dalam pemikiran positivisme hukum dikenal teori fiksi hukum yang menganggap bahwa semua orang dianggap mengetahui hukum begitu hukum itu diundangkan, ini bisa kita lihat dalam kasus Prita Mulia Sari persoalan hukum selanjunjutnya adalah dominasi tafsir , dalam konteks hukum negaralah yang mendominasi tafsir atas teks-teks hukum bahkan sampai dalam bagian penjelasan dari suatu aturan perundangan sekalipun tidak boleh ada penafsiran lain selain dari penjelasan resmi negara yang termuat dalam suatu kitab perundangan , Absolutisme negara dalam mendudukkan tafsir hukum telah menutup ruang bagi pikiran-pikiran lain , shingga dalam hukum bukan sekedar metanarasi keadilan tetapi juga tafsir atas peraturan perundangan sendiri adalah suatu metanarasi, sendiri ,Derrida menolak semua metanarasi karena metanarasi adalah suatu logosentrisme yang menguniversalkan makna rasional. Hukum nasional yang partisipatif adalah hukum nasional yang mengatur dasar pola-pola umum yang kemudia masyarakat mengaturkan sendiri dalam kehidupan keseharian , hukum menjadi suatu the living law yaitu sutu teks dokumen yang hidup berdasarkan napas dan kebutuhan masyarakat bukan hukum yang mengabsolutkan tafsir dan menerapkannya dalam suatu impersonalitas pranata dan kelembagaan hukum .. Diposkan oleh sketsa_pantarei di 4/11/2010 10:17:00 AM 0 komentar:

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!