SENJAKALA KAPITALISME,EKONOMI PASAR DAN NEGARA KRSEJAHTERAAN : Krisis Ekonomi Amerika Serikat dan Eropa

Krisis ekonomi yang berlarut-larut di Eropa sejak 2010 dan di Amerika Serikat (AS) ,bahkan sejak 2008, sepertinya belum menemui titik akhir dan masih sulit dibaya.gkan penyelesaiannya di kedua wilayah itu
    Di Eropa, penyelesaian yang diajukan Uni  Eropa dan IMF sepertinya belum diterima oleh negara-negara Eropa yang mengalami krisis ekonomi parah seperti Yunani misalnya yang terjadi malah social resistance dalam bentuk rusuh masal menolak usulan pemotongan anggaran , pengurangan pegawai , hal ini terjadi pula di negara-negara Eropa lainnya misalnya Spanyol dan terakhir Inggris , sepertinya di antara warga Eropa , ini terjadi karena seluruh warga Eropa (Barat) sudah 60 tahun lebih “ dimanjakan“ aoleh konsep Negara Kesejahteraana yang berlaku di negara Eropa Barat sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua dimana tidak peduli partai berideologi apapun yang memerintah mau itu partai berideologi kiri seperti PASOK di Yunani , partai berideologi kiri tengah seperti partai Sosialis di Prancis dan Spanyol ,partai Sosial Demokrat di Jerman ,partai  Buruh di Inggris ,Belanda dan negara Skandinavia atau partai berideologi kanan tengah seperti Partai Konservatif di Inggris bahkan partai kanan seperti RPR di Perancis atau Partai Kristen Demokrat di Jerman dan Belanda semuanya sama-sama menganut konsep negara kesejahteraan sejak akhir perang dunia kedua , pada mulanya konsep negara kesejahteraan ini dibiayai oleh kekuatan ekonomi industri dari negara-negara Eropa sendiri dan itu bisa dilihat dari kelahiran Uni Eropa yang awalnya hanya mengatur harga batubara yang sangat diperlukan bagi negara Eropa tapi kemudian Uni Eropa menjadi fungsinya meluas dan sejak awal abad ke-21ini  Uni Eropa menjadi super state bagi para anggotanya, karena mengatur seluruh aspek poleksosbud dan hukum bagi seluruh negara anggota Uni Eropa .
  Keadaan mulai berubah di Eropa setelah tahun 70-an ,Jepang jadi kekuatan ekonomi baru dunia dan menyusul RRC di awal abad ke-21ini, sehingga akhirnya kemampuan ekonomi negara Eropa merosot karena tidak mampu bersaing dengan kekuatan ekonomi baru dunia terutama RRC, sehingga untuk membiayai negara kesejahteraan yang mereka anut mereka terpaksa mengandalkan pada Surat Utang Negara dan Obligasi Negara dan  dari sinilah krisis di Eropa bermulai karena Surat Utang Negara dan Obligasi Negara adalah surat berharga yang tunduk pada dinamika global dan ketika AS mengalami krisis finansial di tahun 2008 maka krisis di AS ini menjadi contagius ke seluruh dunia termasuk kawasan Eropa sehingga banyak negara-negara di Eropa mengalami default dalam surat utang negara yang dimilikinya.

Posted from WordPress for Android

Thirty years reflection upon postmodern thought : Personal Reflection When i was studying psychology in third semester in mid 1991, I attended a one day seminar on postmodern thought in PAU IS at University of Indonesia ,at that moment i was amazing on postmodern thought because that‘s really new one for me. One major themes on postmodern thought that elaborated at that seminar was postmodern character . First , postmodern is the third stage of sign, the sign has become reality or hyperreality as Jean Baudrillard ,famous French Postmodernism philosopher, said. The sign masks the fact that there is no basic reality. The contemporary communication tools such as multimedia player, smartphone , tv satelite , internet have produced a global village world as John Naisbitt said but it ‘s also produce global hatred ,global emotion , global marginality and global radicalization. Multinational capitalist and corportion reproduces global postmodern sign and articulates a set of popular ideologies which contain family , sexuality , race , prejudice , work ,accumulation of capital and leisure in one package which globally marketed , distributed ,sold and consumed in emerging countries and Third world countries.

Postmodern thought

HABEAS CORPUS

Habeas Corpus is an ancient common law prerogative writ – a legal procedure to which you have an undeniable right. It is an extraordinary remedy at law. Upon proper application, or even on naked knowledge alone, a court is empowered, and is duty bound, to issue the Extraordinary Writ of Habeas Corpus commanding one who is restraining liberty to forthwith produce before the court the person who is in custody and to show cause why the liberty of that person is being restrained. Absent a sufficient showing for a proper restraint of liberty, the court is duty bound to order the restraint eliminated and the person discharged. Habeas Corpus is fundamental to American and all other English common law derivative systems of jurisprudence. It is the ultimate lawful and peaceable remedy for adjudicating the providence of liberty�s restraint. Since the history of Habeas Corpus is predominately English we must visit that history to gain understanding of American use of Habeas Corpus.

ENGLISH HISTORY OF HABEAS CORPUS: The history of Habeas Corpus is ancient. It appears to be predominately of Anglo-Saxon common law origin. Clearly, it precedes Magna Carta in 1215. Although the precise origin of Habeas Corpus is uncertain in light of it�s antiquity, its principle effect was achieved in the middle ages by various writs, the sum collection of which gave a similar effect as the modern writ. Although practice surrounding the writ has evolved over time, Habeas Corpus has since the earliest times been employed to compel the appearance of a person who is in custody to be brought before a court. And while Habeas Corpus originally was the prerogative writ of the King and his courts, the passage of hundreds of years time has permitted it to evolve into a prerogative writ initiated by the person restrained, or someone acting in his interest rather than by the King or his courts. Magna Carta obliquely makes reference to Habeas Corpus through express reference to �the law of the land�. From Magna Carta the exact quote is: �…no free man shall be taken or imprisoned or disseised or exiled or in any way destroyed except by the lawful judgment of their peers or by the law of the land.� The practice and right of Habeas Corpus was settled practice and law at the time of Magna Carta and was thus a fundamental part of the unwritten common �law of the land� as was expressly recognized by Magna Carta.

CIVIL LAW VS. COMMON LAW: However, Habeas Corpus was generally unknown to the various civil law systems of Europe which are generally devolved from Roman and/or Justinian law. European civil law systems tend to favor collective authority from the top down while the Anglo-Saxon common law tends to favor the individual. Thus, it is altogether understandable that the ultimate right to determine the propriety of restraint upon the liberty of an individual is an almost unique feature derived from the ancient Anglo-Saxon common law of England. Indeed, the Magna Carta itself is arguably a reaction to the incursion of European civil law into the English common law legal system via William in 1066. The running tension and contest between the civil law of the �Norman intruders� intrusively confronting the ancient Anglo-Saxon common law continued throughout the period 1066 to the 1640�s when, following the English Civil War, and the beheading of King Charles I in 1649, the people�s parliament clearly established the respective position of King and citizen. In this crucible of contest, the confrontation of top down authoritarian civil law principles clashed and continuously competed with, but then yielded to, the ancient �good old� common law of the land. In the final analysis, the strength and resilience, and I might add common sense, of the evolved, time tested, common law prevailed. The interest of the people as reflected in their common law won a several centuries old contest with the civil law brought to England by the Norman conquest. Habeas Corpus is merely one feature, albeit it an important one, of the common law. As a feature of common law, the right of Habeas Corpus reflects the age old contest between the individual and the state. Habeas Corpus empowers the individual in holding accountable the exercise of the state�s awesome power to restrain liberty.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERAMPASAN ASET
1
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PERAMPASAN ASET
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset
hasil tindak pidana berikut instrumen yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung
upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai
pengelolaan aset yang telah disita dan dirampas akan mendorong
terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan dan
akuntabel;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang
perampasan aset;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Memutuskan:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis.
2. Hasil Tindak Pidana adalah setiap aset yang diperoleh secara langsung maupun
tidak langsung dari suatu tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamnya
kemudian dikonversi, diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan
atau diperoleh langsung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal,
atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut dari waktu
ke waktu sejak terjadinya tindak pidana tersebut.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
2
3. Penelusuran adalah upaya untuk mengikuti, mengungkap atau memastikan
keberadaan suatu aset hasil tindak pidana melalui pencarian atau penelitian
terhadap bahan keterangan atau bukti yang ditemukan.
4. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan
atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
5. Pemblokiran adalah pembekuan sementara aset dengan tujuan untuk mencegah
dialihkan atau dipindahtangankan.
6. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambilalih atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian, penyidikan, penuntutan dan
peradilan.
7. Perampasan adalah upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau
keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari
tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing.
8. Perampasan In Rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan
pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa
aset tersebut yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak
pidana.
9. Perampasan Pidana adalah tindakan negara menuntut mengambil alih aset melalui
putusan pengadilan dalam perkara pidana.
10. Pengelolaan adalah kegiatan perencanaan dan penganggaran, penyimpanan,
pengunaan/pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan,
pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengembalian aset
11. Badan Pengelola Aset adalah suatu badan yang mempunyai fungsi
mengidentifikasi dan menemukan hasil tindak pidana serta mengelola aset yang
berasal dari penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dengan maksud harta
tersebut dapat dikelola secara transparan, akuntabel dan kondisinya terjaga secara
fisik maupun ekonomis.
BAB II
PENELUSURAN
Pasal 2
(1) Penelusuran dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau jaksa/penuntut umum sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penelusuran dilakukan apabila penyelidik, penyidik atau jaksa/penuntut umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan bahan keterangan tentang:
a. benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak
pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi Penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda yang tercipta dari suatu tindak pidana; dan/atau
f. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
3
g. aset yang diduga diperoleh dari memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain
secara melawan hukum.
h. aset yang diduga merupakan hasil dan/atau alat melakukan perbuatan melanggar
hukum.
Pasal 3
(1) Dalam rangka melaksanakan penelusuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), penyelidik, penyidik atau jaksa/penuntut umum berwenang meminta,
meneliti, dan menganalisis data dan informasi yang disimpan dan/atau dikelola oleh
orang perseorangan dan/atau badan hukum.
(2) Orang perseorangan dan/atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memberikan data dan informasi untuk kepentingan penelusuran.
(3) Ketentuan kerahasiaan dalam penyampaian data dan informasi oleh orang
perseorangan dan/atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Dalam rangka melaksanakan penelusuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), penyelidik, penyidik, atau jaksa/penuntut umum dapat melakukan kerjasama
pertukaran informasi dengan badan-badan lain baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Pasal 5
Dalam rangka melaksanakan penelusuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), dapat dibentuk satuan tugas gabungan yang anggotanya terdiri dari instansi-instansi
terkait.
Pasal 6
Dalam melaksanakan Penelusuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
penyelidik, penyidik, atau jaksa/penuntut umum, dapat meminta bantuan kepada pihak
lain yang berupa orang perseorangan dan/atau badan hukum.
Pasal 7
(1) Informasi hasil penelusuran yang menunjukan adanya hubungan dengan tindak
pidana yang sedang dalam proses penanganan perkara pidana diberitahukan kepada
penyidik atau penuntut umum.
(2) Penyitaan terhadap aset sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
pejabat yang melaksanakan penelusuran dengan tidak mengurangi wewenang
penyidik atau penuntut umum untuk mendapat akses terhadap aset tersebut.
(3) Hasil Penelusuran yang menunjukan adanya hubungan dengan putusan pengadilan
dalam perkara pidana diserahkan kepada jaksa sebagai pelaksana putusan pidana.
(4) Hasil Penelusuran yang berdasarkan bukti-bukti yang cukup menunjukan adanya
aset yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana atau digunakan untuk
melakukan tindak pidana, diserahkan kepada penyidik yang berwenang untuk
dilakukan penyitaan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
4
BAB III
PENGGELEDAHAN, PEMBLOKIRAN DAN PENYITAAN
Bagian Pertama
Penggeledahan
Pasal 8
Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah,
bangunan tertutup, kapal, badan, dan/atau pakaian.
Pasal 9
(1) Dalam hal penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, Penyidik harus
mendapat izin (Ketua Pengadilan Negeri/Hakim Komisaris) berdasarkan
permohonan melalui Penuntut Umum.
(2) Dalam keadaan mendesak, Penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat
izin dari (Ketua Pengadilan Negeri/Hakim Komisaris).
(3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada
(Ketua Pengadilan Negeri/Hakim Komisaris) melalui Penuntut Umum dalam
waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggeledahan,
untuk mendapatkan persetujuan (Ketua Pengadilan Negeri/Hakim Komisaris).
Pasal 10
(1) Penyidik wajib menunjukkan surat tugas dan surat izin penggeledahan dari (Ketua
Pengadilan Negeri/Hakim Komisaris), dalam melakukan penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Jika Penyidik melakukan penggeledahan dengan memasuki rumah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penggeledahan harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(3) Dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak berada di tempat, jika
memasuki rumah, Penyidik harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dan 2 (dua) orang saksi.
(4) Penyidik harus membuat Berita Acara penggeledahan rumah yang ditandatangani
oleh Penyidik, saksi, dan pemilik atau penghuni rumah atau kepala desa atau
ketua lingkungan.
(5) Dalam hal pemilik atau penghuni rumah menolak atau tidak berada di tempat,
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Penyidik,
saksi, dan kepala desa atau ketua lingkungan.
(6) Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penggeledahan
rumah, Penyidik memberikan tembusan Berita Acara kepada pemilik atau
penghuni rumah yang bersangkutan dan kepada (Ketua Pengadilan Negeri/Hakim
Komisaris).
Pasal 11
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, Penyidik tidak boleh melakukan tindakan
kepolisian pada:
a. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
b. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah dan/atau upacara keagamaan;
dan
c. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
5
Pasal 12
(1) Apabila Penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah
hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh hakim komisaris
dan didampingi oleh Penyidik dari daerah hukum tempat penggeledahan tersebut
dilakukan.
(2) Penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 13
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam
tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum berwenang menggeledah
pakaian termasuk benda yang dibawa serta oleh tersangka.
(2) Apabila tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawa kepada Penyidik,
Penyidik berwenang menggeledah pakaian dan/atau menggeledah badan
tersangka.
Bagian Kedua
Pemblokiran
Pasal 14
(1) Pemblokiran dapat dilakukan apabila penyidik atau penuntut umum terhadap Aset
yang dapat diterangkan oleh pemilik atau yang menguasainya, tidak terang siapa
pemiliknya, serta aset yang diduga diperoleh dari memperkaya diri sendiri
dan/atau orang lain secara melawan hukum atau aset yang diduga merupakan hasil
dan/atau alat melakukan perbuatan melanggar hukum.
(2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 15
(1) Pemblokiran dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan atas perintah penyidik atau
penuntut umum sesuai kewenangan berdasarkan Undang-undang.
(2) Selama pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik atau penuntut
umum mengumumkan Aset tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman
pengadilan negeri, media massa, media elektronik, dan internet guna memberikan
kesempatan kepada orang yang berhak atau pihak ketiga yang beritikad baik untuk
mengajukan keberatan.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan 3 (tiga) kali dalam
waktu 15 (lima belas) hari.
Pasal 16
(1) Dalam hal ada orang yang berhak atau pihak ketiga merasa keberatan terhadap
pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, orang atau pihak ketiga yang
bersangkutan menyampaikan keberatan secara tertulis dengan melampirkan
dokumen atau bukti pendukung.
(2) Penyidik atau penuntut umum wajib meneliti dan menilai kebenaran dokumen
atau bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
6
Pasal 17
(1) Apabila hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2) menunjukkan bahwa dokumen dan bukti pendukung diyakini kebenarannya,
penyidik atau penuntut umum wajib mencabut pemblokiran.
(2) Apabila hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(2) menunjukkan bahwa dokumen dan bukti pendukung tidak diyakini
kebenarannya, penyidik atau penuntut umum wajib melanjutkan pemblokiran.
Pasal 18
(1) Dalam hal penyidik atau penuntut umum memutuskan untuk melanjutkan
pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), maka orang yang
berhak atau pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan.
(2) Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh orang yang berhak
dan/atau pihak ketiga kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung sejak pengumuman berakhir.
(3) Pemeriksaan dilakukan melalui proses acara perdata, dengan mewajibkan pihak
yang mengajukan perlawanan untuk membuktikan bahwa Aset tersebut adalah
miliknya atau sah dalam penguasaannya dan bukan berasal dari tindak pidana.
(4) Acara pemeriksaan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
secara cepat dan paling lambat 120 (seratus dua puluh hari) hari, Hakim harus
sudah menjatuhkan putusannya.
Pasal 19
(1) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa Aset tersebut adalah milik atau sah dalam
kekuasaan pihak yang mengajukan perlawanan dan tidak terkait dengan tindak
pidana, Hakim mengeluarkan putusan untuk mencabut pemblokiran dan
memerintahkan penyidik atau penuntut umum untuk mengembalikan Aset kepada
yang berhak.
(2) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa pihak yang mengajukan perlawanan tidak
dapat membuktikan Aset tersebut miliknya yang sah dalam kekuasaannya dan
tidak terkait dengan tindak pidana, Hakim mengeluarkan putusan Aset tersebut
tetap dalam status diblokir hingga habis jangka waktunya sebagaimana diatur oleh
undang-undang.
Bagian Ketiga
Penyitaan
Pasal 20
(1) Penyitaan yang dilakukan diluar dari sebagaimana yang diatur menurut hukum
acara pidana hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana pejabat pelaksana
penyitaan harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin
terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) pejabat pelaksana penyitaan
dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
7
Pasal 21
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana;
Catatan:
Perlu ditentukan persyaratan untuk dilakukannya penyitaan terhadap benda
tersebut pada huruf a
b. aset hasil tindak pidana;
c. benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
d. benda yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat
juga disita untuk sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 22
(1) Penyitaan dilakukan berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik
dengan menyebutkan secara jelas tentang barang yang disita serta tindak pidana
yang disangkakan terkait dengan benda yang disita.
(2) Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda
pengenal dan surat perintah penyitaan kepada orang dari mana benda itu disita.
(3) Setelah penyitaan dilakukan maka penyidik segera membuat berita acara penyitaan
dan menyerahkan tembusan berita acara penyitaan dengan dilampiri formulir
pernyataan keberatan kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 23
Penyidik wajib mengumumkan penyitaan yang telah dilakukan kepada masyarakat
melalui surat kabar daerah dan surat kabar nasional serta pada papan pengumuman
pengadilan negeri di daerah hukum tempat benda disita paling lambat 3 hari kerja sejak
dilakukan penyitaan.
Pasal 24
(1) Untuk kepentingan agar dapat diketahui oleh publik, pemerintah menyediakan situs
online khusus memuat daftar benda yang disita oleh penyidik.
(2) Benda yang disita harus diumumkan di situs online sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) paling lambat 3 hari sejak benda disita.
Pasal 25
Orang dari mana benda itu disita dapat mengisi formulir pernyataan keberatan yang
telah diserahkan oleh penyidik dan menyerahkan formulir tersebut kembali kepada
penyidik dengan tembusan ke pengadilan negeri paling lambat 60 hari sejak benda
tersebut disita.
Pasal 26
Pihak ketiga yang berkepentingan dengan aset yang disita dapat mengajukan keberatan
ke pengadilan negeri paling lambat 60 hari kerja sejak benda itu disita.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
8
Pasal 27
Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak barang disita tidak ada pihak yang
mengajukan keberatan terhadap benda yang disita, maka penyidik mengajukan
permohonan kepada pengadilan negeri untuk menetapkan benda yang disita tersebut
sebagai milik negara.
Pasal 28
Benda yang telah ditetapkan oleh pengadilan negeri sebagai milik negara sebagaimana
dimaksud Pasal 90 (sembilan puluh) diserahkan kepada Badan Pengelola Asset.
BAB IV
PERAMPASAN
Bagian Kesatu
Perampasan In Rem
Pasal 29
(1) Aset yang dapat dikenakan perampasan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya.
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
Catatan:
Perlu ditentukan persyaratan untuk dilakukannya penyitaan terhadap benda
tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e
f. benda yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau
memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
g. benda yang merupakan barang temuan.
Pasal 30
(1) Jaksa Agung Republik Indonesia memberikan kuasa khusus kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk mengajukan permohonan perampasan In Rem kepada
Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat barang atau Aset untuk
diserahkan kepada Badan Pengelola Aset.
(2) Permohonan diajukan secara tertulis dan memuat sekurang-kurangnya:
a. jenis, jumlah, dan taksiran nilai barang yang akan dirampas;
b. tempat barang ditemukan atau disita;
c. dari siapa barang disita; dan
d. alasan perampasan In Rem.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
9
Pasal 31
Jaksa Pengacara negara mengajukan bukti minimum di depan persidangan untuk
membuktikan bahwa barang yang digugat adalah diduga kuat berasal dari suatu tindak
pidana dan/atau merupakan hasil tindak pidana dan/atau digunakan untuk melakukan
suatu tindak pidana dan/atau merupakan aset diperoleh dari kegiatan tidak sah.
Penjelasan:
Bukti minimum adalah dugaan yang didapat dari kegiatan penelusuran.
Pasal 32
(1) Hakim menilai kekuatan bukti-bukti yang diajukan dengan tidak terikat pada
ketentuan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata.
(2) Hasil penilaian Hakim diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri selambatlambatnya
3 (tiga) hari sejak permohonan diajukan.
(3) Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan atas permohonan perampasan In
Rem selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak permohonan diajukan.
(4) Isi putusan Hakim berupa penetapan yang isinya dapat berupa mengabulkan atau
menolak permohonan perampasan In Rem.
Pasal 33
(1) Perampasan In Rem tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik.
(2) Dalam hal perampasan In Rem menimbulkan kerugian pihak ketiga yang beritikad
baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Badan
Pengelola Aset dalam waktu paling lambat 1 (satu) minggu sejak dilakukannya
perampasan In Rem.
(3) Dalam waktu 2 (dua) minggu, Badan Pengelola Aset sudah harus menetukan sikap
apakah akan menerima keberatan atau tidak.
(4) Dalam hal keberatan pihak ketiga tersebut ditolak / tidak diterima, dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Pasal 34
(1) Pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan atas harta perampasan In Rem
yang telah mendapat penetapan pengadilan negeri dapat mengajukan keberatan
kepada Badan Pengelola Aset.
Penjelasan :
Berlaku asas actori incumbis probatio (pihak yang mendalilkan, yang harus
membuktikan dalilnya tersebut) bagi pihak ketiga.
(2) Badan Pengelola Aset menentukan sikap menolak atau menerima keberatan pihak
ketiga dalam waktu 7 (tujuh) hari.
(3) Dalam hal Badan Pengelola Aset menolak keberatan pihak ketiga, maka pihak
ketiga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
(4) Hakim sudah harus menjatuhkan putusannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari
(5) Upaya hukum atas putusan tersebut, hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
(6) Dalam hal putusan pengadilan mengabulkan gugatan pihak ketiga, maka objek
gugatan dikembalikan atau uang senilai objek gugatan tersebut.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
10
Bagian Kedua
Perampasan Pidana
Pasal 35
(1) Perampasan pidana dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak
pidana dan dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara.
(2) Tata cara perampasan pidana dilakukan menurut tata cara yang diatur di dalam
Hukum Acara Pidana.
BAB VI
BADAN PENGELOLA ASET
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tanggung Jawab
Pasal 36
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Pengelola Aset yang selanjutnya
disebut BPA.
(2) BPA berfungsi memulihkan atau mengembalikan hasil tindak pidana.
Pasal 37
BPA dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia.
Pasal 38
(1) BPA berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
(2) Perwakilan BPA Daerah merupakan bagian dari BPA.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 39
Dalam melaksanakan fungsi pemulihan atau pengembalian hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), BPA mempunyai tugas:
1. melakukan penelusuran atas aset yang merupakan hasil tindak pidana atau instrumen
yang akan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana.
2. melakukan pengelolaan atas aset yang disita atau rampas.
Pasal 40
Dalam melaksanakan tugas penelusuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1), BPA berwenang:
1. mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan hasil tindak pidana;
2. mengindentifikasi status kepemilikan, nilai, dan kemungkinan untuk melakukan
penyitaan dan perampasan;
3. mengidentifikasi dan menemukan hasil tindak pidana dan aset yang akan digunakan
atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan;
4. menghitung nilai aset yang akan disita atau dirampas; dan
5. memberikan asistensi dan mengkoordinasikan upaya penelusuran aset yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
11
Pasal 41
Dalam melaksanakan tugas pengelolaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (2), BPA berwenang :
1. menerima tembusan berita acara penyitaan dari aparat penegak hukum dan
memantau keberadaan aset yang telah disita oleh aparat penegak hukum;
2. menerima hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh aparat penegak hukum
termasuk dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan kepemilikan serta
penyitaan dan perampasan aset tersebut;
3. menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kepemilikan atau kewajiban
jika aset hasil sitaan atau rampasan dimaksud ternyata sebagian dimiliki oleh pihak
ketiga atau di dalamnya melekat kewajiban-kewajiban tertentu kepada pihak ketiga
yang mempunyai itikad baik;
4. menjaga dan memelihara aset hasil sitaan atau rampasan agar nilai ekonomisnya
terus bertambah atau setidaknya tidak berkurang secara signifikan antara lain
dengan menempatkan aset tersebut pada tempat penyimpanan yang layak,
melakukan pemeliharaan berkala, melakukan perbaikan, dan juga membayar
kewajiban-kewajiban yang melekat pada aset tersebut;
5. menunjuk atau menetapkan pihak yang akan melaksanakan kepengurusan atas
perusahaan atau kegiatan usaha sesuai dengan kewenangan yang pemilik saham atau
pemilik kegiatan usaha jika aset hasil sitaan atau rampasan dimaksud berbentuk
kepemilikan saham atau kepemilikan kepentingan pada kegiatan usaha;
6. melaksanakan perintah aparat penegak hukum untuk menjual aset tertentu sebelum
adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
misalnya untuk aset yang mudah rusak atau biaya pengelolaannya sangat tinggi;
Penjelasan:
Jika diperlukan, BPA dapat mengusulkan kepada aparat penegak hukum untuk menjual
aset sebelum putusan inkracht.
7. membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu dengan melaksanakan
penjualan, pemusnahan, pengembalian kepada pemilik atau pengalihan hak
kepemilikan kepada pihak tertentu atas aset sesuai dengan putusan pengadilan; dan
8. mengelola dana yang dihasilkan dari penjualan harta rampasan, menerima
permintaan bagi hasil dan menetapkan bagi hasil sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
Setiap pihak dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan
tugas dan kewenangan BPA.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi dan Manajemen SDM
Pasal 43
Susunan organisasi BPA terdiri dari :
a. Kepala;
b. Wakil Kepala;
c. Deputi;
d. Jabatan struktural lainnya; dan
e Jabatan fungsional.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
12
Pasal 44
Kepala BPA adalah penanggung jawab yang memimpin dan mengendalikan
pelaksanaan tugas dan wewenang BPA.
Pasal 45
(1) Kepala BPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.
(2) Kepala BPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Presiden atas usul
Jaksa Agung Repubik Indonesia.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat sebagai Kepala BPA, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;
e. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, atau hukum
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
f. bukan pengurus partai politik;
g. menyampaikan daftar kekayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
h. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 47
(1) Kepala BPA sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Presiden.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi Kepala BPA langsung atau
tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau
menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun halhal
yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan
selaku Kepala BPA dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung
jawab”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 48
(3) Wakil Kepala BPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b diangkat dan
diberhentikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
(4) Wakil Kepala BPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Jaksa
Agung Republik Indonesia atas usul Kepala BPA.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
13
Pasal 49
Untuk dapat diangkat sebagai Wakil Kepala BPA, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60
(enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;
e. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, atau hukum
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
f. bukan pengurus partai politik;
g. menyampaikan daftar kekayaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
h. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 50
(1) Wakil Kepala BPA bertugas membantu Kepala BPA dalam mengoordinasikan
kegiatan seluruh deputi.
(2) Wakil Kepala BPA dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggung jawab kepada Kepala BPA.
(3) Dalam hal Kepala BPA berhalangan, Wakil Kepala BPA menjalankan tugas
sebagai Kepala BPA.
Pasal 51
(1) Wakil Kepala BPA sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Jaksa Agung Republik
Indonesia.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi Wakil Kepala BPA langsung
atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau
menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal
yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan
selaku Wakil Kepala BPA dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung
jawab”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 52
Kepala dan Wakil Kepala BPA memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali hanya untuk sekali masa jabatan berikutnya.
Pasal 53
Kepala atau Wakil Kepala BPA berhenti karena:
a. meninggal dunia;
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
14
b. mengundurkan diri; atau
c. berakhir masa jabatannya.
Pasal 54
(1) Kepala atau Wakil Kepala BPA diberhentikan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu
lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara yang lamanya 4 (empat) tahun atau lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Dalam hal Kepala dan/atau Wakil Kepala BPA menjadi tersangka tindak pidana
yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatannya, diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh
Presiden Republik Indonesia.
Pasal 55
Ketentuan mengenai penggajian, penghargaan, tunjangan jabatan, tunjangan hari tua,
penghasilan, dan fasilitas bagi Kepala dan Wakil Kepala BPA diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 56
Dalam hal diperlukan, Kepala BPA dapat mengangkat Tenaga Ahli untuk memberikan
pertimbangan mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.
Pasal 57
(1) Deputi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c diangkat dan diberhentikan
oleh Kepala BPA.
(2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi pemulihan dan
pengembalian aset.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja BPA diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 59
Kepala BPA adalah pejabat pembina kepegawaian di lingkungan BPA.
Pasal 60
(1) Kepala BPA selaku pejabat pembina kepegawaian menyelenggarakan manajemen
sumber daya manusia BPA yang meliputi perencanaan, pengadaan, pembinaan,
pemberhentian, dan pemberian remunerasi.
(2) Manajemen sumber daya manusia BPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
15
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen sumber daya manusia BPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pembiayaan
Pasal 61
Biaya untuk pelaksanaan tugas BPA dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara APBN dan pendapatan lain yang diperoleh secara sah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan:
Pendapatan lain dapat berupa penerimaan dari asset sharing.
BAB VII
PEMBAGIAN HASIL RAMPASAN
Pasal 62
(1) Dalam hal hakim memutus bahwa Aset dirampas untuk negara, dan putusan
tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka sebesar 25% (dua puluh
lima perseratus) dari nilai Aset tersebut diberikan untuk lembaga penegak hukum
dan instansi terkait lainnya.
(2) Pembagian aset hasil rampasan dapat berupa:
a. peningkatan kapasitas aparat atau pegawai dari institusi yang berjasa dalam
penyitaan atau perampasan hasil kejahatan;
b. pengadaan mesin dan peralatan untuk penunjang kegiatan; atau
c. penggantian biaya yang telah dikeluarkan aparat penegak hukum atau aparat
pemerintah yang bersangkutan dalam mengungkap tindak pidana dan atau
merampas hasil tindak pidana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian Aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB VIII
KERJASAMA INTERNASIONAL
Pasal 63
(1) Kerjasama internasional terkait dengan bantuan perampasan dan pengelolaan aset
berdasarkan ketentuan-ketentuan dan/atau kebiasaan internasional dilaksankan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
(2) Pelaksanaan permintaan bantuan perampasan aset dapat dilaksanakan atas dasar
hubungan baik dan asas resiprositas.
(3) Permintaan bantuan perampasan aset oleh Negara Peminta dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah Republik Indonesia jika hukum di Negara Peminta dapat menjamin
pelaksanaan perampasan aset.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
16
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (RUPBASAN)
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang BPA.
b. Kepala dan Wakil Kepala BPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal … harus sudah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini ditetapkan.
c. Dengan ditetapkannya Kepala dan Wakil Kepala BPA sebagaimana dimaksud
pada huruf b, RUPBASAN menjadi bagian dari struktur organisasi BPA.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, segala peraturan perundangan yang
terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang RUPBASAN sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 66
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

(Rancangan)
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …TAHUN …
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA
I. UMUM
Dua puluh tujuh tahun perjalanan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan waktu yang cukup panjang untuk melihat,
memahami, dan mendalami kelemahan dan kelebihan makna substansi KUHAP
tersebut dalam implementasinya. Dalam waktu lebih dari seperempat abad ini pula
terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan hukum akibat kemajuan teknologi, terutama di
bidang komunikasi dan transportasi sehingga dunia terasa semakin kecil. Globalisasi
ekonomi, keuangan, dan perdagangan semakin meluas sehingga suatu negara tidak
dapat menutup diri dari pengaruh luar termasuk di bidang hukum.
Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional yang
substansinya langsung berkaitan dengan penegakan hukum antara lain:
a. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia;
b. International Covenant on Civil and Political Rights yang disahkan dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) ;
c. United Nations Convention Against Corruption yang disahkan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Dalam International Covenant on Civil and Political Rights diatur sejumlah
ketentuan mengenai hak asasi manusia, terutama mengenai penahanan yang langsung
terkait dengan substansi KUHAP.
Selain permasalahan praktik penanganan perkara tindak pidana, perkembangan
hukum dan perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi,
transportasi, dan teknologi yang global berpengaruh pula pada makna dan keberadaan
substansi KUHAP.
Perubahan harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama
demi menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang
berkembang sesuai dengan tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang diiinginkan
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
83
harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas yang
terkandung sebelumnya, misalnya asas:
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang-
Undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap;
4. Orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau didadili tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana,
atau dikenakan hukuman disiplin;
5. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur,
dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen pada seluruh tingkat
peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atau dirinya;
7. Terhadap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan wajib
diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya dan wajib
diberitahu haknya tersebut termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan
advokat;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang;
9. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang;
10. Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar
(fair) dan para pihak berlawanan secara berimbang (adversarial); dan
11. Bagi setiap korban harus diberikan penjelasan mengenai hak yang diberikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat peradilan.
Di dalam KUHAP ini dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya kepastian
hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum tak tertulis tidak dapat
dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam lingkup hukum acara pidana.
Ditentukan pula bahwa ruang lingkup hukum acara pidana untuk melaksanakan tata
cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan,
kaitannya dengan pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya hukum
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
84
acara pidana ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan umum.
Ketentuan mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan perkembangan hukum,
terutama berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia.
Kewenangan penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh pejabat kepolisian, melainkan
juga pegawai negeri atau orang tertentu, misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
Selain perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga diperluas tidak
hanya pejabat kepolisian, melainkan antara lain 2 (dua) pejabat tertentu yakni pejabat
imigrasi dan pejabat bea cukai, yang ditetapkan oleh KUHAP yang diberikan
kewenangan menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa
penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, Undang-Undang lain tidak
dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan pejabat penyidik tersebut. Hal
ini dimaksudkan untuk kepastian hukum dan menghindari tumpang tindih kewenangan
penyidikan di kemudian hari oleh suatu Undang-Undang yang mengaturnya.
Keberadaan pegawai negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal dengan PPNS,
tetap diberikan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang yang mengaturnya, tetapi
dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas dan fungsi yang secara teknis
memerlukan keahlian tertentu atau spesifik.
Untuk peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini penyidik
pembantu ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di jajaran Kepolisian
Negara Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya.
Dalam KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 ditiadakan, misalnya, kewenangan prapenuntutan penuntut umum;
kewenangan penangkapan dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan
penahanan kota (konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa
perpanjangan penahanan karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan benda sitaan
negara (Rupbasan) dalam KUHAP ini juga ditiadakan, yakni dengan memberikan
kewenangan masing-masing instansi yang melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat
pemeriksaan. Keberadaan Rupbasan tersebut pada awalnya dikehendaki untuk
secepatnya melaksanakan KUHAP, namun dalam perjalanannya banyak mengalami
kendala, di samping juga belum tersedianya sarana dan prasarana.
Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, dengan ketentuan bahwa waktu
penangkapan diperhitungkan setelah yang bersangkutan berada dalam tempat
pemeriksaan, bukan pada saat ditangkap. Waktu penahanan pada semua tingkat
peradilan diubah menjadi 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga
puluh) hari sehingga keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh
penyidik sampai tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300 (tiga
ratus) hari. Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh melebihi ancaman
pidana maksimum. Penangguhan penahanan hanya dijamin dengan uang dan syarat
serta besarnya jaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai rujukan atau acuan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya,
KUHAP ini secara umum mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor,
pengadu, saksi, dan korban sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
85
Bantuan hukum dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan Undang-Undang
tentang Advokat. Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam
berhubungan dengan tersangka atau terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum,
dan petugas rutan. Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk
menolak bantuan hukum.
Ditentukan pula mengenai terdakwa yang berhak untuk banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas (bukan lepas dari segala
tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat).
Untuk menggantikan lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan
sebagaimana mestinya, ditentukan lembaga baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga
“Hakim Komisaris”. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak
antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang
hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga
praperadilan).
Peradilan koneksitas sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara
peradilan pidana militer dan peradilan pidana umum tidak lagi ditentukan atau diatur
dalam KUHAP ini. Hal ini berkaitan dengan keinginan adanya penundukan militer ke
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana
Militer menentukan lain.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ketentuan di dalam pasal ini adalah asas legalitas dalam hukum acara pidana.
Ada perbedaan antara asas legalitas di dalam hukum acara pidana dan hukum
pidana materiel yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang memakai istilah perundang-undangan pidana, sedangkan di
sini dipakai istilah Undang-Undang pidana. Ini berarti peraturan yang lebih rendah
dari Undang-Undang misalnya Peraturan Daerah tidak boleh mengatur acara
pidana, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan seterusnya, tetapi
boleh merumuskan suatu tindak pidana.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini disebut lex specialis derogate legi generali, artinya Undang-
Undang hukum pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana boleh
mengatur beberapa ketentuan hukum acara pidana sendiri yang
menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, namun jika
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
86
tidak menyimpang secara tegas, maka berlaku ketentuan yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Misalnya, Undang-
Undang tentang Terorisme yang mengatur mengenai jangka waktu
penahanan yang lebih lama daripada yang ditentukan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “dilaksanakan secara wajar” adalah setiap orang yang
melakukan tindak pidana dan dituntut karena tindak pidana yang sama diadili
berdasarkan peraturan yang sama.
Yang dimaksud dengan “para pihak berlawanan secara berimbang” adalah yang
dikenal dengan sistem adversarial yang harus menjamin keseimbangan antara
hak Penyidik, hak Penuntut Umum, dan/atau hak tersangka atau terdakwa dalam
proses peradilan pidana.
Dengan demikian, penerapan hukum acara pidana di Indonesia merupakan
perpaduan antara sistem Eropa Kontinental dengan sistem adversarial.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” antara lain, meninggal dunia,
tidak mampu secara fisik dan mental, dibawah pengampuan, atau di bawah
perwalian.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud ”pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus
menurut Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan
penyidikan”, ialah yang ditunjuk oleh perundang-undangan administrasi
yang bersanksi pidana, misalnya pejabat Bea Cukai, Imigrasi, Tera,
Perikanan, Lalu -Lintas dan Angkutan Jalan, dan lain-lain.
Huruf c
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
87
Yang dimaksud dengan “pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara
khusus menurut Undang-Undang tertentu yang diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan”, ialah:
– Kejaksaan yang berwenang menyidik pelanggaran berat Hak Asasi
Manusia, korupsi dan lain-lain;
– Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang menyidik tindak pidana
korupsi; dan
– Perwira Angkatan Laut yang berwenang menyelidiki pelanggaran di
Zona Ekonomi Eksklusif.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tindakan pertama” antara lain, mengamankan
tempat kejadian perkara, memasang garis polisi (police line).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar penuntut umum sejak awal
sudah mengikuti perkembangan proses Penyidikan dan memberikan
konsultasi untuk perkara penting, sehingga tercipta sistem peradilan pidana
terpadu dan sekaligus untuk efisiensi penyelesaian pemberkasan perkara
dan tidak terjadi bolak-balik berkas perkara dari Penyidik ke penuntut umum
dan sebaliknya.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
88
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Penyidik dapat melakukan tugas di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah hukum
masing-masing bersifat administratif.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan koordinasi dan konsultasi dari penyidik kepada penuntut
umum serta petunjuk dari penuntut umum kepada penyidik dapat
dilakukan secara langsung, baik tertulis maupun lisan yang dapat
dilakukan dengan telepon, faksimili, e-mail atau alat elektronik yang lain.
Pemenuhan formil yakni menyangkut identitas dan keabsahan suatu
tindakan hukum misalnya surat izin penahanan.
Pemenuhan materiel yakni menyangkut uraian pembuktian unsur-unsur
delik.
Pasal 14
Surat perintah pengehentian penyidikan ditandatangani oleh penyidik dan
diketahui oleh penuntut umum dalam lembaran yang sama.
Pasal 15
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini konsultasi dilakukan secara langsung oleh penyidik
dengan menunjukkan berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
89
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan hukum tertentu” misalnya
berdasarkan penetapan Hakim menghadirkan saksi tambahan,
melakukan penyitaan barang bukti yang belum disita pada waktu
penyidikan.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Pemanggilan dalam ketentuan ini dilakukan dengan surat panggilan yang
sah, artinya surat panggilan tersebut ditandatangani oleh pejabat penyidik
yang berwenang.
“Saksi” dalam ketentuan ini termasuk juga saksi yang dianggap perlu untuk
diperiksa yakni setiap orang yang diduga mempunyai kaitan dengan perkara
yang sedang disidik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “alasan yang sah dan patut”, misalnya tidak mampu
berjalan karena sakit yang diterangkan dengan surat dokter.
Pasal 19
Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, sejak dalam tahap penyidikan
kepada tersangka diberikan hak untuk didampingi oleh penasihat hukum.
Pasal 20
Penasihat hukum dalam ketentuan ini mengikuti jalannya pemeriksaan secara
pasif.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
90
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan saksi yang dapat menguntungkan tersangka adalah
yang dikenal dengan saksi “a decharge”.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Apabila tersangka dan/atau saksi tidak bisa baca tulis, tersangka dan/atau
saksi membubuhkan cap jempol pada berita acara dan penyidik harus
membacakan keterangan tersangka dan/atau saksi tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Dalam hal penahanan tersangka dilakukan oleh penyidik, maka tersangka,
keluarga, atau penasihat hukumnya dapat menyatakan keberatan terhadap
penahanan tersebut kepada penyidik atau kepada instansi yang
bersangkutan dengan disertai alasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
91
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam melakukan penggeledahan, Penyidik cukup dengan menunjukkan
tanda pengenalnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak
ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan bahwa penyitaan benda
tersebut telah dilakukan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat penyimpan umum, antara lain, pejabat yang
berwenang dari arsip negara, catatan sipil, balai harta peninggalan, atau
notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
92
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman dianggap
sebagai keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter
bukan ahli kedokteran kehakiman dianggap hanya sebagai keterangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “penggalian mayat” termasuk pengambilan mayat dari
semua jenis tempat dan cara penguburan.
Pasal 40
Ayat (1)
Perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal ini adalah perlindungan
terhadap pelapor, pengadu, saksi, atau korban dari segala ancaman yakni
segala bentuk perbuatan yang mempunyai implikasi memaksa kepada
pelapor, pengadu, saksi, atau korban untuk melakukan suatu hal yang
berkenaan dengan diperlukannya keterangan dan/atau kesaksiannya pada
semua proses peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
93
Yang dimaksud dengan “tindakan pertama” antara lain, mengamankan
tempat kejadian perkara, memasang garis polisi (police line).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 9 International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) yang telah disahkan dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik). Persetujuan dan permintaan persetujuan
dapat dilakukan secara lisan (melalui telepon) yang kemudian
ditindaklanjuti dengan tertulis misalnya melalui faksimili atau e-mail.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewenangan penuntut umum dalam ketentuan ayat ini disebut juga dengan
asas oportunitas yaitu kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut
perkara dan untuk penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penyelesaian di
luar pengadilan ini dipertanggungjawabkan kepada kepala Kejaksaan Tinggi
setiap bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
94
Ayat (2)
Artinya setiap penuntut umum diangkat untuk wilayah hukum kejaksaan
negeri. Apabila ada jaksa dari luar wilayah hukum kejaksaan negeri yang
bersangkutan atau dari Kejaksaan Tinggi atau dari Kejaksaan Agung yang
akan melakukan penuntutan di suatu wilayah kejaksaan negeri tertentu,
maka harus ada surat pengangkatan sementara dari jaksa agung sebagai
jaksa di tempat itu.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum dalam
mempersiapkan penuntutan apakah orang dan/atau benda tersebut dalam
hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian
yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Dalam hal tertentu, kewenangan tersebut dibatasi pada :
a. terdapat fakta baru yang mematahkan alat bukti yang ada, misalnya, korban
pembunuhan ternyata masih hidup;
b. terdapat alasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
misalnya, pengaduan dicabut, terdakwa meninggal dunia, terjadi pencabutan
Undang-Undang.
Di luar alasan tersebut, penuntut umum harus melimpahkan perkara ke
persidangan.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
95
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Alasan baru tersebut diperoleh penuntut umum dari penyidik yang berasal
dari keterangan tersangka, saksi, benda, atau petunjuk baru yang diketahui
atau diperoleh kemudian.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut
satu dengan yang lain”, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
a. oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat
bersamaan;
b. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh
mereka sebelumnya;
c. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yang
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan
diri dari pemidanaan.
Ayat (2)
Tidak diperlukan untuk membuat berkas perkara terpisah bagi setiap tindak
pidana apabila satu berkas perkara mendukung tuntutan lebih dari satu
tindak pidana.
Ayat (3)
Apabila dua atau lebih tindak pidana dituntut dalam satu surat dakwaan,
setiap tindak pidana dipisahkan dalam surat dakwaan menjadi satu tuntutan
pidana.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah surat
pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas
perkara.
Pasal 51
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
96
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Penangkapan dari tempat kejadian perkara hingga tersangka di bawa ke kantor
penyidik terdekat berlangsung paling lama 24 jam. Jika tempat kejadian agak jauh
dari kantor penyidik terdekat, maka lamanya waktu perjalanan dari tempat
kejadian ke tempat kantor penyidik terdekat sesuai dengan situasi.
Pasal 55
Bukti permulaan yang cukup artinya sesuai dengan alat bukti yang tercantum
dalam Pasal 177.
Pasal 56
Ayat (1)
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang
dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya. Pemberitahuan dapat
dilakukan pula dengan facsimile.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan kepada penuntut umum dan persetujuan penuntut umum
dapat diberikan secara tertulis, lisan, e-mail, facsimilie, telepon, paling lama
2 (dua) hari setelah dilakukan penahanan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Penangkapan yang dilakukan di pulau terpencil atau wilayah yang
transportasinya sulit, waktu perjalanan membawa tersangka ke tempat
penahanan oleh penyidik (yang lamanya 5 hari) tidak dihitung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
97
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penahanan yang dilakukan oleh Penuntut Umum dalam rangka penyidikan
sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Huruf c. Penahanan yang melebihi 5
(lima) hari tetap harus dilakukan oleh Hakim Komisaris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Hal ini merupakan sahnya penahanan yang bersifat mutlak.
Ayat (2)
Hal ini bisa disebut gelandangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hal ini disebut perlunya penahanan, yang bersifat relatif. Ketentuan
sebagaimana diatur pada ayat (1) harus dipenuhi lebih dahulu.
Pasal 60
Ayat (1)
Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) International
Covenant on Civil and Political Rights yang telah disahkan dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik) .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menghadapkan” adalah membawa tersangka
secara fisik kepada Hakim Komisaris disertai dengan permohonan
perpanjangan penahanan dalam hal Penyidik menganggap perlu
perpanjangan penahanan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
98
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang
diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan,
penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan
negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit (dalam hal yang berasngkutan
sakit dan memerlukan perawatan), atau di tempat lain yang disebabkan keadaan
yang mendesak.
Pasal 65
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
99
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan syarat penangguhan penahanan adalah meliputi
syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan syarat khusus
sesuai dengan yang ditentukan oleh instansi pada setiap tingkatan
pemeriksaan. Masa penangguhan penahanan dari tersangka atau terdakwa
tidak termasuk status masa tahanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
– Dalam keadaan mendesak penggeledahan dapat dilakukan setiap saat;
– Yang dimaksud dengan “keadaan mendesak” adalah keadaan yang
patut dikhawatirkan tersangka atau terdakwa mengancam jiwa orang
lain, melarikan diri, menghilangkan, memindahkan, menukar, atau
merusak barang bukti.
Pasal 69
Ayat (1)
Keharusan untuk memperoleh izin terlebih dahulu dari Hakim Komisaris
dimaksudkan untuk menjamin hak pribadi seseorang atas rumah
kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
100
Ayat (3)
Jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri,
maka petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukkan selain surat izin
ketua pengadilan negeri, juga surat perintah tertulis dari penyidik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dua orang saksi” adalah warga dari lingkungan
yang bersangkutan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketua lingkungan” adalah ketua atau wakil ketua
rukun kampung, ketua atau wakil ketua rukun warga, ketua atau wakil ketua
lembaga yang sederajat; (atau dengan nama lainnya)
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggeledahan badan dalam ketentuan ini meliputi pemeriksaan rongga
badan; Penggeledahan yang dilakukan terhadap wanita, dilaksanakan oleh
pejabat wanita;
Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga
badan, penyidik dapat minta bantuan kepada pejabat kesehatan.
Pasal 74
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
101
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tagihan, misalnya, rekening koran di bank,
giro, bilyet, surat berharga, dan lain-lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat”, termasuk surat kawat, surat teleks, surat
faksimile, surat elektronik (e-mail) dan lainnya yang sejenis yang
mengandung suatu berita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan, antara lain,
benda yang mudah terbakar atau mudah meledak, sehingga harus
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
102
dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat
membahayakan kesehatan orang atau lingkungan.
Huruf b
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara setelah
diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum
setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai dengan tingkat
pemeriksaan dalam proses pengadilan dan lembaga yang ahli dalam
menentukan sifat benda yang mudah rusak.
Ayat (2)
Benda untuk pembuktian yang menurut sifatnya lekas rusak dapat dijual
lelang dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di
sidang pengadilan, sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan
untuk dijadikan barang bukti.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “didokumentasikan” misalnya diambil gambarnya
dengan memotret atau merekam dalam video.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “benda yang dirampas untuk negara” adalah benda
yang harus diserahkan kepada instansi yang berwenang, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 82
Ayat (1)
Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih
diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat
bahwa benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka
benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau
pemiliknya dalam keadaan seperti semula.
Dalam pengambilan benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan
segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang
menjadi sumber kehidupan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
103
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah untuk mendapatkan
keterangan mengenai identitas tersangka, antara lain, nama, jenis kelamin,
usia, agama, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Bagi terdakwa, pengadilan adalah tempat yang terpenting untuk pembelaan
diri karena di sanalah terdakwa dapat mengemukakan segala sesuatu yang
dibutuhkannya bagi pembelaan sehingga untuk keperluan tersebut
pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa yang berkebangsaan
asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia. Ketentuan ini
dimaksudkan agar orang yang disangka melakukan tindak pidana
mengetahui dan mengerti perbuatannya serta perbuatan apa yang
sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya. Hal ini akan menjamin
tersangka untuk mengadakan persiapan dalam usaha pembelaan. Dengan
demikian, tersangka akan mengetahui berat atau ringannya sangkaan
terhadap dirinya untuk mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang
dibutuhkan, misalnya, perlu atau tidaknya bantuan hukum untuk pembelaan
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
104
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Tidak semua tersangka atau terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan
baik, terutama orang asing sehingga mereka tidak mengerti apa yang
sebenarnya disangkakan atau didakwakan. Oleh karena itu, mereka berhak
mendapat bantuan juru bahasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana,
cepat, dan dengan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka
yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun tidak
dikenakan penahanan, kecuali tindak pidana yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b. Oleh karena itu, bagi
tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih, dan kurang dari 15 (lima belas) tahun, penunjukan penasihat
hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya
tenaga penasihat hukum di tempat tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
105
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Penyidik atau hakim dapat menentukan jumlah saksi atau ahli yang diajukan oleh
tersangka atau terdakwa.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “untuk kepentingan pembelaan perkaranya” adalah
bahwa mereka wajib menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Yang dimaksud dengan “turunan” adalah dapat berupa fotokopi.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
106
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tersangka dapat tidak didampingi oleh penasihat hukum misalnya,
dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia berat, terorisme, dan
perdagangan senjata.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Kewenangan Hakim Komisaris ini berkaitan dengan kewenangan
Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3).
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hakim Komisaris membuat putusan melalui sidang dengan memeriksa
tersangka, terdakwa atau saksi, setelah mendengar konklusi penuntut
umum.
Ayat (3)
Hakim Komisaris merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan
penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang Hakim
Komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan
(lembaga praperadilan).
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
107
Instansi yang berwenang adalah instansi yang menurut peraturan
perundang-undangan mempunyai kewenangan sebagai Central Authority.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Daftar keterangan dalam ketentuan ini misalnya informasi atau pernyataan
yang diperlukan untuk pembuktian perkara.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
108
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak memungkinkan”, antara lain
terjadinya bencana alam atau huru-hara pada daerah tersebut.
Pasal 127
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menganut asas personalitas aktif dan asas
personalitas pasif yang membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan di
luar negeri dapat diadili menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara
pidana tersebut, di samping letak pengadilan tersebut di ibu kota negara,
dimaksudkan pula agar jalannya peradilan atas perkara pidana dapat dilakukan
dengan mudah dan lancar.
Pasal 128
Permintaan banding dalam ketentuan ini dilakukan oleh terdakwa atau kuasanya
atau oleh penuntut umum.
Pasal 129
Permintaan kasasi dalam ketentuan ini dilakukan oleh terdakwa atau kuasanya
atau oleh penuntut umum.
Pasal 130
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” adalah
kerugian yang ditimbulkan oleh penegak hukum yang melakukan
penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan secara tidak sah
menurut hukum.
Ayat (2)
Penahanan tanpa alasan adalah penahanan yang lebih lama daripada yang
dijatuhkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
109
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Terpidana yang mampu membayar ganti kerugian tidak pantas mendapatkan
pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak mampu sebab ia
memiliki uang untuk membayar kompensasi. Ketentuan ini dimaksudkan agar
terpidana yang memiliki kemampuan membayar kompensasi menghindari
pembayaran ganti kerugian.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “orang lain” adalah keluarga atau penasihat hukum.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
110
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara dari
kejaksaan negeri semula, maka kejaksaan negeri tersebut membuat surat
pelimpahan baru untuk disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum
dalam surat ketetapan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 141
Ayat (1)
Apabila waktu 7 (tujuh) hari terlampaui, maka mengakibatkan perlawanan
batal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hakim yang ditunjuk” adalah majelis hakim atau
hakim tunggal.
Yang dimaksud dengan “secara acak” adalah berdasarkan urutan
masuknya perkara ke pengadilan dan nama hakim yang akan mengadili
perkara tersebut diundi.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
111
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan surat panggilan oleh
penuntut umum secara sah dan harus telah diterima oleh terdakwa dalam
jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak
dapat dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan
paksa.
Pasal 147
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
112
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai terjadi saling
mempengaruhi di antara para saksi sehingga keterangan saksi tidak dapat
diberikan secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang
menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk
memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu, ia dapat
dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Demikian pula halnya dengan ahli.
Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan kata “dapat” dalam ketentuan ayat ini tidak
dimaksudkan sebagai suatu keharusan dari penasihat hukum untuk
menghadirkan bukti, ahli, dan saksi.
Ayat (9)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
113
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Saksi, ahli atau terdakwa juga akan menyebutkan nama lengkap, usia atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan mereka.
Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan saksi atau ahli yang tidak mau disumpah atau mengucapkan
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hakim berwenang untuk memperingatkan baik kepada penuntut umum
maupun kepada penasihat hukum, apabila pertanyaan yang diajukan itu
tidak ada kaitannya dengan perkara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “tidak relevan” misalnya pertanyaan yang diajukan
membuat rancu, menyesatkan, melecehkan, tidak benar, hanya mengulangulang,
mengulur waktu, atau diajukan dengan cara yang tidak tepat.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
114
Ayat (8)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan perpaduan penerapan sistem yang
berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana dan sistem adversarial.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 157
Yang dimaksud dengan “pertanyaan yang bersifat menjerat” misalnya hakim
dalam salah satu pertanyaan menyebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui
telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap
seolah-olah diakui atau dinyatakan. Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh
diajukan kepada terdakwa ataupun kepada saksi. Ketentuan ini sesuai dengan
prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di
semua tingkat pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim, Penuntut Umum, atau
Penasihat Hukum tidak boleh melakukan tekanan dengan cara apapun, misalnya
dengan mengancam yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan
keterangan hal yang berbeda dari hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan
pikirannya yang bebas.
Pasal 158
Cukup jelas
Pasal 159
Ayat (1)
Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan saksi, adakalanya hakim ketua
sidang menganggap bahwa saksi yang sudah didengar keterangannya
mungkin akan merugikan saksi berikutnya yang akan memberikan
keterangan, sehingga perlu saksi pertama tersebut untuk sementara ke luar
dari ruang sidang selama saksi berikutnya masih didengar keterangannya.
Ayat (2)
Ada kalanya terdakwa atau penuntut umum berkeberatan terhadap
dikeluarkannya saksi dari ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), misalnya diperlukan kehadiran saksi tersebut agar ia dapat ikut
mendengarkan keterangan yang diberikan oleh saksi yang didengar
berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan saksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
115
Pasal 160
Bersama-sama menjadi terdakwa, termasuk jika suatu tindak pidana dilakukan
bersama-sama oleh para terdakwa, tetapi berkas perkara dipisahkan. Ketentuan
ini untuk menghindari self-incrimination, jika terdakwa bergantian menjadi saksi
dalam perkara yang dipisah.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Ayat (1)
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang
ditentukan oleh ayat ini, hakim menentukan sah atau tidaknya alasan yang
dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 163
Mengingat bahwa anak yang belum 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang
yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja,
yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Untuk itu, yang
bersangkutan tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan dan keterangannya hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Ayat (1)
Jika menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau
tidak bebas dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir, maka
untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, hakim dapat menyuruh terdakwa
ke luar untuk sementara dari persidangan selama hakim mengajukan
pertanyaan kepada saksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
116
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Ayat (1)
Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung data tambahan
sebagai bahan untuk musyawarah hakim.
Ayat (2)
Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang
hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya
rahasia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan
kepastian hukum bagi seseorang.
Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti
yang sah.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
117
Pasal 177
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “barang bukti” adalah barang atau alat yang
secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana
(real evidence atau physical evidence) atau hasil tindak pidana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “surat” adalah segala tanda baca dalam
bentuk apapun yang bermaksud untuk menyatakan isi pikiran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang
terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pengamatan Hakim dalam ketentuan ini didasarkan pada seluruh
kesimpulan yang wajar yang ditarik dari alat bukti yang ada.
Ayat (2)
Hanya alat bukti yang diperoleh secara sah menurut hukum yang dapat
digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa di hadapan pengadilan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
118
Pasal 178
Yang dimaksud dengan “surat lain” misalnya, akte di bawah tangan.
Yang dimaksud dengan “surat yang dibuat oleh pejabat” adalah termasuk surat
yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu.
Pasal 179
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan
dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan
setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
Pasal 180
Ayat (1)
Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari
orang lain atau “testimonium de auditu”.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini disebut pembuktian berantai (ketting bewijs).
Ayat (6)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan
keterangan saksi yang benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan
obyektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
119
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Ayat (1)
Penetapan mengenai penyerahan barang bukti, misalnya sangat diperlukan
untuk mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setelah diucapkan putusan tersebut, berlaku baik bagi terdakwa yang hadir
maupun yang tidak hadir. Ayat ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan terdakwa yang hadir dan menjamin kepastian hukum secara
keseluruhan dalam perkara ini.
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa mengetahui
haknya.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
120
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian bagi terdakwa atau jaksa
agar tidak berlarut-larut waktunya untuk mendapatkan petikan surat putusan
tersebut, dalam rangka menggunakan upaya hukum.
Pasal 194
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian untuk
membuka kemungkinan surat palsu atau dipalsukan yang dipakai sebagai
barang bukti, dalam hal dipergunakan upaya hukum. Di samping itu,
ketentuan ini ditujukan sebagai jaminan ketelitian panitera dalam berkas
perkara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas
Pasal 198
Ketentuan dalam Pasal ini dikenal dengan sebutan ”saksi mahkota” (kroon
getuigen/crown witness).
Pasal 199
Ayat (1)
Tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan di sini dengan disebut
tersendiri karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana penjara paling
lama 4 (empat) empat bulan.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
121
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyidik atas kuasa penuntut umum” yakni
penuntut umum tidak perlu hadir di sidang pengadilan dan tidak diperlukan
surat kuasa.
Yang dimaksud dengan “atas kuasa” dari penuntut umum kepada penyidik
adalah demi hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi
nilai “atas hukum” tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Ayat (1)
Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi
kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam
dan tempat yang ditentukan.
Ayat (2)
Sesuai dengan acara pemeriksaan cepat, maka pemeriksaan dilakukan
hari itu juga.
Ayat (3)
Oleh karena penyelesaiannya yang cepat, maka perkara yang diadili
menurut cara pemeriksaan cepat sekaligus dimuat dalam buku register
dengan masing-masing diberi nomor untuk dapat diselesaikan secara
berurutan.
Ayat (4)
Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara
pemeriksaan cepat sehingga tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat
oleh penunut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa,
melainkan dalam buku register sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)).
Pasal 203
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
122
Pasal 204
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara,
dengan tetap dilakukan secara teliti dan hati-hati.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa, pemeriksaan menurut
acara cepat, terdakwa dapat mewakilkan orang lain atau kuasanya di sidang.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat,
segala sesuatu berjalan dengan cepat dan tuntas, maka benda sitaan
dikembalikan kepada yang paling berhak pada saat amar putusan telah
dipenuhi.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Ayat (1)
Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena itu tidak hanya bertanggung
jawab kepada hukum, sesama manusia, dan dirinya, akan tetapi juga
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya setiap orang wajib
menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada
di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap
hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak
menyebabkan timbulnya kegaduhan sehingga persidangan terhalang
karenanya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini dikenal dengan contempt of court yakni salah
satu tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
123
Pasal 211
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “petugas keamanan” dalam ketentuan ini adalah
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia dan tanpa mengurangi
wewenangnya dalam melakukan tuganya wajib melaksanakan petunjuk
ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (3)
Seseorang yang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak,
alat ataupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang
tersebut wajib menitipkan di tempat khusus yang disediakan untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Penyimpanan surat putusan pengadilan meliputi seluruh berkas mengenai
perkara yang bersangkutan.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Ayat (1)
Salinan surat putusan diberikan dengan cuma-cuma.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
124
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Tiap jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini selalu dihitung
hari berikutnya setelah hari pengumuman, perintah, atau penetapan
dikeluarkan.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Panitera dilarang menerima permintaan banding perkara yang tidak dapat
dibanding atau permintaan banding yang diajukan setelah tenggang waktu
yang ditentukan berakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
125
Pasal 229
Ayat (1)
Maksud pemberian batas waktu 14 (empat belas) hari adalah agar
perkara banding tersebut tidak tertumpuk di pengadilan negeri dan segera
diteruskan ke pengadilan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila dalam perkara pidana terdakwa menurut Undang-Undang dapat
ditahan, maka sejak permintaan banding diajukan, pengadilan tinggi
menentukan ditahan atau tidaknya. Jika penahanan yang dikenakan
kepada pembanding mencapai jangka waktu yang sama dengan pidana
yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus dibebaskan
seketika itu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Ayat (1)
Perbaikan pemeriksaan dalam hal ada kelalaian dalam penerapan hukum
acara harus dilakukan sendiri oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
126
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Dalam doktrin hukum acara pidana, “bebas tidak murni” adalah “lepas dari
segala tuntutan hukum” (ontslag van alle rechtsvervolging). Oleh karena itu,
untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas yang digolongkan sebagai
bebas tidak murni harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan terbukti namun
terdapat dasar pembenar atau dasar pemaaf.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
127
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan sebagai
dasar untuk meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
128
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Ketentuan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah bahwa pidana yang
dijatuhkan berturut-turut tersebut ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana secara
berkesinambungan antara menjalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 269
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ayat (3) dimaksudkan untuk
memperhatikan hal yang tidak mungkin diatasi pengaturannya dalam
waktu singkat.
Ayat (4)
Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tetap dijaga
agar pelaksanaan lelang tersebut tidak ditunda.
Pasal 270
Cukup jelas.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
129
Pasal 271
Karena terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam Pasal ini bersama-sama
dijatuhi pidana karena dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu
perkara, maka wajar apabila biaya perkara dan/atau ganti rugi ditanggung
bersama secara berimbang.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Informasi yang dimaksud dalam Pasal ini dituangkan dalam bentuk yang telah
ditentukan.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Kodifikasi ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat
KUHAP.
http://www.legalitas.org
http://www.Legalitas.org
130
Pasal 284
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR……

MASALAH hAKIM KOMISARIS

Oleh: Adnan Buyung Nasution

Pendahuluan
Pertama-tama saya menyambut gembira hadirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana, sebagai pembaharuan terhadap UU No. 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sekalipun ketika KUHAP tersebut dibuat (tahun 1970-an sampai diundangkan tahun 1981), sudah merupakan pembaharuan total dari kitab undang-undang hukum acara pidana kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga kita banggakan sebagai salah satu “masterpiece” dalam hukum nasional. Namun harus diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua decade, ternyata banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek, sehingga timbul kebutuhan baru yang mendesak untuk diperbaiki. Hal ini wajar karena sesuai dengan dinamika perkembangan dan pertumbuhan masyarakat demokratis yang menuntut adanya pemabaruan hukum secara berlaka atau dengan perkataan lain hukum yang responsive.

Meskipun demikian, terhadap RUU KUHAP tersebut khusus mengenai rencana untuk menggantikan lembaga Praperadilan dengan model Hakim Komisaris, saya berbeda pendapat. Oleh karena itu, sewaktu Panitia meminta saya menulis paper dengan judul “Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Hakim Komisaris sebagai Pengganti Lembaga Praperadilan”, saya ubah judul paper saya menjadi “Praperadilan versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran mengenai Keberadaan Keduanya”. Sebab, judul yang diminta berasumsi, seolah-olah kita sudah menerima penggantian lembaga praperadilan dengan Hakim Komisaris. Padahal saya berpendapat, meskipun terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan, secara prinsip lembaga praperadilan masih perlu dipertahankan, tentu saja dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan.

Sejarah Lahirnya Praperadilan
Untuk lebih memehami keberadaan lembaga praperadilan yang ada sekarang ini, perlu kiranya dijelaskan latar belakang sejarah kelahirannya sehingga masuk ke dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku. Saya mengetahui secara persis karena terlibat secara langsung dalam proses permulaan kelahirannya.

Pada waktu RUU Hukum Acara Pidana diajukan oleh Pemerintah dibawah menteri Kehakiman Mudjono, S.H. (alm) ke DPR pada akhir tahun 1979, timbul reaksi keras dari masyarakat baik dari kalangan LBH/YLBHI, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Akdemisi maupun kalangan pers, yang mengganggap bahwa RUU tersebut amat buruk, bahkan lebih jelek dari HIR yang akan digantikannya. Rancangan itu dianggap masih saja berorientasi pada kekuasaan dan tidak cukup melindungi hak-hak asasi tersangka ataupun terdakwa yang selama berpuluh tahun dibawah HIR tidak dilindungi. Ketika itu muncul “Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP”, yang terdiri dari gabungan LBH/YLBHI dan LBH-LBH kampus, para akademisi dan wakil-wakil pers, yang menolak dan menuntut pada pemerintah agar RUU tersebut dicabut. Dan sebagai penggantinya Komite mengajukan usul tandingan, demikian juga Peradin mengajukan RUU tandingan.

Dalam pertemuan antara delegasi Komite bersama Peradin dengan pihak Pemerintah yang dipimpin Menteri Kehakiman Mudjono, S.H., Pemerintah menolak mencabut RUU KUHAP namun menyetujui untuk membuat draft yang baru bersama DPR dengan masukan-masukan baik dari Komite, maupun Peradin dan lembaga-lembaga lainnya. Mak KUHAP sebenarnya merupakan draft baru sama sekali yang dibuat langsung di DPR oleh Pansus DPR bersama Pemerintah dengan masukan-masukan dari masyarakat sehingga benar-benar merupakan undang-undang yang demokratis, dengan meninggalkan RUU yang dibuat pemerintah sebelumnya.

Salah satu hal baru yang merupakan terobosan dalam pembuatan undang-undang baru itu adalah gagasan lembaga praperadilan, yang kebetulan saya sendirilah penggagas awalnya. Gagasan ini secara resmi diajukan dalam pertemuan dengan Menteri Mudjono, oleh “Komite Pembela Pancasila dalam KUHAP”, dan didukung oleh Peradin untuk menggantikan model Hakim Komisaris yang ada dalam RUU versi Pemerintah ketika itu, Menteri Mudjono menerima baik gagasan tersebut, dan meminta saya dibantu beberapa ahli, antara lain Saudara Gregory Churcill, lawyer Amerika yang mengajar di UI.

Dasar Pemikiran Lembaga Praperadilan
Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dilekuarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeas corpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.

Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upya paksa (dwang middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi saat itu dimana sering terjadi perkosaan hak asasi tersangka atau terdakwa oleh penyidik dan jaksa penuntut umum, karena tidak adanya suatu lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Seorang tersangka atau terdakwa yang ditangkap atau ditahan, seolah-olah berada dalam suatu “ruangan gelap” dan tidak berdaya sama sekali (helpless). Saya sendiri mengalaminya dan dapat merasakan bagaimana tidak berdayanya seseorang yang tiba-tiba direnggut kemerdekaannya dan dijebloskan dalam sel penjara tanpa surat perintah penahanan tanpa sempat didengan dan diperiksa terlebih dahulu, dan sama sekali tidak bisa berhubungan dengan dunia luar termasuk keluarga, atau dengan perkataan lain, dengan serta merta menjadi incommunicado. Pada saat itulah terbayang dalam pikiran saya, perlunya suatu forum terbuka yang memberikan hak berupa upaya hukum pada seseorang untuk melawan atau menggugat tindakan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa.

Padahal sistem peradilan kitapun menganut asas praduga tidak bersalah, yang artinya setiap orang yang disangka atau diduga keras telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan melalui sidang peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak. Maka orang tersebut haruslah dijunjung dan dilindungi hak asasinya. Namun pada kenyataannya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung saja menggunakan upaya paksa (dwang middelen) tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan.

Pengawasan dan penilaian terhadap upya paksa yang digunakan inilah yang tidak kita miliki dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan di masa berlakunya HIR. Memang pada masa itu ada semacam pengawasan oleh hakim yakni dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim (pasal 83 C ayat 4, HIR). Namun dalam praktek kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-mata dianggap urusan birokrasi.

Dalam proses tersebut, semua surat permohonan perpanjangan penahanan secara serta merta tanpa diperiksa lagi langsung sajadi tandatangani oleh hakim ataupun petugas yang ditunjuk oleh hakim. Akibatnya banyak penahanan yang berlarut-larut sampai bertahun-tahun dan korban yang bersangkutan tidak memiliki hak dan upaya hukum apapun yang tersedia baginya untuk melawan kesewenang-wenangan yang menimpa dirinya. Dia hanya pasrah pada nasib, dan menunggu belas kasihan dari hakim untuk membebaskannya kelak di muka pemeriksaan persidangan pengadilan.

Pengalaman empiris pribadi saya seperti diuraikan di atas dan kondisi objektif inilah yang melahirkan inspirasi untuk mengambil prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka atau terdakwa untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya ataupula atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya di muka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Sebab dalam forum itu pihak penyidik atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum.

Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan adanya alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya.

Disamping itu, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjungjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan orang ataupun memperpanjang penahanan seperti terjadi pada masa HIR sebagaimana diuraikan di atas. Juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat juga dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim praperadilan yang memerdekakannya.

Kelemahan dan Kekurangan Sistem Peradilan
Sekalipun secara prinsip, sistem praperadilan tersebut diterima dan diberlakukan dalam UU No. 1 tahun 1981 tentang KUHAP, namun sangat disayangkan tugas dan wewenang praperadilan sangat terbatas. Hal ini disebabkan bukan saja karena keterbatasan wawasan yang dimiliki saat itu, mengingat praperadilan adalah barang baru sama sekali, melainkan juga karena situasi dan kondisi politik yang amat represif saat itu, sehingga tidak memungkinkan dikabulkannya jaminan hak asasi yang lebih luas. Praperadilan yang dirumuskan saat itu harus dilihat sebagai hasil optimal yang bisa dicapai, antara lain juga mengingat konstelasi kekuatan-kekuatan politik baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dimasa itu yang umumnya masih kuat berorientasi pada kekuasaan.

Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi.

Dengan demikian harus diakui bahwa praperadilan memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, karena: Pertama, tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga praperadilan, misalnya tindakan penggeledehan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran. Disini lembaga praperadilan kurang memperhatikan kepentingan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan penggeledehan, padahal penggeledahan yang sewenang-wenang merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat tinggal orang (privacy), dan penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik seseorang.

Kedua, praperadilan tidak berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka sidang praperadilan tidak dapat ditiadakan.

Ketiga, lebih parah lagi sebagaimana ternyata dalam praktek selama ini dalam pemeriksaan praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), dan sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya. Padahal syarat materiil inilah yang menentukan apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Tegasnya hakim pada praperadilan seolah-olah tidak peduli apakah tindakan penyidik atau jaksa penuntut umum yang melakukan penangkapan benar-benar telah memenuhi syarat-syarat materiil, yaitu adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim, karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang pengadilan negeri.

Demikian juga dalam hal penahanan, hakim tidak menilai apakah tersangka atau terdakwa yang “diduga keras” melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti yang cukup” benar-benar ada alasan yang konkrit dan nyata yang menimbulkan kekhawatiran bahwa yang bersangkutan “akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi perbuatannya”. Para hakim umumnya menerima saja bahwa hal adanya kekhawatiran tersebut semata-mata merupakan urusan penilaian sebjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum, atau dengan lain perkataan menyerahkan semata-mata kepada hak dikresi dari pihak penyidik dan penuntut umum. Akibatnya sampai saat ini masih banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka ataupun terdakwa oleh pihak penyidik ataupun penuntut umum, yang tidak dapat diuji karena tidak ada forum yang berwenang memeriksanya. Padahal dalam sistem habeas corpus act dari negara Anglo Saxon, hal ini justru menjadi tonggak ujian sah tidaknya penahanan terhadap seseorang ataupun boleh tidaknya seseorang ditahan.

Di Amerika peranan hakim, tidak hanya terbatas pada pengawasan terhadap tindakan penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi, melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan, bahkan sebelum dikeluarkannya surat dakwaan. Hakim berwenang memeriksa dan menilai apakah ada alasan dan dasar hukum yang kuat tentang terjadinya peristiwa pidana dan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk mendakwa bahwa tersangka memang pelakunya, walaupun pemeriksaan tentang bersalah tidaknya berdasarkan bukti-bukti yang ada baru dilangsungkan kemudian dalam sidang pemeriksaan perkara.

Hakim Komisaris bukan Istilah Baru
Istilah hkaim komisaris sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya Reglement op de Strafvoerdering, hal itu sudah diatur dalam title kedua tentang Van de regter-commissaris berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Selain itu, dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut Hakim Komisaris atau regter-commissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating judge) untuk memanggil orang, baik para saksi (Pasal 46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal 62). Akan tetapi setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan lagi.

Selanjutnya istilah Hakim Komisaris mulai muncul kembali dalam konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan ke DPR pada tahun 1974, pada masa Prof. Oemar Seno Adjie, S.H., menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Dalam konsep ini, Hakim Komisaris memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa, menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa antara polisi dan jaksa, serta mengambil keputusan atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan. Latar belakang diintrodusirnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang.

Jika diteliti lebih jauh, dasar pemikiran adanya hakim komisaris dalam sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda, sebenarnya tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran sejati serta menjalankan atau melaksanakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil memiliki asas fundamental bahwa tidak ada suatu tindak pidana tanpa ada undang-undang yang mengatur sebelumnya (nullum delictum nulla poena praviae siena lege poenali). Assa ini yang dimuat dalam pasal 1 Wetbook van Straftrecht Belanda, mempengaruhi keseluruhan proses hukum acara pidana, baik di dalam penyidikan, penuntutan maupn penggeledahan.

Untuk seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa, maka hukum acara mensyaratkan harus adanya dugaan keras bahwa orang tersebut bersalah melakukan suatu tindak pidana. Begitu pula seseorang yang ditahan harus dipenuhi syarat bahwa ada cukup bukti bahwa orang tersebut bersalah terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Demikian juga didalam hal memasuki rumah seseorang (menggeledah), harus ada dugaan keras bahwa telah terjadi tindak pidana. Sebab, jika tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut maka pihak tersangka dapat melakukan perlawanan (verzet) yang dapat dibenarkan hakim.

Maka dapat dimengerti munculnya fungsi hakim komisaris dalam sistem Eropa Kontinental seperti Belanda bertujuan mengawasi jalannya proses hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif, dalam hal ini pihak penyidik dan penuntut umum yang dalam rangka mencari bukti pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan hakim komisaris ini pada dasarnya merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van rechterlijkemacht) terhadap eksekutif. Karena itulah hakim diberi wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan.

Sekalipun demikian di Negeri Belanda sendiri sampai sekarang, masih menjadi persoalan sampai sejauh mana batasan wewenang hakim komisaris dalam mengawasi pemeriksaan pendahuluan, karena dianggap mencampuri bidang eksekutif yaitu bidang penyidikan yang merupakan wewenang penyidik dan atau kejaksaan selaku penuntut umum. Sebab, misalnya dikhawatirkan pada saat seorang hakim komisaris memasuki bidang eksekuif dan harus berhadapan dengan masalah kebijakan, maka hakim tidak akan bisa lagi bersikap netral.

Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP
Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP memiliki kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 75 RUU KUHAP Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk (a) menentukan perlu tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (b) menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (c) menentukan perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum; (d) menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan, penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik Tersangka; (e) memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut, jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim Komisaris pada tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai examinating judge maupun investigating judge.

Komentar dan Kritik terhadap model Hakim Komisaris dibandingkan dengan Lembaga Praperadilan.
Harus diakui, tugas dan wewenang HakiM Komisaris sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHAP ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Praperadilan. Karena tidak hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan melainkan juga perihal perlu tidaknya diteruskan penahanan ataupun perpanjangan penahanan, perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan, sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan, serta wewenang memerintah penyidik atau penuntut umum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa jika terdapat dugaan kuat adanya penyuiksaan ataupun kekerasan pada tingkat penyidikan ataupun penuntut.

Sekalipun demikian menurut hemat saya model hakim komasaris yang pada dasarnya mengambil model pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa Kontinental seperti halnya Belanda, mengandung beberapa kelemahan mendasar dibandingkan dengan lembaga praperadilan. Pertama, dilihat dari konsep dasarnya, kedua sistem tersebut memiliki konsep yang berbeda, seklaipun tujuannya sama yaitu sama-sama melindungi hak asasi manusia terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Dalam kekuasaan negara, yakni hak kontrol dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan pihak eksekutif berdasarkan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada hak habeas corpus yang pada dasarnya memberikan hak kepada seseorang yang dilanggar hak asasinya untuk melakukan perlawanan (redress) terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau jaksa dengan menuntut yang bersangkutan dimuka pengadilan agar mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membuktikan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak melanggar hukum (ilegal) melainkan sah adanya. Disini tekanan diberikan pada hak asasi yang dimiliki tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang merdeka, yang karena itu tidak dapat dirampas secara sewenang-wennag kemerdekaannya (menguasai diri orang, “that you have the body”).

Perbedaan hakiki tersebut membawa konsekuensi bahwa dalam konsep hakim komisaris, kemerdekaan seseorang amat digantungkan pada “belas kasihan” negara, khususnya kekuasaan kehakiman untuk melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap pihak eksekutif (penyidik dan penuntut umum) dalam menjalankan pemeriksaan pendahuluan. Sedangkan dalam konsep praperadilan, kemerdekaan orang itu memberikan hak fundamental padanya untuk melawan dan menuntut negara, dalam hal ini pihak eksekutif yaitu penyidik dan penuntut umum, untuk membuktikan bahwa tindakan upaya paksa yang dilakukan negara benar-benar tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan hak asasi manusia, dan jika yang bersangkutan tidak berhasil membuktikannya maka orang tersebut harus dibebaskan dan mendapatkan kembali kebebasannya.

Kedua, sistem pemeriksaan oleh Hakim Komisaris pada dasarnya bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan secara individual oleh hakim yang bersangkutan terhadap penyidik, penuntut umum, saksi-saksi bahkan juga terdakwa. Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan secar objektif dan profesional, namun karena sifatnya yang tertutup maka tidak ada transparansi dan akuntabilitas publik, sebagaimana halnya proses pemeriksaan sidang terbuka dalam forum praperadilan. Akibatnya masyarakat (publik) tidak dapat turut mengawasi dan menilai proses pemeriksaan pengujian serta penilaian hakim terhadap benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ataupun jaksa penuntut umum. Dalam kondisi sekarang, syarat transparansi dan akuntabilitas publik ini amat diperlukan, terutama dalam menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah melanda bidang peradilan.

Ketiga, pengawasan oleh hakim komisaris dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, antara lain Belanda, merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem pengawasan hierarkis, yang dilakukan Hakim (justitie), terhadap Jaksa (Openbaar Ministrie) dan Kepolisian. Dalam sistem tersebut, hakim mengawasi jaksa, dan selanjutnya jaksa mengawasi polisi sebagai satu kesatuan sistem pengawasan integral yang harmonis dan serasi. Maka apabila konsep ini mau diterapkan, syaratnya ketiga fungsionaris tersebut (Hakim, Jaksa dan Polisi), sekalipun masing-masing merupakan instansi yang berdiri sendiri, namun didalam bidang peradilan atau proses poemeriksaan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan dimuka persidangan pengadilan secara fungsional adalah merupakan satu rangkaian hierarki kesatuan fungsi yang berbagi tugas dan wewenang namun saling melengkapi.

Sistem ini dahulu pernah dimiliki oleh negara kita sebagai bekas jajahan Belanda sesuai asas konkordansi. Namun sejak Dekrit 5 Juli 1959 sistem tersebut sudah dirobah (retool), sesuai dengan tuntutan Demokrasi Terpimpin, dimana ketiga instansi tersebut masing-masing menjadi berdiri sendiri-sendiri dan terpisah secara tajam. Masing-masing instansi menolak campur tangan instansi lainnya, seperti Kejaksaan menolak campur tangan hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan hakim, dan Kepolisian juga menolak campur tangan Kejaksaan. Hal ini dapat kita lihat pada waktu diajukannya model hakim komisaris dalam konsep RUU KUHAP tahun 1974, dimana timbul keberatan-keberatan dari pihak kepolsian maupun kejaksaan, karena menganggap bahwa pengawasan dalam tingkatan pemeriksaan pendahuluan adalah wewenang masing-masing instansi penyidik yaitu kepolisian dan kejaksaan. Akibatnya sistem kontrol secara hierarkis dan terpadu hilang.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam kondisi seperti sekarang ini, amatlah sulit diharapkan berjalannya sistem pengawasan dengan menggunakan model Hakim Komisaris, sekalipun misalnya diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang. Andaikatapun model hakim komisaris ini hendak diterapkan kembali sesuai RUU KUHAP maka implikasinya adalah merombak kembali seluruh tatanan sistem peradilan kita sekarang ini, untuk dikembalikan pada sistem tradisi Eropa Kontinental seperti pernah berlaku dahulu di jaman berlakunya Strafvordering (Rs.V). hal ini berarti bahwa semua perundang-undangan yang berlaku sekarang ini yang menyangkut sistem peradilan harus diubah kembali, baik UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970), UU Pokok Kejaksaan (UU No. 5 Tahun 1991) dan maupun UU Pokok Kepolisian (UU No. 28 tahun 1997).

Pada dasarnya saya tidak keberatan diterapkan model Hakim Komisaris dalam Hukum Acara Pidana kita, asalkan kita sanggup melakukan tugas berat tersebut. Mengingat situasi dan kondisi politik sekarang ini saya sendiri menyangsikan bahwa perombakan total sistem peradilan tersebut dapat kita lakukan saat ini.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan segala sesuatu yang diuraikan di atas, penerapan Hakim Komisaris dalam sistem peradilan kita, khususnya dibidang pemeriksaan pendahuluan kiranya belum saatnya untuk diterapkan, mengingat sistem peradilan yang berlaku sekarang ini masih berjalan sendiri-sendiri dan belum terpadu. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa dilihat secara praktis lembaga praperadilan lebih feasible untuk dipertahankan dengan menambahkan semua tugas dan wewenang baru tersebut, yang berarti memperluas kewenangan hakim praperadilan, maka dapat diharapkan lembaga praperadilan sebagai forum yang terbuka dan accountable mampu melakukan pengawasan secara lebih efektif terhadap jalannya proses peradilan khususnya pemeriksaan pendahuluan di negara kita dan pada gilirannya lebih menjamin hak-hak asasi manusia.

Mohon maaf sebelumnya bang Buyung, menurut saya keberadaan hakim komisaris dalam RUU KUHAP tetap diperlukan dan tidak akan menjadi masalah apabila konsep maupaun keberadaannya dibedakan dengan hakim komisaris jaman penjajahan belanda dahulu, hal ini saya utarakan dengan alasan sebagai berikut:
1. Lembaga praperadilan yang ada sekarang keberadaannya dibawah pengadilan negeri, yang mana hakim yang memeriksa dan memutuskannya adalah hakim yang tidak khusus menangani masalah upaya paksa oleh kepolisian maupun kejaksaan dimaksud, melainkan hakim umum yang ditugaskan untuk sekedar menegakan sedikit HAM dan tidak perlu mendalami lebih jauh makna asas praduga tak bersalah karena hal tersebut dapat di periksa kembali ketika perkara di ajukan kepengadilan oleh kejaksaan ataupun dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan diskresi kepolisian dan kejaksaan;
2. Penyebutan istilah hakim komisaris (hakim pengawas) dalam RUU KUHAP memberikan makna khusus dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas upaya paksa instansi-instansi penegak hukum tersebut, sehingga pemeriksaannya lebih serius dan khusus menekankan pada pertanggung jawaban wewenang diskresi yang harus dipertanggung jawabkan di muka hukum;
3. Hakim komisari dalam RUU KUHAP haruslah hakim khusus yang tugas dan kewenangannya hanya untuk memeriksa perkara pengajuan keberatan atas upaya paksa atau pertanggungjawaban atas kewenangan diskresi tersebut (Pasif), akan tetapi tidak perlu bertugas secara aktif seperti tugas komisi khusus (seperti KPK maupun KOMNAS HAM), melainkan aktif dalam mencari dan menemukan bukti-bukti hukum untuk memutuskan perkara pengajuan keberatan dimaksud;
4. Istilah hakim komisaris tidak harus ditafsirkan menurut penafsiran historis yang telah ada pada jaman penjajahan belanda dahulu, yang mana istilah hakim komisaris dalam RUU KUHAP ini pengertiannya hendaknya hanya untuk memberikan makna khusus dalam hal pengawasan yang dilakukan lembaga yudikatif dalam kewenangan diskresi yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan, dan yang mungkin dapat di salah gunakan oleh oknum para penegak hukum yang tidak bertanggung jawab maupun pihak berkepentingan lainnya.

RUU KUHAPER

  1. 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia serta menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; b. bahwa dalam rangka pembangunan di bidang hukum, perlu dilanjutkan usaha peningkatan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat, termasuk pembaharuan hukum acara perdata; c. bahwa hukum acara perdata yang pada saat ini berlaku, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat, oleh karena itu perlu dicabut dan diganti dengan yang baru; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), ayat (4), ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PERDATA. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik. 2. Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapat putusan pengadilan. 3. Penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan hak yang mengandung sengketa. 4. Tergugat adalah orang yang terhadapnya diajukan tuntutan hak yang mengandung sengketa. 5. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan sekaligus sebagai wakil kelompok yang juga merupakan korban. 6. Gugatan oleh Legal Standing (kedudukan hukum) adalah gugatan yang diajukan oleh organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat atas alasan untuk kepentingan masyarakat. 7. Permohonan adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapat penetapan pengadilan. 8. Pemohon adalah orang yang mengajukan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa. 9. Kuasa khusus adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada seseorang yang berhak untuk bertindak atas nama pemberi kuasa dalam melakukan perbuatan tertentu dan mengenai hal tertentu, di pengadilan. 10. Putusan pengadilan adalah putusan hakim dalam bentuk tertulis yang diucapkan di sidang pegadilan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan dan/atau mengakhiri gugatan. 11. Penetapan pengadilan adalah penetapan hakim dalam bentuk tertulis yang diucapkan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum dengan bertujuan untuk menyelesaikan permohonan. 12. Upaya hukum adalah hak para pihak untuk mengajukan keberatan terhadap putusan pengadilan. 13. Upaya hukum biasa adalah hak para pihak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek, banding, dan/atau kasasi. 14. Upaya hukum luar biasa adalah hak para pihak untuk mengajukan perlawanan pihak ketiga dan peninjauan kembali. 15. Hari adalah hari kalender, dalam pengertian untuk menghitung tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, hari dihitung mulai dari hari berikutnya dari waktu yang ditentukan dan dalam hal hari terakhir adalah hari libur, yang berlaku adalah hari berikutnya. 16. Alamat tempat tinggal adalah tempat tinggal seseorang secara resmi menetap dan tercatat sebagai penduduk. 17. Tempat kediaman adalah tempat seseorang menurut kenyataannya berdiam. 18. Hakim adalah majelis hakim atau hakim tunggal yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara atau menyelesaikan permohonan. 19. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan yang tidak dapat diajukan upaya hukum biasa. 20. Pejabat umum adalah pejabat yang diberi wewenang khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan. 21. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri. Penjelasan Pasal 1 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 3 BAB II TUNTUTAN HAK Bagian Kesatu Gugatan dan Permohonan Pasal 2 (1) Setiap orang yang berpendapat haknya telah dilanggar dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Penjelasan Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 (1) Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. nama lengkap, jenis kelamin, umur, kewarganegaraan, pekerjaan, dan alamat tempat tinggal penggugat dan tergugat; b. peristiwa yang dijadikan dasar gugatan dengan disertai bukti tertulis apabila ada; dan c. hal yang dituntut untuk mendapatkan putusan. (3) Gugatan harus ditandatangani oleh penggugat sendiri atau wakilnya yang sah. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Dalam hal penggugat berstatus sebagai istri, yang dimaksud dengan “nama lengkap” adalah nama sendiri dan nama suami. Sedangkan yang dimaksud dengan “pekerjaan” adalah mata pencaharian pokok. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 (1) Dalam hal penggugat tidak dapat baca tulis penggugat dapat mengajukan gugatan secara lisan langsung kepada Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk itu. (2) Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk segera membuat catatan tentang gugatan lisan atau memerintahkan kepada Panitera untuk melakukan pencatatan tersebut. (3) Catatan tentang gugatan lisan harus dibubuhi cap jempol oleh penggugat yang disahkan oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk. Penjelasan Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 (1) Dalam hal orang yang berpendapat haknya telah dilanggar berjumlah sangat banyak, gugatan dapat diajukan secara perwakilan. (2) Gugatan secara perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh wakil kelompok atau kuasanya. (3) Gugatan Perwakilan dapat diajukan apabila: a. jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien jika gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama sebagai penggugat dalam satu gugatan; http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 4 b. terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; dan c. wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya. (4) Wakil kelompok berhak untuk melakukan penggantian advokat, jika advokat melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Penjelasan Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 (1) Dalam hal organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat berpendapat telah terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat, organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat tersebut dapat mengajukan gugatan oleh Legal Standing. (2) Tuntutan oleh Legal Standing terbatas pada tuntutan hak untuk melakukan tindakan hukum tertentu, pembayaran uang paksa, dan/atau tuntutan biaya perkara. (3) Gugatan oleh Legal Standing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh orang yang berhak mewakili organisasi kemasyarakatan atau orang yang berhak mewakili lembaga swadaya masyarakat. (4) Gugatan oleh Legal Standing dapat diajukan apabila organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat memenuhi persyaratan: a. berbentuk badan hukum atau yayasan; b. terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan tertentu; dan d. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) Gugatan oleh Legal Standing antara lain diajukan oleh organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk kepentingan perlindungan konsumen. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”tindakan tertentu” antara lain meminta penghentian kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan permintaan maaf. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” antara lain untuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Penggugat dapat mengubah atau mencabut gugatan sebelum persidangan dimulai. Penjelasan Pasal 7 Cukup jelas http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 5 Pasal 8 (1) Perubahan gugatan yang diajukan setelah persidangan dimulai tetapi sebelum tergugat memberikan jawaban, dapat dikabulkan oleh Pengadilan apabila: a. tidak mengubah peristiwa yang menjadi dasar gugatan; b. tidak mengubah petitum; dan/atau c. tidak merugikan tergugat. (2) Dalam hal tergugat telah memberikan jawaban, perubahan gugatan hanya dapat dikabulkan setelah mendapat persetujuan tergugat. Penjelasan Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “tidak merugikan tergugat” adalah tergugat diberi waktu yang cukup untuk menyusun jawaban. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 (1) pencabutan gugatan dapat dilakukan oleh penggugat sebelum tergugat memberi jawaban. (2) Hakim wajib mengabulkan pencabutan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) pencabutan gugatan yang diajukan setelah tergugat memberikan jawaban, hanya dapat dikabulkan setelah mendapat persetujuan tergugat. Penjelasan Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Beberapa gugatan yang mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas antara satu dengan yang lainnya dapat diajukan secara kumulasi dalam satu gugatan. Penjelasan Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat beberapa perkara yang mempunyai hubungan erat antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya, Ketua Pengadilan atas permohonan pihak berperkara, berwenang melakukan penggabungan beberapa perkara untuk disidangkan oleh Hakim yang sama. (2) Penggabungan beberapa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila: a. menguntungkan proses; b. memudahkan pemeriksaan; dan/atau c. mencegah adanya putusan yang saling bertentangan. (3) penggabungan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh penggugat dalam surat gugatan kedua (4) penggabungan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh tergugat, bersama-sama dengan jawaban pertama. Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 6 Ayat (4) Yang dimaksud dengan “jawaban pertama” adalah jawaban terhadap perkara yang disidangkan kemudian. Pasal 12 (1) Dalam hal Pemohon: a. tidak dapat baca tulis; dan/atau b. tidak mampu membuat surat permohonan; Pemohon dapat mengajukan Permohonan secara lisan langsung kepada Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk itu. (2) Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk segera membuat catatan tentang Permohonan lisan atau memerintahkan kepada Panitera untuk melakukan pencatatan tersebut. (3) Catatan tentang Permohonan lisan harus dibubuhi cap jempol oleh pemohon yang disahkan oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk. Penjelasan Pasal 12 Cukup jelas. Bagian Kedua Pendaftaran, Penetapan Hari Sidang, dan Pemanggilan Pasal 13 (1) Gugatan atau permohonan didaftar oleh panitera dalam buku daftar perkara, setelah penggugat atau pemohon membayar uang muka biaya perkara. (2) Dalam buku daftar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) panitera wajib mencatat: a. nama para pihak yang berperkara atau nama pemohon; b. gugatan atau permohonan yang diajukan; c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun gugatan atau permohonan diajukan; d. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun putusan atau penetapan diucapkan; dan e. ringkasan isi putusan atau penetapan. (3) Panitera wajib memberikan tanda terima pembayaran uang muka biaya perkara. (4) Uang muka biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menurut keadaan perkara, yang meliputi biaya: a. pemanggilan; b. pemberitahuan kepada pihak berperkara atau pemohon; dan c. administrasi. (5) Uang muka biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperhitungkan setelah perkara diputus. (6) Dalam hal menurut perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdapat kelebihan uang muka biaya perkara, panitera wajib memberitahukan secara tertulis dan mengembalikan kelebihan uang muka biaya perkara kepada penggugat atau pemohon. Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Buku daftar perkara dibuat secara terpisah untuk gugatan dan untuk permohonan, yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penetapan besarnya uang muka biaya perkara berdasarkan sifat perkara dan jarak antara alamat tempat tinggal para pihak yang dipanggil dengan Pengadilan tempat persidangan dilakukan yang meliputi pihak yang berperkara, pemohon, saksi, ahli, juru bahasa. Ketentuan mengenai biaya administrasi lihat Pasal 161 ayat (1). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 7 Pasal 14 (1) Dalam hal pemeriksaan perkara terdapat hal-hal yang harus mengeluarkan biaya selain biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), Ketua Majelis dapat memerintahkan kepada salah satu pihak, membayar lebih dahulu biaya tersebut. (2) Dalam hal pihak yang berperkara tidak membayar lebih dahulu biaya tersebut, pemeriksaan yang harus mengeluarkan biaya tidak dilaksanakan. (3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan setelah perkara diputus. Penjelasan Pasal 14 Ayat (1) Dalam hal pihak yang berkepentingan tidak mampu, Hakim dapat meminta kepada pihak lawan untuk membayar biaya yang diperlukan. Dalam hal perkara disidangkan oleh hakim tunggal, yang dimaksud ketua majelis adalah hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 15 (1) Panitera menyerahkan Gugatan atau Permohonan yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada Ketua Pengadilan pada hari Gugatan atau Permohonan tersebut didaftar. (2) Ketua Pengadilan menyerahkan Gugatan atau Permohonan kepada Hakim yang akan memeriksa perkara atau permohonan, paling lambat 3 (tiga) hari terhitung setelah tanggal penyerahan Gugatan atau Permohonan tersebut diterima. (3) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung setelah tanggal menerima berkas perkara atau permohonan, menetapkan hari persidangan. Penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengaturan waktu secara tegas dimaksudkan agar pihak yang berperkara memperoleh kepastian mengenai waktu dimulainya persidangan atas gugatan atau permohonan yang diajukan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 (1) Dalam menetapkan hari persidangan, Hakim harus mempertimbangkan jarak antara alamat tempat tinggal pihak yang berperkara dengan Pengadilan tempat persidangan dilakukan. (2) Tenggang waktu antara pemanggilan pihak yang berperkara dan waktu sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari, kecuali dalam hal sangat perlu dan mendesak untuk diperiksa dan hal tersebut dinyatakan dalam surat panggilan. Penjelasan Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 (1) Hakim yang memeriksa perkara memerintahkan kepada juru sita untuk memanggil pihak yang berperkara, supaya hadir pada hari persidangan yang telah ditentukan. (2) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sah, apabila disampaikan langsung kepada pihak yang berperkara di alamat tempat tinggal mereka. (3) Dalam hal pada waktu pemanggilan pihak yang berperkara tidak berada di tempat atau tidak dapat dijumpai, pemanggilan disampaikan kepada istri/suami atau anak yang sudah dewasa dengan berita acara pemanggilan yang ditandatangani oleh juru sita dan yang menerima panggilan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 8 (4) Dalam hal pada waktu pemanggilan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berada ditempat atau tidak dapat dijumpai, pemanggilan harus disampaikan kepada lurah atau kepada kepala desa atau nama lain yang sejenis yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal pihak yang berperkara. (5) Lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib meneruskan pemanggilan kepada yang bersangkutan tanpa hal tersebut perlu nyata dalam hukum. Penjelasan Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Panggilan kepada pihak tergugat harus disertai salinan Gugatan, dengan pemberitahuan bahwa jika tergugat menghendaki, dapat menjawab Gugatan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti tertulis. Penjelasan Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Juru sita yang melakukan pemanggilan harus membuat berita acara pemanggilan yang ditandatangani oleh juru sita dan pihak yang berperkara yang dipanggil, atau istri/suami atau anak yang sudah dewasa, atau lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal pihak yang berperkara. Penjelasan Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 (1) Dalam hal pihak yang berperkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak diketahui alamat tempat tinggalnya atau tempat kediamannya, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan surat panggilan di papan pengumuman Pengadilan atau melakukan pemanggilan melalui surat kabar harian. (2) Salinan surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati/Walikota/Lurah, untuk ditempelkan di papan pengumuman kantor Kabupaten/Kota dan kantor kelurahan. (3) Dalam hal pihak yang dipanggil bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemanggilan dilakukan dengan perantaraan perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggal pihak yang dipanggil. Penjelasan Pasal 20 Cukup jelas. BAB III PEMBERIAN KUASA KHUSUS Pasal 21 (1) Pihak yang berperkara dapat mewakilkan kepada orang lain dengan memberikan Kuasa Khusus. (2) Kuasa Khusus dapat diberikan sebelum atau selama perkara diperiksa. (3) Kuasa Khusus yang diberikan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis. (4) Kuasa Khusus yang diberikan selama perkara diperiksa dapat dilakukan secara lisan di hadapan Hakim yang memeriksa perkara tersebut dengan ketentuan surat kuasa khusus tersebut harus diserahkan dalam persidangan berikutnya. (5) Dalam hal pemberi kuasa tidak pandai baca tulis, pemberian Kuasa Khusus dilakukan dengan membubuhkan cap jempol pada surat kuasa, yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 9 (6) Pemberian surat kuasa khusus yang dibuat di luar wilayah Republik Indonesia harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana surat kuasa khusus tersebut dibuat dan disahkan oleh kantor perwakilan Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah notaris, camat, atau hakim. Ayat (6) Apabila tidak ada Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia maka dapat dimintakan pengesahan di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia terdekat. Pasal 22 Pegawai Negeri Republik Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah, harus berdasarkan surat kuasa khusus dari pejabat yang berwenang. Penjelasan Pasal 22 Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah atasan langsung dari Pegawai Negeri Republik Indonesia yang bersangkutan. Pasal 23 Pengurus suatu badan hukum yang bertindak untuk mewakili badan hukum tersebut, cukup menunjukkan bukti mengenai kedudukannya sebagai pengurus dan tidak memerlukan surat kuasa khusus. Penjelasan Pasal 23 Yang dimaksud dengan “bukti mengenai kedudukannya sebagai pengurus“ antara lain Surat Keputusan sebagai pengurus dari badan hukum yang bersangkutan. Pasal 24 (1) Hakim dapat memerintahkan pihak yang berperkara hadir sendiri di persidangan, walaupun pihak yang berperkara telah memberikan Kuasa Khusus kepada orang lain. (2) Dalam hal pihak yang berperkara dipanggil tidak hadir, sidang tetap dilaksanakan. Penjelasan Pasal 24 Diperintahkannya pihak yang berperkara untuk hadir sendiri di persidangan, supaya Hakim mendapatkan kejelasan mengenai suatu hal atas perkara yang sedang diperiksa. Pasal 25 (1) Pemberi Kuasa Khusus dapat menyangkal tindakan yang dilakukan oleh penerima Kuasa Khusus. (2) Penyangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan jika pihak penerima Kuasa Khusus telah menawarkan janji atau mengutarakan pernyataan kebenaran atau persetujuan yang diterima oleh pihak lawan tanpa mendapat izin secara tertulis dari pemberi Kuasa Khusus. (3) Penyangkalan dilakukan secara tertulis disertai tuntutan agar semua tindakan yang disangkal dan akibatnya yang dapat dijadikan dasar putusan dalam perkara tersebut, dinyatakan batal oleh Hakim. (4) Dalam hal pemberi Kuasa Khusus yang mengajukan penyangkalan tidak dapat baca tulis, yang bersangkutan dapat memohon bantuan kepada Hakim yang memeriksa perkaranya untuk membuat surat pernyataan tentang penyangkalan yang dimaksud. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 10 Penjelasan Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 (1) Dalam hal terdapat penyangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, untuk mencegah suatu putusan dinyatakan batal, Hakim menghentikan pemeriksaan pokok perkara dan segera mulai melakukan pemeriksaan tuntutan dalam surat pernyataan penyangkalan. (2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti kebenaran tuntutan penyangkalan tersebut, tindakan yang dilakukan oleh penerima Kuasa Khusus yang disangkal dengan semua akibatnya, dinyatakan batal dengan Putusan Pengadilan. Penjelasan Pasal 26 Ayat (1) Penghentian pemeriksaan pokok perkara dimaksudkan agar dapat diselesaikan terlebih dahulu masalah penyangkalan sehingga Hakim dapat bekerja secara efektif dan efisien serta dapat dicegah adanya pembatalan suatu Putusan Pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Dalam hal penyangkalan beserta tuntutan pemberi Kuasa Khusus dikabulkan, pemberi Kuasa Khusus dapat menggugat penerima Kuasa Khusus untuk membayar ganti kerugian yang dideritanya. Penjelasan Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 (1) Dalam hal penyangkalan beserta tuntutan pemberi Kuasa Khusus ditolak, pemberi Kuasa Khusus dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. (2) Dalam hal permohonan banding ditolak, pemeriksaan perkara dilanjutkan dan pihak penerima Kuasa Khusus dapat menggugat pemberi Kuasa Khusus untuk membayar ganti kerugian yang dideritanya. Penjelasan Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Dalam hal penyangkalan beserta tuntutan pemberi Kuasa Khusus dikabulkan, penerima Kuasa Khusus dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Penjelasan Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Dalam hal perkara sudah diputus dan dimohonkan pemeriksaan banding, penyangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus diajukan dalam tenggang waktu banding dan diputus bersama-sama dengan perkara bandingnya. Penjelasan Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Terhadap putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 tidak terbuka upaya hukum. Penjelasan Pasal 31 Yang dimaksud dengan “tidak terbuka upaya hukum” adalah tidak terbuka upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa untuk memberikan suatu penegasan bahwa putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan yang bersifat final. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 11 BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN Bagian Kesatu Wewenang Relatif Pasal 32 (1) Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di tingkat pertama adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal tergugat. (2) Dalam hal tergugat: a. lebih dari seorang, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal salah seorang tergugat; b. pihak debitor bersama penjaminnya, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal tergugat debitor. (3) Dalam hal alamat tempat tinggal tergugat tidak diketahui, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (4) Dalam hal alamat tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal penggugat. Penjelasan Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Dalam hal telah dipilih alamat tempat tinggal dalam suatu perjanjian tertulis antar pihak yang berperkara, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal yang dipilih. Penjelasan Pasal 33 Dalam hal terdapat pilihan alamat tempat tinggal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal pilihan, alamat tempat tinggal atau tempat kediaman tergugat. Pasal 34 (1) Dalam hal tergugat adalah badan hukum, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat kedudukan kantor pusat atau kantor perwakilan badan hukum tersebut. (2) Dalam hal suatu badan hukum telah dibubarkan, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat kedudukan badan hukum tersebut. Penjelasan Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “alamat tempat kedudukan” dalam ketentuan ini adalah alamat kedudukan kantor pusat atau kantor perwakilan badan hukum tersebut sesuai yang tercatat dalam anggaran dasar. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Dalam hal tergugat adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat kedudukan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Penjelasan Pasal 35 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 12 Pasal 36 (1) Dalam hal kreditor dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun setelah pewaris meninggal dunia mengajukan gugatan kepada ahli waris, Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir pewaris. (2) Dalam hal tergugat meninggal dunia dalam proses pemeriksaan perkara, ahli waris dari tergugat dipanggil di tempat kediaman terakhir tergugat yang meninggal untuk menggantikan kedudukan tergugat. (3) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (2). Penjelasan Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemanggilan ahli waris dari tergugat yang meninggal dunia tanpa menyebutkan identitas ahli waris yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 (1) Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal pemohon kecuali Undang-Undang menentukan lain. (2) Dalam hal pemohon lebih dari seorang, Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal salah seorang pemohon. (3) Dalam hal permohonan mengenai pengangkatan anak, Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal anak yang akan diangkat. Penjelasan Pasal 37 Cukup jelas. Bagian Kedua Wewenang Absolut Pasal 38 Pengadilan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perdata di tingkat pertama, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 38 Yang dimaksud dengan “Undang-Undang menentukan lain”, misalnya untuk perkara di bidang pajak harus diajukan ke pengadilan pajak, perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pebayaran utang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pasal 39 Pengadilan Tinggi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. di tingkat banding, mengenai perkara perdata yang telah diputus oleh Pengadilan, kecuali Undang-Undang menentukan lain; b. di tingkat pertama, mengenai perkara prorogasi; atau c. di tingkat pertama dan terakhir, mengenai perkara wewenang mengadili antar Pengadilan yang berada di daerah hukumnya. Penjelasan Pasal 39 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 13 BAB V PENGUNDURAN DIRI DAN HAK INGKAR Bagian Kesatu Pengunduran Diri Pasal 40 (1) Hakim wajib mengundurkan diri dalam memeriksa perkara, apabila Hakim: a. mempunyai kepentingan pribadi dalam perkara yang diperiksanya; b. merupakan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dari salah satu pihak yang berperkara atau dengan penerima kuasa; c. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum memeriksa perkara, yang bersangkutan mengadukan pihak yang berperkara, istri, suami, atau keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dari pihak yang berperkara, karena telah terlibat dalam perkara pidana; d. mempunyai istri, suami, bekas isteri atau bekas suami, atau keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, yang mempunyai perkara serupa dengan pokok perkara dalam perkara yang diperiksanya; e. mempunyai istri, suami, bekas istri atau bekas suami, atau keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, yang mempunyai perkara sendiri yang diperiksa dengan salah satu pihak yang berperkara; f. menjadi wali, pengampu, atau mungkin menjadi ahli waris, penerima bagian dari salah satu pihak yang berperkara, atau salah satu pihak yang berperkara mungkin akan menjadi ahli warisnya; g. menjadi pengurus dari suatu badan hukum yang menjadi pihak dalam perkara yang bersangkutan; dan/atau h. yang memutus perkara di tingkat pertama kemudian telah menjadi Hakim Tinggi atau Hakim Agung. (2) Ketentuan mengenai kewajiban pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi panitera persidangan. Penjelasan Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 (1) Hakim atau panitera yang mengundurkan diri berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 harus diganti dan perkara yang bersangkutan diperiksa ulang. (2) Dalam hal Hakim atau panitera tidak mengundurkan diri atau tidak diganti dan perkara tersebut sudah diputus, putusan batal karena hukum. Penjelasan Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ketentuan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 berlaku juga bagi Hakim dan panitera di tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. Penjelasan Pasal 42 Cukup jelas. Bagian Kedua Hak Ingkar Pasal 43 (1) Pihak yang berperkara mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang sedang memeriksa perkaranya. (2) Hak ingkar terhadap Hakim hanya dapat diajukan atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). (3) Ketentuan mengenai hak ingkar terhadap Hakim berlaku juga bagi panitera persidangan. Penjelasan Pasal 43 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 14 Pasal 44 (1) Tuntutan hak ingkar terhadap Hakim diajukan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan disertai alasan dan ditandatangani oleh pihak yang mengajukan tuntutan atau wakilnya yang mendapat Kuasa Khusus untuk itu. (2) Tuntutan hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera diberitahukan oleh Ketua Pengadilan kepada Hakim yang sedang memeriksa perkara tersebut dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Penjelasan Pasal 44 Ayat (1) Dalam hal yang mengajukan hak ingkar tidak bisa baca tulis berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 12. Ayat (2) Apabila perkara tersebut diperiksa oleh Majelis Hakim, maka tuntutan hak ingkar disampaikan oleh Ketua Pengadilan kepada Ketua Majelis Hakim. Pasal 45 (1) Ketua Pengadilan memeriksa kebenaran alasan mengenai tuntutan hak ingkar yang diajukan oleh pihak yang berperkara. (2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan alasan yang diajukan pihak yang berperkara terbukti, tuntutan hak ingkar dikabulkan dengan memberikan perintah kepada Hakim yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara, dengan suatu penetapan. (3) Hakim yang mengundurkan diri harus diganti oleh Hakim lain untuk melanjutkan pemeriksaan perkara dengan suatu penetapan. Penjelasan Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 (1) Dalam hal tuntutan hak ingkar diajukan terhadap Ketua Pengadilan bersangkutan, tuntutan hak ingkar diajukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, dan jika berhalangan kepada Wakil Ketua Pengadilan Tinggi. (2) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, yang memeriksa dan memutus adalah Hakim yang pangkatnya tertinggi di Pengadilan Tinggi tersebut. Penjelasan Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku juga bagi Hakim dan panitera di tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. Penjelasan Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Terhadap Putusan Pengadilan mengenai tuntutan hak ingkar tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali, atau perlawanan. Penjelasan Pasal 48 Putusan Pengadilan mengenai tuntutan hak ingkar merupakan putusan yang bersifat final. BAB VI UPAYA MENJAMIN HAK Pasal 49 (1) Dalam gugatan, Penggugat dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas: a. tanah, benda tetap lain, dan benda bergerak milik tergugat; http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 15 b. tanah, benda tetap lain, dan benda bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat; c. tanah, benda tetap lain, dan benda bergerak milik tergugat yang dikuasai oleh pihak ketiga. (2) Dalam hal Pengadilan tidak mengabulkan sita jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan Tinggi dapat mengabulkan sita jaminan yang diajukan penggugat, dengan suatu penetapan. Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan sita jaminan oleh Pengadilan Tinggi dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Pasal 50 (1) Permohonan sita jaminan dapat juga diajukan sebelum pengajuan gugatan dengan syarat gugatan harus sudah diterima dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah sita jaminan dilaksanakan. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipergunakan, pengadilan wajib dengan penetapan menyatakan sita jaminan yang telah dilaksanakan batal kerena hukum. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dikeluarkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi. Penjelasan Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Permohonan sita jaminan hanya dikabulkan, apabila ada persangkaan bahwa tergugat berusaha untuk memindahtangankan atau menyembunyikan benda miliknya dengan maksud merugikan pihak penggugat. Penjelasan Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 (1) Dalam hal permohonan sita jaminan dikabulkan, penyitaan terhadap benda milik tergugat harus dilakukan terlebih dahulu atas benda bergerak dan jika nilainya tidak mencukupi gugatan dilakukan juga penyitaan terhadap tanah dan benda tetap lainnya. (2) Tanah, benda tetap lain, dan benda bergerak milik tergugat yang telah disita, tidak dapat disita lagi. Penjelasan Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 (1) Benda yang disita harus tetap berada pada pihak tersita untuk disimpan, dipelihara, dan dijaga. (2) Atas permohonan dan tanggungjawab penggugat, benda bergerak yang disita dapat dipindahkan sebagian atau seluruhnya ke alamat tempat lain untuk disimpan secara patut dan aman dengan menunjuk seorang penjaga yang bertanggungjawab atas benda tersebut. (3) Dalam hal benda yang disita mudah rusak, atas permohonan penggugat, dengan penetapan Ketua Pengadilan barang tersebut dapat dijual lelang dan hasilnya disimpan di kas kepaniteraan Pengadilan. Penjelasan Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 16 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “benda yang mudah rusak”, misalnya buah-buahan, makanan, obat-obatan, atau barang yang dapat kadaluarsa untuk dikonsumsi. Pasal 54 (1) Penyitaan atas tanah harus dilakukan di tempat tanah tersebut terletak dengan mencocokkan batas-batasnya. (2) Petugas yang melakukan penyitaan harus mendaftarkan penyitaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disertai salinan berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, kepada: a. pejabat yang berwenang melakukan pendaftaran tanah yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat tanah yang telah terdaftar terletak; b. lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis yang daerah hukumnya meliputi tempat tanah yang belum terdaftar; dan c. Pengadilan yang melakukan penyitaan tersebut. (3) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, seketika setelah menerima salinan berita acara penyitaan wajib mencatat penyitaan tersebut dalam buku tanah dan mengumumkan menurut kebiasaan setempat. (4) Penyitaan atas benda tetap atau benda lain yang disamakan dengan benda tetap yang tidak berupa tanah harus juga didaftarkan di Pengadilan. Penjelasan Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal tanah tersebut telah bersertifikat, pendaftaran dilakukan di instansi yang tugas dan wewenangnya di bidang pertanahan, sedangkan yang belum bersertifikat pendaftaran dilakukan kepada lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 55 (1) Tanah, benda tetap lain, dan benda bergerak yang telah disita, dilarang dipindahtangankan, disewakan, atau digunakan sebagai tanggungan utang. (2) Khusus untuk tanah apabila dipindahtangankan, disewakan, atau digunakan sebagai tanggungan utang oleh tersita adalah batal karena hukum. Penjelasan Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Sebelum dijatuhkan putusan, sita jaminan dapat diangkat atas permohonan Tergugat dan/atau Penggugat berdasarkan alasan hukum. Penjelasan Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 (1) Sita jaminan dilakukan oleh juru sita yang telah ditunjuk untuk itu. (2) Penyitaan dilakukan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dari Pengadilan dan lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis atau seorang pegawai kelurahan atau pemerintahan desa atau nama lain yang sejenis dari tempat penyitaan dilakukan serta dapat dihadiri oleh pihak tergugat sendiri atau seorang anggota keluarganya. (3) Sita jaminan atas benda milik tergugat yang dikuasai pihak ketiga dilakukan oleh jurusita dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak ketiga tersebut dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sebelum dilakukan penyitaan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 17 (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilampirkan salinan penetapan atau alas hak lainnya yang menjadi dasar dilakukan penyitaan. (5) Juru sita wajib membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh juru sita, para saksi, dan tersita apabila hadir. Penjelasan Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal tersita tidak hadir atau menolak untuk menandatangani berita acara penyitaan, maka ketidakhadiran atau penolakan tersebut dimuat dalam berita acara. Pasal 58 (1) Sita jaminan bersifat sementara. (2) Dalam hal gugatan dikabulkan, penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan sah dan berharga. (3) Dalam hal gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak, penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperintahkan untuk diangkat. Penjelasan Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 (1) Pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan yang melaksanakan penyitaan terhadap benda miliknya. (2) Cara pengajuan dan pemeriksaan perkara perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku acara pemeriksaan biasa. (3) Pemeriksaan perkara perlawanan tidak menghentikan pemeriksaan pokok perkara. (4) Dalam hal perlawanan pihak ketiga dikabulkan dan pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang benar, penyitaan terhadap benda pihak ketiga tersebut diperintahkan untuk diangkat. (5) Dalam hal pihak ketiga tidak dapat membuktikan bahwa benda yang disita adalah miliknya, maka pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan penyitaan dipertahankan. Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) Pemegang hak tanggungan dan hipotek tidak dapat melakukan perlawanan pihak ketiga karena bukan pemilik benda. Dalam hal tanah yang disita, bukti kepemilikan harus berupa sertifikat hak milik atas namanya, sertifikat hak guna usaha, hak guna bangunan, sertifikat hak pakai atas tanah negara atas namanya. Tidak termasuk didalamnya hak sewa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 18 BAB VII PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Bagian Kesatu Umum Pasal 60 (1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan. (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. Penjelasan Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 (1) Dalam ruang sidang, siapa pun wajib menunjukkan sikap sopan, hormat, dan menaati tata tertib pengadilan. (2) Siapa pun yang berada di dalam ruang sidang pengadilan tidak bersikap sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintah hakim ketua sidang, yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu Undang-Undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan Undang-Undang tersebut. Penjelasan Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 (1) Dalam ruang sidang, siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda yang dapat membahayakan keamanan sidang, kecuali petugas keamanan. (2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan untuk menjamin bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan peledak, alat, atau benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pada seseorang yang digeledah ditemukan membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bersangkutan harus menitipkan barang tersebut kepada petugas keamanan. (4) Apabila orang yang menitipkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bermaksud meninggalkan ruang sidang untuk seterusnya, petugas keamanan wajib menyerahkan kembali barang yang dititipkan kepadanya. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan terhadap seseorang yang membawa senjata, bahan peledak, alat, atau benda tersebut apabila ternyata bahwa penguasaan atas barang tersebut merupakan tindak pidana. Penjelasan Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penggeledahan” mencakup penggeledahan badan dan barang yang dibawa oleh yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 19 Bagian Kedua Pemeriksaan dengan Acara Biasa Pasal 63 (1) Pihak yang berperkara wajib hadir pada hari sidang yang telah ditentukan setelah dipanggil secara sah. (2) Dalam hal pada hari persidangan yang telah ditentukan, penggugat atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus tidak hadir meskipun sudah dipanggil secara sah, maka gugatannya dapat dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara. (3) Gugatan yang sudah dinyatakan gugur dapat diajukan sebagai gugatan baru setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara. Penjelasan Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 (1) Dalam hal pada hari persidangan yang telah ditentukan tergugat atau wakilnya yang mendapat surat Kuasa Khusus tidak hadir meskipun sudah dipanggil secara sah, maka gugatan penggugat dapat dikabulkan dengan putusan verstek, kecuali apabila gugatan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. (2) Dalam hal tergugat atau wakilnya yang sah tidak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi telah mengirimkan surat yang berisikan tangkisan bahwa Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya, hakim harus menjatuhkan putusan lebih dahulu mengenai tangkisan tersebut. (3) Dalam hal tangkisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, hakim menjatuhkan putusan verstek terhadap pokok perkara. Penjelasan Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 (1) Dalam persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 64, sebelum menjatuhkan putusan, Pengadilan dapat memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir. (2) Kepada pihak yang hadir, tanggal sidang berikutnya cukup diberitahukan di persidangan yang berlaku sebagai panggilan yang sah. Penjelasan Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 (1) Dalam hal dijatuhkan putusan verstek, maka hakim segera memerintahkan untuk memberitahukan putusan tersebut kepada tergugat, disertai keterangan bahwa tergugat dapat mengajukan perlawanan jika tergugat tidak menerima putusan tersebut. (2) Dalam hal Penggugat mengajukan banding terhadap putusan verstek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum Tergugat mengajukan perlawanan, maka Tergugat tidak dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek tersebut, melainkan dapat mengajukan banding. (3) Perlawanan harus diajukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah putusan verstek diberitahukan langsung kepada tergugat yang bersangkutan. (4) Dalam hal pemberitahuan tidak diterima sendiri oleh tergugat, maka perlawanan harus diajukan dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah tergugat ditegur untuk melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201. (5) Dalam hal Tergugat tidak hadir pada waktu ditegur, maka perlawanan diajukan dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah sita eksekutorial dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202. (6) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan pemeriksaan gugatan berlaku juga bagi pengajuan dan pemeriksaan perlawanan. (7) Dalam hal diajukan perlawanan, banding, atau kasasi, putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan, kecuali jika putusan verstek tersebut bersifat serta merta. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 20 (8) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dijatuhkan untuk kedua kalinya, tidak dapat diajukan perlawanan. Penjelasan Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Ketentuan dalam ayat ini tidak menutup kemungkinan untuk upaya banding. Pasal 67 (1) Dalam hal salah satu atau lebih tergugat tidak hadir pada sidang pertama dan tidak mewakilkan kepada orang lain karena belum dipanggil secara sah, persidangan harus ditunda sampai pada hari yang ditentukan. (2) Tergugat yang tidak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipanggil sekali lagi secara sah. (3) Tergugat yang hadir cukup diberitahukan di persidangan tanggal sidang berikutnya dan berlaku sebagai panggilan yang sah. (4) Dalam hal pada hari persidangan yang kedua, Tergugat yang telah dipanggil secara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak hadir, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut. Penjelasan Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 (1) Dalam hal pihak berperkara hadir pada hari persidangan yang telah ditentukan, Hakim wajib berusaha mendamaikan pihak yang berperkara. (2) Usaha perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setiap saat sebelum perkara diputus. (3) Kewajiban hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka putusan batal karena hukum. (4) Dalam hal usaha perdamaian berhasil, perdamaian tersebut dibuatkan akta dalam bentuk putusan perdamaian yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati putusan tersebut. (5) Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Penjelasan Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Usaha perdamaian yang dilakukan hakim harus mengikutsertakan semua pihak yang berperkara. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 21 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 69 Dalam hal upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 tidak berhasil, hakim mulai memeriksa perkara. Penjelasan Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 (1) Pemeriksaan di sidang Pengadilan dilakukan secara lisan atau tertulis. (2) Dalam hal penggugat atau tergugat tidak mengerti bahasa Indonesia, maka Hakim menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah. (3) Penerjemah yang ditunjuk, sebelum melakukan tugasnya harus bersumpah lebih dahulu dipersidangan, bahwa yang bersangkutan akan menerjemahkan secara benar bahasa yang digunakan oleh pihak berperkara ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. (4) Orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, tidak dapat ditunjuk sebagai penerjemah. Penjelasan Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Jawaban tergugat terhadap pokok perkara dapat berupa pengakuan, sangkalan, atau menyerahkan putusan perkara kepada keputusan Hakim. Penjelasan Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 (1) Dalam hal jawaban Tergugat berupa menyerahkan putusan perkaranya kepada Hakim, jawaban tersebut tidak dapat disamakan dengan pengakuan Tergugat. (2) Dalam hal Gugatan dikabulkan oleh Hakim dan terhadap putusan diajukan permohonan banding, tergugat masih berhak mengajukan sangkalan di Pengadilan Tinggi. Penjelasan Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 (1) Dalam hal tergugat dipanggil untuk menghadap ke sidang Pengadilan karena perkaranya akan diperiksa, sedang Pengadilan tersebut menurut Tergugat tidak berwenang untuk memeriksa perkaranya, maka Tergugat dapat mengajukan eksepsi bahwa Pengadilan tidak berwenang secara relatif. (2) Eksepsi kewenangan relatif Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan tergugat dalam jawaban pertama yang dimuat sebelum jawaban terhadap pokok perkara. (3) Eksepsi kewenangan relatif yang diajukan sesudah jawaban terhadap pokok perkara harus ditolak oleh Pengadilan. Penjelasan Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 (1) Dalam hal pokok perkara tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan maka eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan setiap saat selama pemeriksaan perkara berlangsung. (2) Hakim karena jabatannya harus menyatakan dirinya tidak berwenang, jika ternyata pokok perkara yang bersangkutan tidak termasuk wewenang Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penjelasan Pasal 74 Cukup jelas http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 22 Pasal 75 Semua eksepsi yang diajukan tergugat, harus diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara, kecuali eksepsi tentang ketidakwenangan Pengadilan. Penjelasan Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 (1) Tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, kecuali apabila: a. tergugat digugat dalam gugatan konvensi karena kedudukannya dan dalam gugatan rekonvensi bertindak untuk diri pribadi, atau sebaliknya; b. Pengadilan yang memeriksa gugatan konvensi tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa pokok perkara dalam gugatan rekonvensi; atau c. pokok perkara gugatan konvensi mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. (2) Dalam hal tergugat tidak mengajukan gugatan rekonvensi dalam pemeriksaan tingkat pertama, maka dalam pemeriksaan tingkat banding, gugatan rekonvensi tidak dapat diajukan. Penjelasan Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 (1) Gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama tergugat terhadap gugatan konvensi. (2) Gugatan rekonvensi diputus bersama-sama dengan gugatan konvensi dalam satu putusan. Penjelasan Pasal 77 Ayat (1) Gugatan rekonvensi merupakan gugatan balik yang diajukan oleh tergugat Konvensi hanya terhadap Penggugat Konvensi. Dalam perkara bantahan atau perlawanan tidak dapat diajukan gugatan rekovensi oleh terbantah atau terlawan. Ayat (2) Antara gugatan rekonvensi dan konvensi tidak diharuskan ada hubungan dan merupakan gugatan yang berdiri sendiri-sendiri. Oleh karenanya dalam hal gugatan konvensi dinyatakan tidak dapat diterima, gugatan rekonvensi harus tetap diperiksa dan tidak dengan sendirinya harus dinyatakan tidak diterima juga. Terhadap putusan konvensi dan rekonvensi dapat diajukan banding secara bersama-sama atau sendiri-sendiri Pasal 78 Berita acara persidangan sebelumnya harus sudah diselesaikan dan ditandatangani oleh Hakim dan panitera pada saat persidangan berikutnya. Penjelasan Pasal 78 Cukup jelas. Bagian Ketiga Keikutsertaan Pihak Ketiga Pasal 79 Setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, selama perkara belum diputus dapat mengajukan permohonan kepada majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk: a. diizinkan masuk dalam perkara untuk membela kepentingan salah satu pihak berperkara; b. diizinkan masuk dalam perkara tersebut sebagai pihak yang hendak membela haknya sendiri. Penjelasan Pasal 79 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 23 Pasal 80 (1) Dalam hal tergugat merasa perlu keikutsertaan pihak ketiga ke dalam perkaranya, tergugat dapat mengajukan permohonan kepada majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan supaya diizinkan menarik pihak ketiga sebagai penanggung untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. (2) Pihak ketiga sebagai penanggung dalam perkara tersebut mengambilalih kedudukan pihak yang menariknya. (3) Dalam hal permohonan penarikan pihak penanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pihak tergugat, permohonan tersebut harus diajukan sebelum mengajukan jawaban dalam pokok perkara. (4) Dalam hal permohonan penarikan pihak penanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tergugat rekonvensi, permohonan tersebut harus diajukan sebelum jawaban dalam rekonvensi. Penjelasan Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 (1) Permohonan keikutsertaan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan Pasal 80 dapat diajukan secara lisan atau tertulis kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut, dalam persidangan. (2) Majelis hakim dapat mengabulkan atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan putusan sela. (3) Terhadap putusan sela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. Penjelasan Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 (1) Dalam hal pemeriksaan suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada hari sidang yang telah ditentukan, pemeriksaan perkara ditunda sampai pada hari yang ditentukan. (2) Penundaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sebagai panggilan yang sah untuk persidangan berikutnya bagi pihak yang hadir. (4) Dalam hal pihak yang berperkara tidak hadir dalam persidangan, yang bersangkutan harus dipanggil secara sah. (5) Dalam hal pada hari sidang berikutnya salah satu pihak tidak hadir, pemeriksaan perkara dilanjutkan. Penjelasan Pasal 82 Cukup jelas. Bagian Keempat Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Singkat Pasal 83 (1) Pada hari tertentu menurut keperluan, oleh Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk olehnya, diadakan sidang pengadilan dengan Hakim tunggal untuk memeriksa dan memutus perkara dengan acara singkat yang menurut sifat sengketanya memerlukan pemeriksaan dan putusan dengan segera. (2) Perkara yang diajukan untuk diperiksa dengan acara singkat oleh panitera didaftar dalam buku tersendiri. Penjelasan Pasal 83 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 24 Pasal 84 (1) Sengketa yang dapat diperiksa, diadili, dan diputus dengan acara singkat meliputi sengketa: a. pelaksanaan suatu putusan pengadilan atau suatu putusan instansi lain yang mempunyai kekuatan eksekutorial; b. kewajiban seorang notaris untuk membuat suatu akta yang menurut keadaannya tidak dapat ditunda; c. penyegelan barang atau pembukaan penyegelan barang; atau d. perdata lainnya yang menurut kepentingan para pihak memerlukan tindakan sementara dengan segera, dan akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang berperkara apabila diperiksa dengan acara biasa. (2) Putusan Pengadilan dengan acara singkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. Penjelasan Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 (1) Penentuan hari sidang dan penundaannya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk olehnya dengan secepatnya dan acara pemeriksaannya tidak terikat pada ketentuan tentang pemeriksaan dengan acara biasa dalam Undang-Undang ini. (2) Pemeriksaan dilakukan langsung dengan mendengar keterangan pihak berperkara secara lisan tanpa mengurangi hak mereka masing-masing untuk dibantu oleh kuasanya. (3) Berita acara persidangan harus segera diselesaikan sebelum persidangan berikutnya. (4) Segala persoalan dalam perkara tersebut dipertimbangkan secara sekaligus dalam putusan akhir. Penjelasan Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Apabila pemeriksaan dalam sidang sengketa tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi pihak yang berperkara jika dilakukan pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan dalam penetapannya: a. menolak permohonan untuk memeriksa gugatan dengan acara singkat; dan b. memerintahkan kepada panitera supaya perkara tersebut dimasukkan dalam daftar perkara biasa. Penjelasan Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 (1) Putusan Pengadilan dengan acara singkat yang mengabulkan gugatan selalu dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan atau kasasi. (2) Putusan dengan acara singkat tidak membawa kerugian pada pokok perkaranya. Penjelasan Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) diajukan ke Pengadilan yang memutus dengan acara singkat, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan diberitahukan kepada tergugat. Penjelasan Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 (1) Terhadap semua putusan di tingkat pertama dengan acara singkat tidak dapat diajukan permohonan banding. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 25 (2) Terhadap semua putusan di tingkat pertama dengan acara singkat dapat diajukan permohonan kasasi kepada panitera Pengadilan yang memutus perkara dengan acara singkat dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah putusan diucapkan bagi yang hadir atau setelah diberitahukan bagi yang tidak hadir. (3) Terhadap putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan permohonan peninjauan kembali. Penjelasan Pasal 89 Ayat (1) Untuk menghitung tenggang waktu 14 (empat belas) hari, hari pemberitahuan putusan tidak dihitung dan apabila hari terakhir tenggang waktu tersebut adalah hari libur, maka dihitung hari berikutnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 90 Ketentuan mengenai permohonan kasasi dengan acara biasa berlaku juga bagi permohonan kasasi dengan acara singkat. Penjelasan Pasal 90 Cukup jelas. BAB VIII PEMBUKTIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 91 (1) Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, Hakim hanya dapat mendasarkan putusannya pada peristiwa dan hak yang telah menjadi jelas baginya dalam persidangan atau peristiwa dan hak yang dikemukakan oleh para pihak dan menurut persyaratan dalam Undang-Undang ini telah menjadi tetap. (2) Peristiwa atau hak yang didalilkan oleh salah satu pihak dan tidak disangkal atau disangkal tanpa alasan yang cukup oleh pihak lawan, wajib dianggap telah menjadi tetap, kecuali jika peristiwa tersebut menimbulkan suatu akibat hukum yang bertentangan dengan aturan hukum yang bersifat memaksa. (3) Hakim dapat mendasarkan putusannya pada peristiwa atau keadaan yang telah menjadi pengetahuan umum. Penjelasan Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Pihak yang menuntut akibat hukum dari peristiwa atau hak yang didalilkannya dan disangkal oleh pihak lawan wajib membuktikannya, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 (1) Bukti yang bersifat memaksa mewajibkan Hakim untuk membenarkan isi alat bukti tersebut atau mengakui kekuatan pembuktian yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap alat bukti tersebut. (2) Bukti lawan selalu dapat diajukan, juga terhadap bukti memaksa, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 93 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 26 Pasal 94 (1) Pembuktian dapat dilakukan dengan semua alat bukti, kecuali Undang-Undang menentukan lain. (2) Penilaian terhadap pembuktian diserahkan kepada Hakim, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 94 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kecuali Undang-Undang menentukan lain”, misalnya ketentuan dalam Pasal 1873, Pasal 1878, dan Pasal 1881 KUHPerdata. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 95 Perjanjian pembuktian yang menyimpang dari hukum pembuktian, tidak sah jika bertentangan dengan Undang-Undang yang bersifat memaksa. Penjelasan Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Apabila dalam perkara permohonan diperlukan keterangan saksi, ahli, pemeriksaan atau peninjauan setempat, berlaku ketentuan mengenai perkara gugatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Penjelasan Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 (1) Pada setiap tingkat perkara, masing-masing pihak dapat meminta kepada Hakim supaya pihak lawannya diperintahkan menyerahkan surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan. (2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim wajib memerintahkan masing-masing pihak untuk memberikan surat kepunyaan kedua belah pihak yang menyangkut hal yang sedang dipersengketakan dan berada di tangan pihak lawan. Penjelasan Pasal 97 Cukup jelas. Bagian Kedua Pengakuan Pasal 98 (1) Pengakuan dilakukan dengan mengakui secara tegas kebenaran dari satu atau lebih dalil pihak lawan dalam persidangan. (2) Pengakuan hanya dapat ditarik kembali, jika dapat dibuktikan bahwa pengakuan tersebut telah diberikan karena kekhilafan atau tidak berdasarkan kehendak yang bebas. Penjelasan Pasal 98 Cukup jelas. Bagian Ketiga Surat Pasal 99 (1) Pihak berperkara dapat mengajukan bukti surat untuk menguatkan peristiwa sebagai dasar haknya atau sebagai dasar sangkalan terhadap dalil lawannya. (2) Pihak berperkara secara timbal balik berhak untuk meminta diperlihatkan bukti surat yang diserahkan dalam sidang dan memperoleh salinan bukti surat tersebut. Penjelasan Pasal 99 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 27 Pasal 100 Surat adalah segala sesuatu yang berisi tulisan yang ditandatangani atau dibubuhi cap jempol. Penjelasan Pasal 100 Apabila yang bersangkutan tidak memiliki tangan, maka cap jempol yang dimaksud adalah cap jempol kaki. Pasal 101 Akta adalah surat yang ditandatangani atau dibubuhi cap jempol yang dibuat dengan tujuan untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan. Penjelasan Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 (1) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 terdiri atas akta otentik dan akta di bawah tangan. (2) Akta otentik merupakan akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- Undang dan dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum. (3) Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat tidak oleh atau tidak di hadapan pejabat umum Penjelasan Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Akta otentik memberikan pembuktian yang bersifat memaksa terhadap setiap orang tentang apa yang disaksikan dan diperbuat oleh pejabat umum dalam lingkup kewenangannya. Penjelasan Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 (1) Perjanjian yang dibuat kemudian yang isinya bertentangan dengan isi akta otentik terdahulu, hanya mempunyai kekuatan bukti terhadap para pihak pembuat perjanjian, para ahli waris, dan semua orang yang mendapat hak dari perjanjian tersebut. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga yang tidak mempunyai kaitan dengan akta otentik tersebut. Penjelasan Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Surat yang mempunyai bentuk seperti akta otentik diperlakukan sebagai akta otentik kecuali dibuktikan sebaliknya. Penjelasan Pasal 105 Akta yang diperlakukan sebagai akta otentik misalnya akta yang dibuat tidak oleh atau tidak di hadapan pejabat umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 106 (1) Akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta tersebut dipakai, atau yang berdasarkan Undang-Undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik. (2) Setiap orang yang terhadapnya diajukan akta di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut sebagai tulisan atau tanda tangan dari pewaris atau orang yang memberikan kepadanya. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 28 (3) Dalam hal seseorang menyangkal tulisan atau tanda tangannya atau jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya menerangkan tidak mengakuinya maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan. Penjelasan Pasal 106 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “di muka pengadilan” adalah dalam persidangan perkara yang bersangkutan. Pasal 107 (1) Akta di bawah tangan dapat dibubuhi cap jempol sebagai pengganti tandatangan. (2) Akta di bawah tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperkuat dengan keterangan dari notaris atau pejabat umum yang berwenang lainnya untuk tersebut, yang menyatakan bahwa: a. orang yang membubuhkan cap jempol tersebut dikenalnya atau diperkenalkan oleh dua orang yang dikenalnya; dan b. isi akta tersebut sebelum dibubuhi cap jempol telah diterangkan dengan jelas dan telah disetujui oleh orang yang membubuhkan cap jempol tersebut. Penjelasan Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Dalam hal pihak yang bersangkutan menghendaki, tanda tangan dalam akta di bawah tangan dapat diperkuat dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2). Penjelasan Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 (1) Tanggal yang dicantumkan dalam akta di bawah tangan sebagai keterangan waktu dibuatnya akta oleh para pihak yang bersangkutan, tidak mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga. (2) Tanggal yang mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga sebagai keterangan waktu dibuatnya akta di bawah tangan adalah: a. tanggal pada saat tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut dikuatkan oleh keterangan notaris atau pejabat umum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2); b. tanggal meninggalnya para pihak atau salah satu pihak yang menandatangani akta di bawah tangan tersebut; c. tanggal pada saat notaris atau pejabat umum yang berwenang lainnya untuk itu, mengakui adanya akta di bawah tangan tersebut; atau d. tanggal surat pengakuan pihak ketiga terhadap siapa akta di bawah tangan tersebut dipergunakan sebagai bukti. Penjelasan Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 (1) Akta di bawah tangan tentang perikatan utang yang dibuat sepihak untuk membayar tunai sejumlah uang atau memberikan suatu barang yang dapat ditetapkan harganya, harus: a. seluruhnya ditulis dengan tangan dan ditandatangani oleh penulis sendiri; atau b. paling sedikit ditulis dengan tangan pernyataan persetujuan yang memuat jumlah uang dan besarnya nilai barang yang harus dibayar oleh penulis sendiri dan ditandatangani. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 29 (2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi dan akta tersebut disangkal, maka akta tersebut hanya dapat diterima sebagai bukti permulaan tertulis. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak berlaku terhadap: a. surat saham; b. obligasi; c. perikatan yang dibuat oleh debitor dalam menjalankan perusahaannya; dan d. akta dibawah tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 108. Penjelasan Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 (1) Kekuatan pembuktian dari bukti surat terletak pada akta aslinya. (2) Grosse dan salinan lengkap dari suatu akta otentik yang aslinya menurut peraturan perundang-undangan harus disimpan, yang dikeluarkan oleh pejabat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) yang berwenang untuk itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan aslinya. (3) Tindasan, fotokopi, dan salinan lain dari suatu akta, yang aslinya masih ada, hanya dapat diterima sebagai bukti apabila sesuai dengan aslinya yang oleh Hakim diperintahkan supaya diajukan di persidangan. Penjelasan Pasal 111 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal akta otentik tersebut berkaitan dengan dokumen perusahaan yang wajib disimpan oleh pimpinan perusahaan telah dialihkan ke dalam mikro film atau media lainnya, maka untuk menyatakan bahwa salinan pertama dan salinan lengkap dari suatu akta otentik yang wajib disimpan tersebut telah sesuai dengan aslinya, cukup berdasarkan berita acara pengalihan dokumen perusahaan yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “salinan lain” dari suatu akta, antara lain “hasil cetak ” dari dokumen perusahaan yang telah dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. Apabila dokumen asli telah dimusnahkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, maka Hakim memerintahkan supaya berita acara pengalihan dokumen sebagai legalisasi terhadap dokumen tersebut diajukan ke persidangan. Pasal 112 (1) Dalam hal salah satu pihak berperkara membantah keaslian bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, Hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan tersebut dan mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. (2) Dalam hal diperlukan surat yang berada dalam simpanan pejabat umum, Hakim memerintahkan supaya pejabat tersebut menyerahkan surat yang diperlukan dalam sidang dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal pejabat tersebut tanpa alasan yang sah tidak memenuhi kewajibannya, atas permohonan pihak berperkara yang berkepentingan, Hakim dapat memerintahkan supaya pejabat tersebut memenuhi kewajibannya. Penjelasan Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 (1) Dalam hal ada keberatan untuk menyerahkan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2) karena jauhnya alamat tempat tinggal pejabat tersebut, Pengadilan melimpahkan pemeriksaan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat surat tersebut disimpan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 30 (2) Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat surat tersebut disimpan, sesudah melakukan pemeriksaan wajib membuat berita acara. (3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengirimkan salinan dari surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pengadilan yang melimpahkannya. (4) Atas permohonan pihak berperkara, apabila pejabat tersebut tanpa alasan yang dapat diterima oleh Hakim tidak memenuhi perintah pengadilan untuk menyerahkan surat tersebut, Ketua Pengadilan yang menerima pelimpahan pemeriksaan dapat memerintahkan pejabat tersebut memenuhi kewajibannya. (5) Dalam hal surat yang diperlukan tersebut tidak merupakan bagian dari suatu register, salinan atau fotokopi yang telah bermaterai secukupnya disesuaikan dengan surat aslinya. (6) Surat asli sebagaimana dimaksud pada ayat (5) segera dikembalikan kepada yang berhak. Penjelasan Pasal 113 Ayat (1) Jauhnya alamat tempat tinggal pejabat tersebut ditentukan oleh fakta mengenai jarak tempuh perjalanan dan kesulitan transportasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 114 (1) Biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 112 dan Pasal 113 ditanggung oleh pihak yang memohon pemeriksaan alat bukti tertulis. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlahnya ditentukan dengan penetapan Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Penjelasan Pasal 114 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan Hakim mengenai jumlah biaya pemeriksaan yang dibayar kepada pejabat yang berwenang memeriksa surat-surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 tentang apakah surat tersebut sesuai dengan aslinya atau tidak, berpedoman kepada asas penyelenggaraan peradilan dengan biaya murah. Pasal 115 (1) Dalam hal pemeriksaan tentang keaslian surat tersebut timbul dugaan bahwa surat tersebut palsu atau dipalsukan, Hakim atas permintaan dan biaya dari pihak yang berkepentingan dapat mengirim surat yang diduga palsu untuk dibandingkan dengan aslinya kepada laboratorium kriminal untuk diteliti keaslian tulisan tersebut. (2) Pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan tanpa menunggu hasil penelitian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima kembali. Penjelasan Pasal 115 Ayat (1) Pemeriksaan tentang keaslian surat dimintakan kepada kepala kepolisian yang daerah hukumnya meliputi yurisdiksi Pengadilan Negeri tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 31 Pasal 116 (1) Bukti permulaan tertulis dianggap ada jika: a. dari surat pihak tergugat atau kuasanya dapat diperkirakan telah terjadi peristiwa yang oleh pihak penggugat digunakan sebagai dasar gugatannya; dan/atau b. dari surat pihak penggugat atau kuasanya dapat diperkirakan telah terjadi peristiwa yang oleh pihak tergugat digunakan sebagai dasar bantahannya. (2) Bukti permulaan tertulis dapat dilengkapi dengan keterangan saksi. Penjelasan Pasal 116 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “telah terjadi peristiwa”, misalnya, telah terjadi jual beli, perjanjian, atau meninggal dunia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 117 Putusan perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan yang terdakwanya hadir atau tidak hadir dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang telah terbukti melakukan suatu perbuatan, memberikan bukti yang cukup tentang hal tersebut. Penjelasan Pasal 117 Cukup jelas. Bagian Keempat Kesaksian Pasal 118 (1) Keterangan saksi hanya berlaku sebagai bukti terhadap peristiwa yang saksi alami. (2) Dalam memberikan keterangan tentang peristiwa, seorang saksi harus menjelaskan sumber pengetahuannya, waktu terjadinya, dan menerangkan sejelas mungkin duduk peristiwanya. (3) Kesimpulan atau pendapat sebagai hasil pemikiran dari saksi sendiri tidak merupakan kesaksian. Penjelasan Pasal 118 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peristiwa yang saksi alami” adalah segala fakta, peristiwa, atau hal-hal yang dilihat, didengar, dirasa atau diraba sendiri oleh saksi. Apa yang bersangkutan dengar atau yang bersangkutan ketahui dari orang lain yang merupakan penyaksian dengan pendengaran (testimonium de auditu) yaitu keterangan yang yang bersangkutan dengar dari orang lain, tidaklah berharga sebagai kesaksian, melainkan hanya sebagai bahan menyusun persangkaan atau untuk melengkapi keterangan dari saksi yang dapat dipercayai oleh Hakim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 119 (1) Pihak yang berperkara dapat juga didengar sebagai saksi. (2) Keterangan pihak yang berperkara sebagai saksi tentang hal yang harus dibuktikan, tidak dapat menguntungkan pihak yang memberi keterangan, kecuali keterangan tersebut adalah untuk menambah kesaksian yang tidak sempurna. Penjelasan Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 (1) Setiap orang yang dipanggil secara sah sebagai saksi wajib memberikan kesaksian. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 32 (2) Tidak seorangpun boleh dipaksa hadir ke persidangan untuk memberikan kesaksiannya, jika yang bersangkutan bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan yang sedang memeriksa perkara. (3) Apabila seorang saksi berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan pengadilan, maka yang bersangkutan tidak boleh dihukum. (4) Apabila keterangan saksi tersebut diperlukan, maka untuk mendengarkan keterangannya, Pengadilan dapat melimpahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal saksi tersebut. (5) Pengadilan yang menerima pelimpahan tersebut sesudah mendengar keterangan saksi wajib menyampaikan berita acara pendengaran saksi tersebut kepada Pengadilan yang melimpahkannya. (6) Pelimpahan pendengaran saksi dapat dilakukan tanpa lebih dahulu memanggil saksi yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 120 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jika saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara, maka Pengadilan Negeri di alamat tempat tinggal saksi dapat diminta untuk memaksa saksi datang menghadap kepadanya untuk diadakan pemeriksaan Berita acara hasil pemeriksaan dikirimkan kepada Hakim semula yang memeriksa perkara tersebut untuk dibacakan dalam sidang berikutnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 121 Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: a. suami, istri, bekas suami atau bekas istri dari salah satu pihak, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas dan ke bawah serta ke samping sampai derajat ketiga; b. anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun; dan c. orang gila walaupun kadang-kadang dapat berfikir sehat. Penjelasan Pasal 121 Huruf a Ketentuan tidak boleh memberi kesaksian dimaksudkan untuk mencegah mereka memberikan keterangan palsu di persidangan, atau terpaksa memberikan keterangan yang tidak benar disebabkan hubungan keluarga yang dekat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 122 (1) Orang yang berhak mengundurkan diri sebagai saksi adalah mereka yang karena jabatan, profesi, atau pekerjaannya wajib untuk merahasiakan apa yang mereka ketahui karena dipercayakan kepada mereka dalam kedudukan tersebut. (2) Pengadilan mempertimbangkan benar atau tidaknya keterangan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bahwa yang bersangkutan diwajibkan menyimpan rahasia tersebut. Penjelasan Pasal 122 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 33 Pasal 123 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf a, tidak berlaku dalam persidangan mengenai perkara kedudukan perdata. Penjelasan Pasal 123 Yang dimaksud dengan “perkara kedudukan perdata” adalah perkara yang menyangkut kedudukan sipil (statuta personalia) dari pihak yang bersangkutan, antara lain perkara tentang kelahiran, asal usul keturunan, perkawinan, perceraian, dan kematian. Berdasarkan ketentuan ini maka bagi orang yang disebut dalam Pasal 121 huruf a dapat didengar sebagai saksi dalam persidangan mengenai perkara kedudukan perdata. Pasal 124 Dalam perkara perceraian, orang tua dan anak dari suami istri yang berperkara dapat didengar sebagai saksi. Penjelasan Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Seorang saksi dapat dibebaskan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya apabila hal tersebut dapat membahayakan dirinya, atau salah satu keluarganya, baik sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau garis samping sampai derajat ketiga, suami, istri, bekas suami atau bekas istri terhadap pemidanaan karena melakukan tindak pidana. Penjelasan Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 (1) Hakim dapat memerintahkan para pihak untuk hadir sendiri dalam persidangan untuk mendengarkan keterangan saksi. (2) Dalam hal para pihak yang diperintahkan tidak hadir, sidang tetap dilaksanakan. Penjelasan Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 (1) Penggugat yang berdasarkan putusan sela diperintahkan untuk membuktikan kebenaran dalilnya atau tergugat yang diperintahkan membuktikan kebenaran bantahannya dapat mengajukan saksi di persidangan. (2) Dalam hal saksi yang akan diajukan tidak bersedia atau karena alasan lain tidak dapat dihadapkan ke persidangan oleh pihak berperkara, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada Hakim agar saksi tersebut dipanggil menghadap ke persidangan. Penjelasan Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Dalam hal saksi yang telah dipanggil secara sah tidak hadir, yang bersangkutan dihukum untuk membayar biaya pemanggilan yang telah dikeluarkan dan hakim memberitahukan kepada panitera supaya saksi tersebut dipanggil lagi untuk kedua kalinya atas biaya saksi. Penjelasan Pasal 128 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 34 Pasal 129 (1) Dalam hal saksi tidak hadir setelah dipanggil untuk keduakalinya, yang bersangkutan dihukum untuk keduakalinya membayar biaya pemanggilan yang telah dikeluarkan, ditambah membayar kerugian yang telah diderita oleh pihak yang berperkara sebagai akibat tidak hadirnya saksi. (2) Hakim dapat meminta bantuan kepolisian untuk membawa saksi ke persidangan agar memenuhi kewajibannya. Penjelasan Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Dalam hal saksi tidak hadir dipersidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 dan Pasal 129 dan pada hari sidang kemudian dapat membuktikan bahwa ketidakhadirannya disebabkan alasan yang sah, hakim wajib membebaskannya dari semua hukuman yang telah dijatuhkan. Penjelasan Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 (1) Dalam hal saksi yang telah datang di persidangan menolak untuk didengar keterangannya, atas permintaan pihak yang berkepentingan, Hakim dapat memerintahkan agar saksi ditahan atas biaya dari pihak yang berkepentingan tersebut sampai saksi memenuhi kewajibannya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pihak yang akan didengar sebagai saksi adalah pihak yang berperkara. Penjelasan Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Dalam hal saksi tidak dapat hadir di persidangan karena sakit atau karena hal lain dengan alasan yang sah, Hakim dapat mendengar saksi tersebut di tempat saksi berada. Penjelasan Pasal 132 Saksi yang ”sedang sakit” dalam ketentuan ini dapat diminta memberikan keterangan di tempat yang bersangkutan berada apabila menurut keterangan dokter diperbolehkan untuk memberikan keterangan tersebut. Yang dimaksud dengan “karena hal lain dengan alasan yang sah”, antara lain, saksi dalam tahanan atau sedang menjalani hukuman. Pasal 133 (1) Saksi yang datang pada hari sidang yang telah ditentukan, dipanggil satu persatu masuk ke persidangan untuk didengar keterangannya. (2) Hakim menanyakan kepada saksi mengenai: a. nama lengkap; b. jenis kelamin; c. agama; d. pekerjaan; e. umur, f. alamat tempat tinggal atau tempat kediamannya; g. status hubungan keluarga dengan para pihak yang berperkara; dan h. hubungan pekerjaan antara saksi dengan para pihak yang berperkara. Penjelasan Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Dalam hal permohonan pengunduran diri sebagai saksi tidak diajukan atau permohonan diajukan tetapi ditolak oleh hakim, saksi sebelum memberikan keterangan harus mengangkat sumpah menurut agamanya atau mengucapkan janji. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 35 Penjelasan Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 (1) Hakim mendengar setiap saksi tanpa hadirnya saksi lainnya yang belum didengar kecuali saksi tersebut merupakan pihak. (2) Pertanyaan dari pihak berperkara kepada saksi diajukan melalui hakim atau secara langsung setelah mendapat izin Hakim yang memimpin persidangan. (3) Pertanyaan yang menurut Hakim bersifat menjerat, mengarahkan, atau tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, tidak dapat diajukan kepada saksi. (4) Hakim karena jabatan dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi yang berguna untuk kejelasan perkara. Penjelasan Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pertanyaan yang bersifat menjerat dan mengarahkan” adalah, antara lain, pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga saksi cukup disuruh menjawab “ya” atau “tidak” saja. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 136 (1) Dalam hal saksi tidak mengerti bahasa Indonesia, Hakim akan menunjuk seseorang yang bertindak sebagai penerjemah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2). (2) Ketentuan dalam Pasal 70 ayat (3) dan ayat (4) berlaku mutatis mutandis bagi penterjemah sebagimana dimasud pada ayat (1). Penjelasan Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 (1) Dalam hal saksi bisu tuli dan tidak dapat baca tulis, Hakim dapat menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai perantara. (2) Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sudah berumur 15 (lima belas) tahun dan sehat dan harus disumpah terlebih dahulu. (3) Dalam hal seorang saksi buta dan bisu tetapi dapat baca tulis, pemeriksaan dilakukan secara tertulis dengan perantara seorang ahli tulisan Braille yang harus disumpah lebih dahulu. Penjelasan Pasal 137 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “perantara” adalah penerjemah keterangan mengenai kesaksian dari saksi yang bisu tuli dan tidak dapat baca tulis. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sehat” adalah sehat secara jasmani dan rohani. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 138 Dalam hal beberapa orang saksi masing-masing memberikan keterangan tentang peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi keterangan tersebut dapat saling berhubungan sedemikian rupa sehingga dapat disimpulkan mengenai terjadinya suatu peristiwa, peristiwa tersebut dianggap terbukti. Penjelasan Pasal 138 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 36 Pasal 139 Dalam menilai kesaksian, Hakim harus memperhatikan: a. alasan saksi untuk memberikan keterangan; b. perikehidupan, kedudukan, dan martabat saksi dalam masyarakat dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangannya; c. persesuaian antara kesaksian yang satu dengan lainnya; dan d. persesuaian kesaksian dengan suatu alat bukti lainnya yang diajukan dalam perkara tersebut. Penjelasan Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Keterangan seorang saksi dengan tidak ada alat bukti lain, tidak merupakan alat bukti. Penjelasan Pasal 140 Cukup jelas. Bagian Kelima Persangkaan Pasal 141 Persangkaan merupakan kesimpulan berdasarkan Undang-Undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari kejadian yang telah nyata atau terbukti kebenarannya untuk menentukan adanya kejadian lain yang belum terbukti. Penjelasan Pasal 141 Yang dimaksud dengan “persangkaan berdasarkan Undang-Undang” adalah kesimpulan berdasarkan Undang-Undang dan kejadian yang nyata atau telah terbukti kebenarannya untuk menentukan suatu kejadian lain yang belum terbukti, misalnya dengan telah adanya 3 (tiga) kuitansi terakhir, maka dianggap pembayaran sebelumnya sudah dilunasi. Yang dimaksud dengan ”persangkaan hakim” adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan kejadian yang nyata atau telah terbukti kebenarannya untuk menentukan suatu kejadian lain yang belum terbukti, misalnya seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan suami isteri telah terbukti kebenarannya menginap dalam satu kamar satu tempat tidur maka mereka dianggap telah melakukan perzinahan. Pasal 142 Persangkaan berdasarkan Undang-Undang membebaskan mereka yang mendapatkan manfaat dari padanya dari pembuktian lebih lanjut. Penjelasan Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 (1) Penilaian kekuatan pembuktian dari persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang, diserahkan kepada pertimbangan hakim. (2) Pertimbangan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan keadaan yang jelas dan penting serta mempunyai hubungan langsung dengan pokok sengketa dalam perkara yang sedang diperiksa. Penjelasan Pasal 143 Ketentuan ini untuk menjaga kebebasan hakim agar tetap obyektif dalam melakukan penilaian suatu persangkaan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 37 Bagian Keenam Sumpah Pasal 144 (1) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan sumpah pelengkap kepada pihak yang dianggap kedudukannya lebih kuat untuk menggantungkan putusan perkara pada penyumpahan tersebut. (2) Hakim memerintahkan sumpah pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika bukti yang diajukan penggugat dan tergugat belum cukup untuk menolak atau mengabulkan gugatan. Penjelasan Pasal 144 Ayat (1) Dalam hal yang bersangkutan menurut agama dan keyakinanya tidak boleh bersumpah maka yang bersangkutan mengucapkan janji. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 145 (1) Hakim tidak dapat memerintahkan penggugat melakukan sumpah pelengkap untuk menetapkan besarnya ganti kerugian atau harga barang yang dituntut, kecuali tidak ada cara lain untuk menetapkan besarnya ganti kerugian atau harga barang yang dituntut. (2) Sumpah pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Demi Tuhan, saya bersumpah bahwa jumlah kerugian yang saya derita atau harga barang yang saya tuntut tidak lebih dari Rp …(…).” Penjelasan Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Sumpah pelengkap yang oleh Hakim diperintahkan kepada salah satu pihak yang berperkara, tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawannya. Penjelasan Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Sumpah pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 harus diucapkan oleh pihak yang dibebani sumpah sendiri, kecuali jika menurut pertimbangan hakim karena alasan yang sangat penting, pihak yang bersangkutan diperkenankan untuk mewakilkan pengucapan sumpah tersebut kepada orang yang mendapat kuasa secara khusus untuk itu dengan suatu akta otentik yang mencantumkan lafal sumpah yang akan diucapkan. Penjelasan Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 (1) Setiap sumpah harus diucapkan dalam persidangan baik dihadiri maupun tidak dihadiri oleh pihak lawan, sepanjang pihak lawan tersebut telah dipanggil secara sah untuk hadir pada waktu persidangan pengucapan sumpah. (2) Dalam hal pihak yang harus mengucapkan sumpah tidak dapat hadir di persidangan karena alasan yang sah, ketua majelis dapat menunjuk seorang anggota majelis yang dibantu oleh panitera pengganti yang harus membuat berita acara pengambilan sumpah datang ke tempat pihak yang bersangkutan berada, untuk mengambil sumpahnya. (3) Dalam hal ada alasan yang dapat dibenarkan, atas permintaan pihak yang berperkara, Hakim dapat memberi izin agar sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan di tempat ibadah sesuai dengan agamanya. Penjelasan Pasal 148 Ayat (1) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 38 Ayat (2) Dalam hal perkara diperiksa oleh hakim tunggal, maka hakim tersebut dibantu oleh panitera persidangan mendatangi pihak yang bersangkutan untuk mengambil sumpahnya. Ayat (3) Cukup jelas. Bagian Ketujuh Pemeriksaan Setempat dan Keterangan Ahli Pasal 149 (1) Dalam hal Hakim memandang perlu mengadakan pemeriksaan setempat supaya duduk perkara menjadi lebih jelas, ketua majelis dapat menunjuk satu atau dua orang anggota majelis dengan dibantu oleh panitera pengganti untuk melakukan pemeriksaan setempat tersebut. (2) Hasil pemeriksaan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan panitera yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 149 Ayat (1) Dalam hal perkara diperiksa oleh hakim tunggal, maka Hakim yang bersangkutan dengan dibantu oleh panitera persidangan melakukan pemeriksaan setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 150 (1) Hakim atas permintaan pihak berperkara atau karena jabatannya dapat mendengar keterangan atau pendapat seorang ahli atau lebih dalam bidang keahliannya. (2) Keterangan atau pendapat ahli yang telah diangkat dan diambil sumpahnya disampaikan secara lisan atau tertulis di persidangan. (3) Seseorang yang tidak dapat didengar sebagai saksi dalam perkara tersebut tidak dapat didengar keterangan atau pendapatnya sebagai ahli. (4) Penilaian kekuatan bukti keterangan ahli diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Penjelasan Pasal 150 Cukup jelas. BAB IX PUTUSAN Pasal 151 (1) Hakim dapat menjatuhkan putusan sela untuk mempersiapkan putusan akhir. (2) Putusan sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah putusan tentang: a. eksepsi mengenai kewenangan untuk mengadili; b. provisi; dan c. pembebanan pembuktian. Penjelasan Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 (1) Setelah duplik, Hakim memberikan putusan sela tentang beban pembuktian kecuali perkara tersebut sudah siap untuk diberikan putusan akhir. (2) Putusan sela tentang beban pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya memuat: a. dalil yang harus dibuktikan; b. pihak yang harus membuktikan; dan c. tempat dan waktu sidang pembuktian. (3) Pihak lawan dapat mengajukan bukti perlawanan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 39 Penjelasan Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 (1) Segera setelah hakim berkesimpulan bahwa pemeriksaan telah cukup dan pihak yang berperkara menyatakan tidak akan mengajukan sesuatu lagi, Hakim menunda sidangnya sampai pada hari dan tanggal tertentu untuk menjatuhkan putusan. (2) Hakim bermusyawarah untuk mengambil putusan dan karena jabatannya wajib melengkapi dasar hukum yang dipandang perlu tetapi belum diajukan oleh pihak berperkara. (3) Dalam hal musyawarah tidak terdapat kesatuan pendapat, putusan diambil dengan suara terbanyak dengan mencantumkan pendapat hakim yang berbeda dalam pertimbangan putusan. (4) Dalam hal anggota majelis masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, maka pendapat ketua majelis yang menentukan putusan. (5) Hakim wajib memberi putusan terhadap tiap-tiap tuntutan penggugat. (6) Hakim dilarang memberi putusan tentang hal yang tidak dituntut atau memberi putusan melebihi tuntutan penggugat. Penjelasan Pasal 153 Ayat (1) Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan para pihak mengajukan kesimpulan sebelum Hakim menutup persidangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 154 (1) Sesudah dibuat putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153, putusan diucapkan oleh Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. (2) Dalam hal pihak berperkara atau salah satu dari mereka tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah Hakim isi putusan harus diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh juru sita yang ditunjuk. (3) Panitera pengadilan mencatat di bawah putusan tersebut nama juru sita atau juru sita pengganti yang diperintahkan menjalankan pekerjaan. Penjelasan Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 (1) Putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Putusan pengadilan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal karena hukum. Penjelasan Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 (1) Setiap putusan pengadilan memuat: a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. nama, pekerjaan, dan alamat masing-masing pihak yang berperkara; http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 40 c. gugatan dan jawaban masing-masing pihak yang berperkara dan hal yang terjadi dalam persidangan selama perkara diperiksa; d. pertimbangan dan penilaian alat bukti yang diajukan; e. alasan hukum yang digunakan oleh Hakim sebagai dasar putusan perkara; f. pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; g. pendapat Hakim yang berbeda; h. pertimbangan bahwa biaya perkara dibebankan kepada pihak yang dikalahkan; i. amar putusan secara lengkap; dan j. catatan mengenai hadir tidaknya pihak yang berperkara pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan. (2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua majelis, anggota majelis, dan panitera yang bersidang. (3) Dalam hal ketua majelis tidak dapat menandatangani putusan, yang menandatangani adalah anggota yang pangkatnya paling tinggi. (4) Dalam hal ketua majelis maupun anggota majelis tidak dapat menandatangani putusan, yang menandatangani adalah ketua Pengadilan. (5) Dalam hal panitera yang bersidang tidak dapat menandatangani putusan, hal tersebut cukup disebutkan dalam berita acara sidang. (6) Tidak dipenuhinya ketentuan pada ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g mengakibatkan putusan batal karena hukum. Penjelasan Pasal 156 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal perkara diperiksa oleh hakim tunggal, maka putusan pengadilan harus ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera persidangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “anggota yang pangkatnya paling tinggi” adalah anggota hakim yang mempunyai pangkat golongan/ruang paling tinggi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 157 (1) Asli putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) harus disimpan di bagian arsip pengadilan dan tidak boleh dipindahkan kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan Undang-Undang. (2) Salinan putusan pengadilan dapat diberikan kepada pihak yang berperkara. (3) Salinan atau petikan putusan pengadilan tidak boleh diberikan kepada orang yang bukan pihak yang berperkara, kecuali kepada yang berkepentingan atas izin ketua pengadilan. Penjelasan Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “berkepentingan”, antara lain, untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pasal 158 Putusan sela sebagaimana dimaksud pada Pasal 151 ayat (2) tidak dibuat secara terpisah tetapi merupakan bagian dari berita acara sidang. Penjelasan Pasal 158 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 41 Pasal 159 Hakim dapat menyatakan bahwa putusan dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan perlawanan, banding, atau kasasi jika: a. putusan tersebut berdasarkan suatu akta otentik atau akta di bawah tangan yang menurut peraturan perundang-undangan, mempunyai kekuatan bukti sempurna; b. putusan tersebut didasarkan pada putusan pengadilan terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap; atau c. telah dikabulkan tuntutan provisi atau juga dalam sengketa penguasaan hak. Penjelasan Pasal 159 Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap isi suatu putusan pengadilan, agar pihak yang dimenangkan perkaranya tidak dirugikan oleh pihak lawan dengan cara mengulur-ngulur waktu. Pasal 160 (1) Pihak yang dikalahkan, dihukum membayar biaya perkara. (2) Biaya perkara dalam putusan verstek harus dibebankan kepada pihak yang dikalahkan, meskipun kemudian dimenangkan dalam perkara perlawanan atau perkara banding terhadap putusan tersebut. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila dari pemeriksaan perkara perlawanan atau banding ternyata tidak mendapat panggilan secara sah untuk hadir pada hari sidang pertama dari pokok perkara tersebut. (4) Biaya perkara dalam putusan pengadilan yang bukan merupakan putusan akhir, akan diperhitungkan dalam putusan akhir perkara yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 (1) Biaya perkara yang oleh Hakim dibebankan kepada pihak yang dikalahkan meliputi biaya: a. kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut; b. pemanggilan saksi, ahli, dan juru bahasa yang diperlukan dalam perkara termasuk biaya penyumpahannya; c. yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan pengadilan lainnya yang diperlukan dalam perkara tersebut; d. biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 112 dan Pasal 113; dan e. petugas yang ditugaskan untuk melakukan pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain perintah pengadilan berkenaan dengan perkara. (2) Jumlah saksi yang biayanya dibebankan pada pihak yang dikalahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibatasi paling banyak 5 (lima) orang untuk setiap peristiwa. Penjelasan Pasal 161 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “biaya kepaniteraan” adalah biaya administrasi kepaniteraan yang diperlukan dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “biaya tindakan pengadilan lainnya” antara lain biaya delegasi, biaya pemeriksaan surat di labratorium kriminal Polri. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 42 Pasal 162 (1) Jumlah biaya perkara yang dibebankan kepada pihak yang dikalahkan harus dimuat dalam amar putusan. (2) Perincian dari jumlah biaya perkara sebagaimana dimaksud Pasal 161 ayat (1) dimuat dalam putusan yang dicantumkan di bawah tanda tangan majelis hakim dan panitera. Penjelasan Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Biaya bagi advokat tidak boleh dibebankan dalam biaya perkara tetapi menjadi tanggungan pihak yang menggunakan jasa advokad tersebut. Penjelasan Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 (1) Panitera persidangan membuat berita acara yang memuat segala sesuatu tentang jalannya persidangan dari perkara yang diperiksa, diadili, dan diputus. (2) Berita acara persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera pengganti yang bersidang. (3) Berita acara tentang pemeriksaan saksi harus juga ditandatangani oleh saksi yang bersangkutan. (4) Dalam hal ketua sidang berhalangan, berita acara ditandatangani salah seorang hakim anggota majelis dan Panitera yang bersidang. (5) Dalam hal perkara diperiksa oleh Hakim tunggal dan berhalangan, berita acara cukup ditandatangani oleh Panitera dan dilampirkan surat keterangan dari Ketua Pengadilan. (6) Dalam hal Panitera berhalangan, berita acara cukup ditandatangani oleh ketua sidang dengan mencantumkan alasannya. (7) Dalam hal ketua sidang dan Panitera berhalangan, berita acara cukup dilampirkan surat keterangan dari ketua pengadilan bahwa ketua sidang dan Panitera berhalangan untuk menandatangani berita acara. Penjelasan Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Dalam hal terjadi penggantian ketua sidang selama pemeriksan berjalan, maka sebelum pemeriksaan dimulai, semua berita acara persidangan yang terdahulu harus lebih dahulu dibacakan oleh ketua sidang yang baru dalam sidang, dan kepada pihak yang berperkara ditanyakan pendapatnya mengenai isi berita acara tersebut. Penjelasan Pasal 165 Penggantian ketua sidang karena sesuatu hal di tengah-tengah pemeriksaan suatu perkara dapat terjadi dalam persidangan. Dalam hal demikian ketua sidang digantikan oleh yang lain. Jika terjadi pergantian ketua sidang, agar pemeriksaan tersebut tidak terputus dan merupakan satu pemeriksaan berkesinambungan, maka sebelum sidang dimulai isi berita acara persidangan harus dibacakan terlebih dahulu oleh ketua sidang yang baru. BAB X UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN Bagian Kesatu Pemeriksaan Banding Pasal 166 (1) Permohonan banding hanya dapat diajukan oleh pihak berperkara atau ahli warisnya yang mendapat kuasa khusus untuk itu. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 43 (2) Apabila selama proses banding pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Penjelasan Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Berkas Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan yang bukan merupakan putusan akhir harus dikirim bersama-sama dengan berkas perkara banding terhadap putusan akhir ke Pengadilan Tinggi. Penjelasan Pasal 167 Putusan dan penetapan Pengadilan Negeri yang bertujuan mengatur jalannya pemeriksaan atau membagi beban pembuktian dapat dimohonkan banding, tetapi berkas perkara banding tersebut harus dikirim bersama-sama dengan berkas putusan akhir dalam perkara tersebut, karena pada dasarnya merupakan satu perkara secara keseluruhan. Pasal 168 (1) Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan oleh para pihak atau ahli warisnya atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus untuk itu, kepada panitera Pengadilan, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan putusan tersebut. (2) Dalam hal pemohon banding tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka tenggang waktu 14 (empat belas) hari dihitung setelah tanggal pemberitahuan putusan oleh juru sita kepada yang bersangkutan. (3) Permohonan banding yang diajukan, diterima oleh panitera setelah yang bersangkutan membayar lunas uang muka biaya perkara banding dan dicatat serta diberi tanggal masuknya permohonan banding. (4) Apabila selama proses banding pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Penjelasan Pasal 168 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penghitungan tenggang waktu dalam hal para pihak tidak hadir dalam sidang pada waktu putusan diucapkan, dimulai pada hari berikut setelah pemberitahuan putusan tersebut disampaikan kepadanya. Ayat (3) Besarnya uang muka biaya perkara banding ditentukan oleh masing-masing Ketua Pengadilan Tinggi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 169 (1) Pengadilan harus memberikan kesempatan kepada pemohon banding untuk mempelajari berkas perkara paling lama 14 (empat belas) hari setelah permohonan banding didaftar. (2) Pemohon banding harus sudah mengajukan memori banding kepada panitera Pengadilan yang bersangkutan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah pemohon banding mempelajari berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Juru sita wajib menyampaikan salinan memori banding kepada pihak lawan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah memori banding diberi tanggal penerimaan dan dicatat dalam daftar permohonan banding. (4) Pihak terbanding dapat mengajukan kontra memori banding secara tertulis kepada panitera Pengadilan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah menerima salinan memori banding. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 44 (5) Setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir: a. jika terdapat memori banding baik disertai maupun tidak disertai kontra memori banding, maka panitera Pengadilan harus mengirimkan berkas perkara beserta biaya perkaranya kepada Pengadilan Tinggi yang berwenang dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari; b. jika tidak terdapat memori banding, panitera Pengadilan tetap meneruskan permohonan banding tersebut ke Pengadilan Tinggi disertai biaya perkara dan catatan tidak diajukan memori banding dan Pengadilan Tinggi tetap harus memeriksa ulang perkara yang dimohonkan banding. Penjelasan Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 (1) Selama perkara belum diputus Pengadilan Tinggi, pihak pemohon banding atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus dapat mencabut kembali permohonan banding tersebut. (2) Apabila permohonan banding telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan banding dalam perkara yang sama meskipun tenggang waktu banding belum lampau. (3) Dalam hal pencabutan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, berkas perkara tersebut tidak diteruskan kepada Pengadilan Tinggi. (4) Panitera mencatat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam buku daftar banding dan pada putusan perkara yang dimohonkan banding. (5) Surat permohonan pencabutan banding harus dikirim kepada Pengadilan Tinggi dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari terhitung setelah pencabutan permohonan banding didaftar di Pengadilan. Penjelasan Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 (1) Permohonan pencabutan permohonan banding disampaikan kepada panitera Pengadilan yang memutus perkara tersebut. (2) Panitera meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah surat permohonan pencabutan kembali diterima. (3) Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meneliti kebenaran permohonan tersebut dan membuat penetapan yang menyatakan bahwa pemohon banding telah mencabut kembali permohonan bandingnya. (4) Dalam hal berkas perkara telah dikirim ke Pengadilan Tinggi, pencabutan permohonan banding tersebut dapat langsung diajukan kepada panitera Pengadilan Tinggi atau melalui Pengadilan. (5) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mengirimkan pencabutan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah permohonan pencabutan didaftar. Penjelasan Pasal 171 Ayat (1) Pencabutan permohonan banding tidak perlu mendapat persetujuan pihak lawan. Ayat (2) Pemberian waktu paling lambat 7 (tujuh) hari adalah dalam rangka lebih mempercepat proses perkara tersebut. Sedangkan pengiriman surat pencabutan kepada Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk karena Pengadilan Negeri yang mengadili perkara masih terkait sampai perkara tersebut sudah selesai. Ayat (3) Surat pencabutan permohonan banding tersebut harus resmi dan permohonan tersebut harus dibuat surat penetapannya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang ditunjuk untuk itu. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 45 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 172 Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan oleh majelis hakim yang jumlahnya paling sedikit 3 (tiga) orang hakim. Penjelasan Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 (1) Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan perkara di tingkat banding wajib memperhatikan dan mempertimbangkan segala sesuatu yang dikemukakan oleh pihak yang berperkara. (2) Pengadilan Tinggi memeriksa berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu mendengar sendiri para pihak atau saksi dan dapat mengadakan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi sendiri atau dapat memerintahkan kepada Pengadilan yang memutus perkara tersebut di tingkat pertama untuk melaksanakannya. (3) Dalam hal Pengadilan Tinggi melakukan pemeriksaan tambahan sendiri, baginya berlaku ketentuan seperti yang berlaku bagi Pengadilan dalam memeriksa suatu perkara. Penjelasan Pasal 173 Cukup jelas Pasal 174 (1) Putusan Pengadilan Tinggi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Panitera Pengadilan Tinggi paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah putusan diucapkan harus mengirim salinan putusan beserta berkas perkara dan sisa biaya perkara kepada Pengadilan yang bersangkutan. (3) Pengadilan wajib memberitahukan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pihak yang berperkara paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal putusan tersebut diterima. Penjelasan Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 (1) Pihak yang dikalahkan dihukum membayar biaya perkara. (2) Biaya perkara banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi. Penjelasan Pasal 175 Ayat (1) Biaya perkara yang diputus dalam pemeriksaan banding meliputi pula biaya perkara pada tingkat pertama. Ayat (2) Cukup jelas. Bagian Kedua Pemeriksaan Kasasi Pasal 176 (1) Permohonan kasasi hanya dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. (2) Permohonan kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Penjelasan Pasal 176 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 46 Pasal 177 (1) Permohonan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak berperkara atau ahli warisnya dengan menggunakan Advokat yang mendapat kuasa khusus untuk itu. (2) Apabila selama proses kasasi pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Penjelasan Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 (1) Permohonan kasasi kerena kepentingan hukum terhadap putusan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya. (2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. (3) Putusan kasasi karena kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara. (4) Biaya kasasi karena kepentingan hukum dibebankan kepada negara. Penjelasan Pasal 178 Ayat (1) Permohonan kasasi karena kepentingan hukum diajukan sebagaimana permohonan kasasi biasa yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat banding. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “tidak boleh merugikan pihak yang berperkara” ialah tidak menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk para pihak. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 179 (1) Permohonan kasasi diajukan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkaranya dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan tersebut diberitahukan kepada pemohon. (2) Dalam hal tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh Advokat pihak yang berperkara, pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. (3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada hari tersebut juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. (4) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan di Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan tersebut kepada pihak lawan. (5) Biaya perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 (1) Dalam mengajukan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan kasasi, dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (1). (2) Panitera dari Pengadilan yang memutuskan perkara di Tingkat Pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 47 (3) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah diterimanya salinan memori kasasi tersebut. Penjelasan Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 (1) Setelah menerima memori kasasi dan kontra memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180, Panitera pada Pengadilan yang memutus perkara di Tingkat Pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. (2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal, bulan, dan tahun penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Ketua Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 181 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari” dihitung setelah kontra memori kasasi yang terakhir diterima. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 182 (1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. (2) Apabila permohonan kasasi telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara yang sama meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau. (3) Dalam hal pencabutan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, berkas perkara tersebut tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung. (4) Panitera mencatat pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam buku daftar kasasi dan pada putusan perkara yang dimohonkan kasasi. (5) Surat permohonan pencabutan kasasi harus dikirim kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari terhitung setelah pencabutan permohonan kasasi didaftar di Pengadilan. Penjelasan Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 (1) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. (2) Dalam hal Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi pengadilan tingkat pertama. Penjelasan Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 (1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi karena pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus. (2) Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi, dalam hal mengabulkan permohonan kasasi karena : a. pengadilan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; atau http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 48 b. pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 (1) Salinan putusan Mahkamah Agung dikirim kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah putusan diucapkan. (2) Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. Penjelasan Pasal 185 Cukup jelas. Bagian Ketiga Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan Mengadili Pasal 186 (1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili: a. antara pengadilan di lingkungan peradilan yang 1 (satu) dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain; b. antara 2 (dua) pengadilan yang berbeda dalam 1 (satu) lingkungan peradilan yang sama; c. antara 2 (dua) Pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama; dan d. antara 2 (dua) pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan. (2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 186 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”2 (dua) pengadilan yang berbeda dalam 1 (satu) lingkungan peradilan yang sama” misalnya, pengadilan niaga dan pengadilan hubungan industrial yang sama-sama berada di bawah lingkungan Pengadilan Negeri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kapal” adalah kapal laut dan pesawat terbang. Pasal 187 (1) Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili, diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh: a. pihak yang berperkara; atau b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 49 (2) Panitera Mahkamah Agung atas perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan salinan perkara sengketa tentang kewenangan mengadili kepada pihak lawan yang berperkara dengan pemberitahuan bahwa pihak lawan yang berperkara dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan jawaban tertulis kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasannya. (3) Salinan Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada para pihak melalui Ketua Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal para pihak yang berperkara. Penjelasan Pasal 187 Cukup jelas. Bagian Keempat Pemeriksaan Peninjauan Kembali Pasal 188 (1) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. (3) Sebelum permohonan peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. (4) Apabila permohonan peninjauan kembali telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara yang sama meskipun tenggang waktu peninjauan kembali belum lampau. (5) Dalam hal pencabutan kembali dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, berkas perkara tersebut tidak diteruskan kepada Mahkamah Agung. (6) Panitera mencatat pencabutan permohonan peninjauan kembali dalam buku daftar peninjauan kembali dan pada putusan perkara yang dimohonkan peninjauan kembali. (7) Surat permohonan pencabutan peninjauan kembali harus dikirim kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari terhitung setelah pencabutan permohonan peninjauan kembali didaftar di Pengadilan. Penjelasan Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya berdasarkan alasan dalam hal: a. putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan, yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. setelah perkara diputus, ditemukan surat bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa ditingkat pertama tidak dapat ditemukan; c. telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; d. mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabnya; e. antara pihak yang sama atau ahli waris mereka, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau f. apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Penjelasan Pasal 189 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “surat bukti baru yang bersifat menentukan” adalah surat bukti yang telah ada pada waktu perkara diperiksa di pengadilan tingkat pertama tetapi pada waktu itu tidak atau belum dapat diketemukan, dan apabila surat bukti tersebut diajukan pada pengadilan tingkat pertama, putusan pengadilan tersebut akan berbeda. Surat bukti yang dibuat setelah dijatuhkan putusan pada pengadilan tingkat pertama tidak termasuk pengertian “bukti baru yang bersifat menentukan” dalam Pasal ini. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 50 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 190 (1) Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya dengan menggunakan Advokat yang mendapat kuasa khusus untuk itu. (2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Penjelasan Pasal 190 Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh seorang kuasa, disertai dengan Surat Kuasa Khusus yang menyatakan bahwa ia dikuasakan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Apabila tidak ada Surat Kuasa Khusus ini, maka Peninjauan Kembali tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 191 (1) Permohonan Peninjauan Kembali yang berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf a, diajukan dalam waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung setelah diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau setelah putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. (2) Permohonan Peninjauan Kembali yang berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf b, diajukan dalam waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung setelah ditemukan surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya wajib dinyatakan di bawah sumpah di depan Hakim Pengadilan. (3) Permohonan Peninjauan Kembali yang berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf c, d, dan f, diajukan dalam waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. (4) Permohonan Peninjauan Kembali yang berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf e, diajukan dalam waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung setelah putusan yang terakhir dan bertentangan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Penjelasan Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 192 (1) Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara. (2) Biaya perkara peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 (1) Permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas alasan yang dijadikan dasar permohonan tersebut. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 51 Penjelasan Pasal 193 Cukup jelas. Pasal 194 (1) Setelah Ketua Pengadilan yang memutus perkara di Tingkat Pertama menerima permohonan Peninjauan Kembali, Panitera wajib mengirim salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari, dengan maksud: a. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf a atau huruf b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya; b. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 huruf c sampai dengan huruf e agar dapat diketahui. (2) Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pihak lawan dapat mengajukan jawaban. (3) Surat jawaban yang telah dibubuhi cap, hari, tanggal, bulan, dan tahun diterimanya jawaban tersebut dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan salinannya disampaikan kepada pihak pemohon. (4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal diterimanya surat jawaban oleh Panitera. (5) Dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara pemohon dan/atau termohon maupun pihak lain dengan Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 194 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Apabila permohonan peninjauan kembali tersebut masih kurang lengkap atau tidak jelas hal tersebut tidak dapat dilengkapi atau dijelaskan lebih lanjut dengan surat menyurat atau dengan cara apapun kepada Mahkamah Agung. Pasal 195 (1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan yang memeriksa perkara di Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 (1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutus sendiri perkaranya. (2) Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan. (3) Mahkamah Agung menyatakan tidak dapat menerima permohonan Peninjauan Kembali, apabila permohonan tersebut diajukan melewati waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 52 (4) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) disertai pertimbangannya. Penjelasan Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 (1) Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan Peninjauan Kembali kepada Pengadilan yang memutus perkara di Tingkat Pertama. (2) Panitera Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan salinan putusan tersebut kepada pemohon serta memberitahukan putusan tersebut kepada pihak lawan dengan memberikan salinannya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal penerimaan putusan permohonan peninjauan kembali tersebut. Penjelasan Pasal 197 Cukup jelas. BAB XI PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN Bagian Kesatu Pelaksanaan putusan Pasal 198 (1) Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan putusan serta merta, dapat dilaksanakan jika pihak yang kalah tidak dengan sukarela memenuhi isi putusan dan pihak yang menang mengajukan permohonan pelaksanaan putusan tersebut. (2) Putusan Pengadilan luar negeri tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali putusan tersebut dijatuhkan di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan luar negeri. Penjelasan Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 (1) Pelaksanaan putusan dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan yang menjatuhkan putusan di tingkat pertama. (2) Pelaksanaan putusan dilakukan setelah pemohon membayar biaya pelaksanaan putusan, yang besarnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dan permohonan pelaksanaan putusan telah dicatat di register Pengadilan. Penjelasan Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 (1) Dalam hal pelaksanaan putusan sebagian atau seluruhnya harus dilaksanakan dalam daerah hukum Pengadilan yang lain, maka Ketua Pengadilan meminta dengan surat kepada Ketua Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat putusan tersebut harus dilaksanakan untuk melaksanakannya. (2) Ketua Pengadilan yang diminta bantuannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan laporan secara tertulis dengan cermat segala sesuatu yang terjadi dan perkembangannya mengenai pelaksanaan putusan tersebut kepada Ketua Pengadilan yang telah minta bantuannya, dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung setelah tanggal diterimanya permohonan tersebut. Penjelasan Pasal 200 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 53 Pasal 201 Ketua Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung setelah pemohon membayar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2) mengeluarkan surat panggilan agar pihak yang kalah menghadap kepadanya pada hari yang telah ditetapkan untuk diberikan peringatan agar pihak yang kalah melaksanakan isi putusan dengan sukarela dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah teguran diberikan. Penjelasan Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 (1) Dalam hal pihak yang kalah setelah dipanggil dengan patut untuk ditegur tidak datang dan tidak mengirim kuasanya serta tidak melaksanakan putusan pengadilan dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah panggilan, Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang, dengan surat penetapan, memerintahkan juru sita untuk menyita barang milik pihak yang kalah yang hasil penjualannya dipergunakan untuk memenuhi isi putusan dan biaya pelaksanaan putusan. (2) Dalam hal pihak yang kalah atau kuasanya datang memenuhi panggilan tetapi dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari tidak melaksanakan putusan pengadilan, Ketua Pengadilan memerintahkan juru sita untuk menyita barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Sita Eksekusi dilakukan oleh juru sita yang telah ditunjuk untuk itu. (4) Penyitaan dilakukan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dari Pengadilan dan lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis atau seorang pegawai kelurahan atau pemerintahan desa dari tempat penyitaan dilakukan serta dapat dihadiri oleh pihak tersita sendiri atau seorang anggota keluarganya. (5) Sita Eksekusi atas benda milik pihak yang kalah yang dikuasai pihak ketiga dilakukan oleh jurusita dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak ketiga tersebut dalam jangka waktu tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari sebelum dilakukan penyitaan. (6) Pada pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilampirkan salinan penetapan atau alas hak lainnya yang menjadi dasar dilakukan penyitaan. (7) Juru sita wajib membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh juru sita, para saksi, dan tersita apabila hadir. (8) Dalam hal telah dilakukan sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga, penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan. (9) Barang atau hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita sehubungan dengan pekerjaannya, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh tersita dan keluarganya, bahan makanan untuk 10 (sepuluh) hari bagi tersita dan keluarganya, tidak dapat disita. Penjelasan Pasal 202 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam hal tersita menolak menandatangi berita acara penyitaan, berita acara tersebut ditandatangani oleh pegawai kelurahan. Ayat (8) Apabila sebelumnya dalam perkara tersebut diletakkan Sita jaminan yang dinyatakan sah dan berharga maka sita jaminan tersebut karena hukum menjadi sita eksekusi. Ayat (9) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 54 Pasal 203 (1) Dalam hal juru sita akan melakukan penyitaan terhadap barang bergerak dan ternyata barang bergerak tersebut telah disita, juru sita dilarang melakukan penyitaan ulang terhadap barang bergerak tersebut tetapi berwenang mencocokkan barang bergerak yang telah disita dengan berita acara penyitaan yang harus ditunjukkan oleh penyimpan. (2) Dalam hal masih terdapat barang bergerak yang belum disita, juru sita berwenang menyita barang bergerak yang belum tercantum dalam berita acara penyitaan. (3) Ketua Pengadilan dapat membuat penetapan untuk menjual lelang secara bersama-sama barang bergerak yang telah disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan barang bergerak yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Hasil menjual lelang digunakan untuk memenuhi putusan 2 (dua) perkara yang menjadi dasar telah dilakukannya penyitaan, dengan ketentuan pembagian hasil menjual lelang tersebut dilaksanakan berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penjelasan Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 (1) Barang bergerak yang disita tetap dikuasai dan dapat dipergunakan oleh tersita sampai eksekusi dilaksanakan. (2) Juru sita harus memberitahukan kepada tersita tentang kewajibannya untuk merawat barang bergerak yang disita dan tidak boleh mengalihkan, menyewakan, atau menjaminkan barang yang disita tersebut. Penjelasan Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 (1) Penyitaan atas tanah harus dilakukan di tempat tanah tersebut terletak dengan mencocokkan batas-batasnya. (2) Juru sita yang melakukan penyitaan harus mendaftarkan penyitaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disertai salinan berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, kepada: a. pejabat yang berwenang melakukan pendaftaran tanah yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat tanah yang telah terdaftar terletak; b. lurah, kepala desa, atau nama lain yang sejenis yang daerah hukumnya meliputi tempat tanah yang belum terdaftar; dan c. Pengadilan yang melakukan penyitaan tersebut. (3) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, seketika setelah menerima salinan berita acara penyitaan wajib mencatat penyitaan tersebut dalam buku tanah dan mengumumkan menurut kebiasaan setempat. (4) Penyitaan atas benda tetap atau benda lain yang disamakan dengan benda tetap yang tidak berupa tanah harus juga didaftarkan di Pengadilan. (5) Berita acara penyitaan wajib ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b pada saat berita acara tersebut diterima dengan menyebutkan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun berita acara diterima. Penjelasan Pasal 205 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Juru sita wajib mendaftarkan penyitaan tersebut dalam buku register yang disediakan di kepaniteraan pengadilan yang bersangkutan, dengan menyebutkan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pencatatan dilakukan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 55 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 206 (1) Terhitung setelah hari pendaftaran penyitaan di Kantor Badan Pertanahan atau di Kantor Desa yang bersangkutan, tersita dilarang untuk mengalihkan, menjaminkan, atau menyewakan tanah, tanah atau bangunan, serta segala sesuatu yang terdapat di atas tanah tersebut. (2) Semua perjanjian yang dilakukan oleh tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal karena hukum. Penjelasan Pasal 206 Ayat (1) Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi pihak pemohon atau yang dimenangkan agar tidak dirugikan pihak tersita. Ayat (2) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh pihak tersita dengan pihak ketiga menjadi batal karena hukum. Pasal 207 (1) Penjualan barang yang disita dilakukan oleh Kantor Lelang Negara atau Pengadilan yang berwenang berdasarkan urutan yang dikehendaki oleh tersita. (2) Setelah hasil penjualan cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan ditambah dengan biaya pelaksanaannya, seketika itu juga menjual lelang dihentikan. (3) Penyitaan atas barang yang belum dijual lelang, akan diperintahkan untuk diangkat dan barang tersebut akan dikembalikan kepada tersita. Penjelasan Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 (1) Penjualan barang milik tersita yang tidak berupa hak atas tanah, dilakukan oleh Kantor Lelang Negara atau Pengadilan setelah dilakukan pengumuman menurut kebiasaan setempat, segera setelah penyitaan dilakukan. (2) Penjualan barang milik tersita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut paling cepat dilaksanakan 8 (delapan) hari setelah pengumuman. Penjelasan Pasal 208 Ayat (1) Pengumuman menjual lelang oleh Kantor Lelang Negara atau Pengadilan sebelum menjual lelang dilakukan, dimaksudkan agar menjual lelang dilaksanakan di muka umum secara jujur dan adil serta untuk melindungi kepentingan pihak ketiga atau pihak lain apabila di antara barang yang akan dijual lelang adalah miliknya sehingga dalam kesempatan tersebut yang berkepentingan dapat mengajukan perlawanan atau verzet ke Pengadilan. Ayat (2) Tenggang waktu 8 (delapan) hari adalah dianggap cukup untuk memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk mengetahui isi pengumuman tersebut. Pasal 209 (1) Dalam hal penjualan dilakukan secara sekaligus terhadap barang milik tersita berupa hak atas tanah dan barang lainnya, penjualan dilaksanakan setelah dilakukan pengumuman dalam harian yang terbit di kota tersebut atau kota yang paling berdekatan dengan kota tersebut 2 (dua) kali berturut-turut, dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari antara pengumuman pertama dan kedua. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 56 (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan tidak kurang dari 14 (empat belas) hari sebelum menjual lelang dilaksanakan. Penjelasan Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 (1) Semua hak tersita atas barang, tanah, tanah dan bangunan, serta segala sesuatu yang terdapat di atas tanah tersebut, beralih kepada pembeli lelang yang telah memenuhi kewajibannya dan dapat memperlihatkan surat bukti penunjukan sebagai pembeli lelang dari Kantor Lelang Negara atau Pengadilan. (2) Berdasarkan surat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembeli lelang langsung dapat meminta kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan agar barang, tanah, tanah dan bangunan serta segala sesuatu yang terdapat di atasnya diserahkan oleh tersita dalam keadaan kosong kepadanya. (3) Dalam hal tersita dan sanak saudaranya serta pihak ketiga yang mendapat izin dari tersita atau terlelang menolak perintah Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengosongan dilakukan secara paksa dengan bantuan alat negara. (4) Hak pihak pembeli dan penyewa yang sah tetap dilindungi. Penjelasan Pasal 210 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat bukti penunjukan sebagai pembeli lelang” adalah berita acara penjualan lelang. Pembeli lelang yang telah memenuhi kewajibannya dengan menunjukkan bukti pembayaran lunas atas pembelian barang sitaan melalui Kantor Lelang Negara atau melalui Pengadilan berupa berita acara penjualan lelang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah semua orang yang menempati atau menguasai barang yang disita atas izin tersita. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pembeli yang sah” adalah pihak yang membeli sebelum barang, tanah, dan/atau tanah dan bangunan tersebut disita. Yang dimaksud dengan “penyewa yang sah” adalah pihak yang menyewa sebelum barang, tanah, dan/atau tanah dan bangunan tersebut disita. Pasal 211 (1) Dalam hal secara bersamaan diajukan 2 (dua) atau lebih permohonan pelaksanaan putusan terhadap orang atau badan hukum yang sama, dengan satu berita acara dilakukan penyitaan terhadap barang milik tersita, sampai hasil menjual lelang dianggap cukup untuk memenuhi jumlah yang harus dibayar, termasuk biaya pelaksanaannya. (2) Ketua Pengadilan yang bersangkutan menetapkan cara pembagian uang hasil menjual lelang di antara para kreditor, dengan memperhatikan piutang yang harus didahulukan pembayarannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang tidak puas dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat terakhir. Penjelasan Pasal 211 Ayat (1) Penyatuan berita acara atas 2 (dua) atau lebih permohonan pelaksanaan putusan terhadap orang atau badan hukum dimaksudkan agar di antara para kreditor tidak ada yang dirugikan jika seandainya dari hasil penjualan barang yang tersita tidak mencukupi untuk pelunasan utang tersita. Ayat (2) Penetapan cara pembagian uang hasil menjual lelang di antara para kreditor harus didasarkan atas perbandingan jumlah piutang yang menjadi hak para kreditor. Ayat (3) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 57 Pasal 212 (1) Perlawanan yang diajukan oleh tergugat tersita dengan alasan bahwa yang bersangkutan sudah tidak berutang lagi karena sudah membayar, atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga dengan alasan bahwa barang yang telah disita dengan sita jaminan dan/atau sita eksekusi tersebut adalah miliknya dan bukan milik tergugat tersita, harus diajukan selama penyitaan masih berlangsung kepada Ketua Pengadilan yang memerintahkan penyitaan tersebut. (2) Dalam hal penyitaan dilakukan oleh Ketua Pengadilan untuk memenuhi permintaan Ketua Pengadilan yang lain, perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang diminta bantuannya. (3) Dalam waktu 2 (dua) hari Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan secara tertulis adanya perlawanan dan putusannya kepada Ketua Pengadilan yang meminta bantuannya untuk melaksanakan putusan. (4) Dalam hal barang yang disita telah dijual lelang atau telah diserahkan kepada pihak lawan, maka perlawanan tersebut tidak dapat diterima. Penjelasan Pasal 212 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah “pemilik” sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 59 ayat (1). Perlawanan atau verzet oleh tergugat tersita atau pihak ketiga dapat dilakukan selama masa penyitaan berlangsung dan apabila barang yang disita telah di jual lelang atau diserahkan kepada kreditor, maka perlawanan tersebut tidak dapat diterima. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Pengadilan diminta bantuannya” adalah pengadilan yang melaksanakan penyitaan dan bukan yang memerintahkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 213 (1) Perlawanan terhadap sita eksekusi, sebagai upaya hukum luar biasa, pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi. (2) Dalam hal dari surat bukti yang dilampirkan pada surat perlawanannya jelas terbukti bahwa barang yang disita eksekusi milik pelawan atau pelawan seketika dapat membuktikan yang bersangkutan telah memenuhi isi putusan, Ketua Pengadilan harus memerintahkan agar eksekusi ditangguhkan. (3) Terhadap putusan mengenai perlawanan dapat diajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Penjelasan Pasal 213 Cukup jelas. Bagian Kedua Pengakuan Utang Pasal 214 (1) Salinan pertama yang diberi irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dari akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan notaris, berkekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Permohonan eksekusi akta pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Ketua Pengadilan di daerah hukum dari debitor bertempat tinggal, berdiam, atau memilih domisili hukum. (3) Pelaksanaan eksekusi akta pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan pelaksanaan putusan pengadilan. (4) Dalam hal pelaksanaan eksekusi untuk seluruh atau sebagian harus dilaksanakan di luar daerah hukum Pengadilan, maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 58 Penjelasan Pasal 214 Ayat (1) Asli akta pengakuan utang yang dibuat, disimpan oleh notaris sebagai arsip, dan salinan akta pengakuan utang yang dipegang oleh debitor tidak memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Hanya salinan pertama akta pengakuan utang yang dipegang oleh kreditor yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mempunyai kekuatan eksekutorial . Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Bagian Ketiga Penyanderaan Pasal 215 (1) Ketua Pengadilan memerintahkan penyanderaan atas permohonan pihak kreditor atau penggugat yang menang. (2) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kreditor atau penggugat yang menang harus mengemukakan secara lengkap dan rinci dasar permohonan penyanderaan dan untuk berapa lama debitor disandera. (3) Ketua Pengadilan harus mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila terdapat alasan yang berdasar bahwa debitor dengan sengaja ingkar untuk membayar utangnya, sedangkan yang bersangkutan mampu dan sengaja tidak membayar utangnya kepada kreditor. Penjelasan Pasal 215 Cukup jelas. Pasal 216 (1) Permohonan penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 dapat dikabulkan oleh Ketua Pengadilan apabila kreditor atau penggugat yang menang dapat membuktikan bahwa debitor atau tergugat yang kalah wajib membayar uang kepadanya paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Debitor atau tergugat yang kalah yang sudah berumur 65 (enam puluh lima) tahun, yang belum dewasa, yang berada di bawah pengampuan, atau wanita yang sedang hamil atau menyusui anaknya dilarang untuk disandera. (3) Penyanderaan dilakukan di dalam rumah yang khusus disediakan untuk itu. (4) Penyanderaan dilakukan untuk waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang setiap waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (5) Biaya penyanderaan ditanggung oleh kreditor atau penggugat yang menang dan harus dibayar lebih dahulu tiap kali untuk waktu 3 (tiga) bulan. Penjelasan Pasal 216 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tempat penyanderaan di gedung khusus karena sanderawan tidak dapat disamakan dengan pelaku kejahatan yang ditempatkan di Rumah Tahanan Negara atau Lembaga Pemasyarakatan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 59 BAB XII ACARA KHUSUS Bagian Kesatu Prorogasi Pasal 217 (1) Tuntutan hak yang berbentuk gugatan senilai Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih dapat diajukan langsung kepada Ketua Pengadilan Tinggi yang berwenang memeriksa perkara tersebut dalam tingkat banding, jika oleh pihak yang berperkara telah disetujui untuk itu dalam satu akta yang dilampirkan dalam surat gugatan yang memenuhi syarat untuk permohonan banding. (2) Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara prorogasi bertindak sebagai peradilan tingkat pertama dan hukum acaranya berlaku seperti pemeriksaan perkara biasa di Pengadilan. (3) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi dalam prorogasi dapat dimohonkan kasasi dan/atau peninjauan kembali. Penjelasan Pasal 217 Ayat (1) Tuntutan hak yang berbentuk gugatan langsung kepada Ketua Pengadilan Tinggi disebut prorogasi. Pengadilan Tinggi yang memeriksa bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pemeriksaan perkara biasa di Pengadilan Negeri” adalah bahwa proses atau acaranya berlaku ketentuan acara seperti pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Bagian Kedua Berperkara dengan Cuma-cuma Pasal 218 (1) Pihak yang akan berperkara, tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukan permohonan supaya diizinkan untuk berperkara dengan cuma-cuma. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan oleh penggugat atau pemohon kepada Ketua Pengadilan ketika mengajukan gugatan. (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh tergugat, maka permohonan tersebut harus diajukan bersama dengan jawaban terhadap gugatan kepada Ketua majelis hakim. (4) Permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma harus disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah atau nama lain yang sejenis di daerah alamat tempat tinggalnya. (5) Majelis hakim memeriksa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebelum memeriksa pokok perkara. (6) Dalam hal permohonan dikabulkan, maka biaya perkara dimaksud dibebankan kepada negara. Penjelasan Pasal 218 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “biaya perkara” adalah: a. biaya kepaniteraan dan materai yang diperlukan; b. biaya saksi, biaya ahli, dan biaya ahli bahasa yang diperlukan termasuk biaya penyumpahan; c. biaya pemeriksaan di tempat lain, selain pemeriksaan di ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan perkara atas perintah hakim atau hakim ketua sidang; dan d. biaya petugas yang ditugaskan untuk melakukan panggilan, pemberitahuan, dan lain-lain perintah pengadilan berkenaan dengan perkara. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 60 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 219 (1) Permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma dalam pemeriksaan banding harus disampaikan dengan lisan atau dengan surat kepada Panitera Pengadilan yang menjatuhkan putusan beserta surat keterangan tidak mampu membayar biaya dari kepala desa atau lurah atau nama lain yang sejenis di daerah alamat tempat tinggalnya, paling lama diajukan bersama-sama dengan permohonan banding. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh Panitera Pengadilan dalam daftar yang tersedia untuk itu. (3) Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dicatat maka Hakim Pengadilan memberitahukan permohonan tersebut kepada para pihak dan memanggil kedua belah pihak untuk datang ke Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal pemohon tidak datang permohonan dianggap gugur. (5) Dalam hal pemohon datang, yang bersangkutan diperiksa oleh Ketua Pengadilan begitu juga pihak lawan jika yang bersangkutan datang. (6) Permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma dalam pemeriksaan banding diperiksa dan diputus oleh Pengadilan. (7) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak ada upaya hukum biasa dan luar biasa. Penjelasan Pasal 219 Cukup jelas. Pasal 220 Berkas permohonan untuk berperkara secara cuma-cuma dan permohonan pemeriksaan Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 setelah diputus oleh Pengadilan harus dikirim kepada Pengadilan Tinggi paling lambat 7 (tujuh) hari. Penjelasan Pasal 220 Cukup jelas. Pasal 221 (1) Ketentuan Pasal 219 dan Pasal 220 berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan izin berperkara secara cuma-cuma pada tingkat Kasasi dan tingkat Peninjauan Kembali. (2) Ketentuan Pasal 219 dan Pasal 220 berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan izin berperkara secara cuma-cuma pada proses perlawanan dan prorogasi. Penjelasan Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 (1) Balai Harta Peninggalan diizinkan berperkara sebagai penggugat atau tergugat dengan cuma-cuma jika harta kekayaan yang dipertahankannya atau uang dari orang yang diwakilinya tidak cukup untuk membayar biaya perkara. (2) Pada waktu mengajukan permohonan, Balai Harta Peninggalan harus menyerahkan kepada Ketua Pengadilan daftar ringkas mengenai harta kekayaan. Penjelasan Pasal 222 Ayat (1) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 61 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “daftar ringkas mengenai harta kekayaan” adalah catatan mengenai jenis dan jumlah harta kekayaan dari seseorang disertai taksiran harganya, yang berada dalam penguasaan Balai Harta Peninggalan. Pasal 223 Terhadap Penetapan Pengadilan tentang izin berperkara secara cuma-cuma tidak terbuka upaya hukum biasa dan luar biasa. Penjelasan Pasal 223 Cukup jelas. Bagian Ketiga Pendengaran Saksi Sementara Pasal 224 (1) Dalam hal Undang-Undang membolehkan pembuktian dengan saksi, atas permohonan orang yang berkepentingan dengan segera dapat diperintahkan pendengaran saksi sebelum perkara diajukan. (2) Selama pemeriksaan perkara sedang berjalan, atas permohonan salah satu pihak yang berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil kembali. Penjelasan Pasal 224 Cukup jelas. Pasal 225 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut apabila perkara diajukan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan kepada Ketua Pengadilan dalam daerah hukum orang yang didengar sebagai saksi atau sebagian besar dari mereka bertempat tinggal atau berdiam. (3) Dalam hal perkara sedang berjalan, permohonan diajukan kepada hakim yang menyidangkan perkara tersebut. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat: a. perihal gugatan; b. peristiwa dan hak yang ingin dibuktikan; c. nama dan alamat tempat tinggal orang yang akan didengar sebagai saksi; dan d. nama dan alamat tempat tinggal pihak lawan (5) Dalam hal pihak lawan tidak dikenal dan perkara tidak memerlukan penanganan segera, surat permohonan tidak diputus sebelum sidang yang dihadiri pemohon dengan pemanggilan pihak lawan. (6) Dalam hal pihak lawan tidak dikenal dan perkara tersebut memerlukan penanganan segera, permohonan diputus dalam sidang yang dihadiri pemohon tanpa pemanggilan pihak lawan. (7) Dalam hal pihak lawan dikenal dan perkara tersebut tidak memerlukan penanganan segera, permohonan diputus dalam sidang yang dihadiri pemohon dengan pemanggilan pihak lawan. Penjelasan Pasal 225 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah saksi dalam memberikan kesaksian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 62 Ayat (5) Permohonan tetap diputus walaupun pihak lawan tidak hadir asal telah dipanggil secara sah. Hal ini di samping untuk memenuhi prosedur acara perdata dan administrasi, juga untuk menjaga autentisitas kesaksian. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 226 (1) Dalam hal permohonan dikabulkan, Hakim akan menentukan jam, hari, tanggal, bulan dan tahun saksi didengar keterangannya, dan memerintahkan juru sita untuk menyampaikan salinan surat permohonan disertai dengan penetapan Hakim yang mengabulkan permohonan tersebut. (2) Dalam hal permohonan dikabulkan, tidak terbuka upaya hukum biasa dan luar biasa. Penjelasan Pasal 226 Cukup jelas. Pasal 227 Ketentuan mengenai kesaksian berlaku juga bagi saksi sementara. Penjelasan Pasal 227 Cukup jelas. Pasal 228 Dalam hal pihak lawan hadir pada saat saksi didengar keterangannya, hakim yang melakukan pemeriksaan saksi, atas permohonan pihak lawan, menentukan tempat dan waktu saksi lawan akan memberikan keterangan. Penjelasan Pasal 228 Cukup jelas. Pasal 229 (1) Dalam hal para pihak hadir atau diwakili pada saat saksi memberikan keterangan, maka keterangan saksi yang diberikan dalam pendengaran saksi sementara mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi yang diberikan dalam sidang biasa. (2) Dalam hal tidak semua pihak hadir atau tidak diwakili pada pendengaran saksi sementara, maka keterangan saksi tersebut merupakan bukti bebas. Penjelasan Pasal 229 Ayat (1) Hal ini untuk menentukan nilai/tingkat kesaksian dalam suatu pembuktian. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 230 Dalam hal keterangan saksi sementara akan digunakan untuk mengajukan gugatan terhadap saksi tersebut, Hakim akan melakukan pendengaran saksi sementara sesuai ketentuan yang berlaku bagi pendengaran saksi pihak. Penjelasan Pasal 230 Yang dimaksud dengan “saksi pihak” adalah saksi yang akan menjadi pihak atau lawan dalam suatu perkara. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 63 Bagian Keempat Penyegelan Pasal 231 (1) Dalam hal setelah seseorang meninggal dunia harus dilakukan penyegelan, penyegelan dilakukan di tempat pekerjaan tersebut harus dilakukan oleh juru sita yang bertugas melakukan penyegelan atas perintah Ketua Pengadilan tempat penyegelan dilakukan. (2) Juru sita menggunakan segel yang diperuntukkan bagi keperluan tersebut. (3) Ketua Pengadilan tempat penyegelan dilakukan mengangkat seorang penyimpan barang yang disegel dan dapat seseorang yang diajukan oleh orang yang berkepentingan, jika orang tersebut dianggap memenuhi syarat untuk itu. Penjelasan Pasal 231 Cukup jelas. Pasal 232 Penyegelan dapat dituntut oleh: a. suami atau istri yang ditinggalkan dan mereka yang mengaku mempunyai suatu hak atas warisan atau harta bersama; b. para sanak saudara terdekat dari: 1) anak yang belum cukup umur dan tidak mempunyai wali atau walinya tidak hadir; atau 2) orang yang seharusnya berada di bawah pengampuan tetapi tidak mempunyai pengampu atau pengampunya tidak hadir. c. para kreditor yang memiliki alas hak pelaksanaan terhadap harta warisan atau setelah diadakan penyelidikan secara singkat tentang kebenaran tuntutan mereka tentang kepentingannya pada penyegelan berdasarkan suatu izin dari ketua pengadilan; d. mereka yang bekerja pada orang yang telah meninggal dunia atau bertempat tinggal bersama dengan orang yang telah meninggal dunia dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak hadir; atau e. para pelaksana surat wasiat. Penjelasan Pasal 232 Cukup jelas. Pasal 233 (1) Penyegelan dilakukan karena jabatan oleh Ketua Pengadilan dalam hal: a. anak yang belum cukup umur dan tidak mempunyai wali atau walinya tidak hadir; b. orang yang seharusnya berada di bawah pengampuan tetapi tidak mempunyai pengampu atau pengampunya tidak hadir; c. suami atau istri dari orang yang meninggal dunia atau salah satu dari para ahli waris tidak hadir; atau d. orang yang meninggal dunia adalah penyimpan umum dari beberapa barang. (2) Dalam hal orang yang meninggal dunia adalah penyimpan umum beberapa barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, penyegelan hanya dilakukan terhadap barang yang termasuk dalam penyimpanannya. (3) Penyegelan berdasarkan ketidakhadiran tidak dilakukan apabila orang yang tidak hadir telah menunjuk seorang kuasa dengan suatu kuasa autentik, untuk mewakili dalam warisan atau warisan-warisan yang jatuh padanya dan kuasa ini mengajukan perlawanan terhadap penyegelan tersebut. Penjelasan Pasal 233 Cukup jelas. Pasal 234 Berita acara penyegelan harus memuat: a. penyebutan jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan alasan penyegelan; b. nama kecil, nama, dan alamat tempat tinggal dari orang yang meminta dilakukan penyegelan dan dalam hal yang bersangkutan tidak bertempat tinggal di daerah tempat penyegelan dilakukan maka tempat tinggal yang dipilih adalah kepaniteraan pengadilan yang melakukan penyegelan; http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 64 c. Penetapan ketua Pengadilan, atau penyebutan dari alas hak eksekutorial, yang menjadi dasar tuntutan dilakukan; d. kehadiran dan tuntutan dari para pihak; e. uraian tentang tempat dan barang yang disegel dan uraian singkat tentang barang yang tidak turut disegel; f. nama, alamat tempat tinggal, dan pekerjaan penyimpan; dan g. sumpah pada penutupan segel yang diucapkan oleh orang yang menempati rumah tempat penyegelan dilakukan di hadapan juru sita yang ditugaskan tersebut, bahwa mereka tidak menggelapkan juga tidak melihat dan tidak mengetahui, bahwa ada sesuatu yang digelapkan baik langsung maupun tidak langsung. Penjelasan Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 (1) Apabila pada penyegelan ditemukan suatu wasiat yang tidak disegel, hal tersebut harus disebut dalam berita acara. (2) Apabila pada penyegelan ditemukan suatu penetapan di bawah tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 935 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka diperlakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 936 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Penjelasan Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 (1) Apabila pada penyegelan terdapat surat yang bersegel, maka juru sita harus menerangkan keadaan luar surat tersebut. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap segel dan judul surat apabila ada. (3) Jurusita dan pihak yang hadir dalam penyegelan wajib menandatangani sampul surat dan mencantumkan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun surat tersebut dibuka. (4) Jurusita menyebutkan segala sesuatu dalam berita acara penyegelan yang ditandatangani oleh para pihak. (5) Apabila para pihak menolak atau tidak mampu menandatangani harus diterangkan dalam berita acara. (6) Apabila dari judul surat atau hal lain ternyata, bahwa surat tersebut tidak termasuk dalam warisan maka surat tersebut dilarang dibuka. (7) Apabila dari judul surat atau hal lain ternyata orang yang meninggal dunia menunjuk pada suatu tujuan tertentu, maka setelah memanggil pihak yang berkepentingan, juru sita menyerahkan surat tersebut dalam keadaan tertutup kepada: a. pihak yang berkepentingan tersebut, jika tidak ada seorangpun mengajukan perlawanan terhadap hal tersebut; atau b. kantor kepaniteraan pengadilan yang melakukan penyegelan untuk kemudian diserahkan pada orang yang berhak. Penjelasan Pasal 236 Cukup jelas. Pasal 237 (1) Pada hari yang telah ditentukan dan tanpa suatu pemberitahuan juru sita yang bertugas melakukan penyegelan membuka surat-surat yang tidak ditujukan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (7), yang bersangkutan menerangkan keadaan surat tersebut dan memerintahkan untuk sementara di simpan di kantor kepaniteraan dan kemudian diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. (2) Mengenai pembukaan surat wasiat yang bersifat rahasia berlaku ketentuan Pasal 942 KUHPerdata. Penjelasan Pasal 237 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 65 Pasal 238 (1) Apabila seorang mengajukan perlawanan terhadap penyegelan atau apabila ditemukan halangan atau baik sebelum maupun pada saat penyegelan diajukan keberatan maka ketua Pengadilan dalam acara singkat memutuskan hal tersebut jika penyegelan dilakukan di daerah hukum Pengadilan tersebut. (2) Apabila penyegelan dilakukan di daerah lain maka juru sita yang ditugaskan untuk itu segera mengirimkan turunan autentik dari berita acaranya kepada ketua Pengadilan untuk dimohonkan keputusannya. (3) Dalam segala hal penyegelan dihentikan oleh juru sita yang ditugaskan dengan penyegelan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan, juru sita mengangkat penyimpan di luar atau menurut keadaan juga di dalam rumah. Penjelasan Pasal 238 Cukup jelas. Pasal 239 (1) Apabila dalam harta peninggalan tidak ditemukan barang bergerak apapun juru sita yang ditugaskan melakukan penyegelan menyatakan hal tersebut dengan akta yang dibuatnya. (2) Apabila dalam harta peninggalan tersebut terdapat barang bergerak yang pemakaiannya diperlukan oleh penghuni rumah atau yang tidak dapat bersama-sama disegel, maka juru sita tersebut membuat berita acara yang memuat suatu uraian singkat mengenai barang yang tidak disegel. (3) Apabila dalam harta peninggalan terdapat surat berharga yang mengakibatkan kerugian jika dilakukan penyegelan, juru sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat suatu uraian singkat tentang hal tersebut dalam berita acara dan menyerahkan surat tersebut kepada pihak yang berkepentingan. Penjelasan Pasal 239 Cukup jelas. Bagian Kelima Perlawanan Terhadap Pengangkatan Segel Pasal 240 Orang yang berhak hadir pada waktu dibuat daftar barang dapat mengajukan perlawanan terhadap pengangkatan segel di luar kehadiran mereka. Penjelasan Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 (1) Perlawanan terhadap pengangkatan segel diajukan secara tertulis atau lisan oleh pelawan yang kemudian dimasukkan ke dalam berita acara penyegelan. (2) Pernyataan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi alasan dari perlawanan dan pilihan alamat tempat tinggal di kantor panitera Pengadilan, dalam daerah mana penyegelan dilakukan, jika ia tidak bertempat tinggal di daerah tersebut. Penjelasan Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 142 Segel hanya dapat diangkat setelah 3 (tiga) hari setelah penyegelan dilakukan, kecuali dalam hal ada keharusan yang mendesak berdasarkan putusan ketua Pengadilan yang melakukan penyegelan. Penjelasan Pasal 242 Setelah adanya putusan ketua Pengadilan maka ketua Pengadilan menunjuk juru sita untuk melaksanakan pengangkatan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 66 Pasal 243 Apabila para ahli waris atau beberapa di antaranya belum cukup umur dan tidak mempunyai wali, pengangkatan segel tidak boleh dilakukan sebelum diadakan perwalian. Penjelasan Pasal 243 Cukup jelas. Pasal 244 Semua orang yang berdasarkan Pasal 232 berhak untuk menyuruh melakukan penyegelan dapat pula menuntut pengangkatan segel kecuali mereka yang meminta dilakukan penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 huruf d. Penjelasan Pasal 244 Cukup jelas. Pasal 245 (1) Persyaratan untuk pengangkatan segel dicatat dalam berita acara penyegelan dengan memilih alamat tempat tinggal tetap pada kantor panitera Pengadilan yang melakukan penyegelan tersebut dalam hal pemohon tidak bertempat tinggal di daerah hukum penyegelan dilakukan. (2) Perintah Ketua Pengadilan terhadap juru sita harus memuat jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pengangkatan segel. (3) Pemberitahuan untuk hadir pada waktu pengangkatan segel harus disampaikan paling lambat 1 (satu) hari sebelum pengangkatan segel kepada: a. suami atau istri yang masih hidup; b. ahli waris yang diperkirakan dan diketahui; c. pelaksana wasiat; d. kreditor yang telah mengajukan permohonan penyegelan; atau e. pihak yang mengajukan keberatan terhadap pengangkatan segel di luar kehadirannya. (4) Pemberitahuan kepada kreditor dan pihak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan di tempat yang mereka pilih. (5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak perlu disampaikan kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c, apabila mereka bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan tempat segel harus diangkat. (6) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak hadir, Ketua Pengadilan yang ditugaskan melakukan penyegelan menunjuk, atas biaya mereka, seorang notaris atau orang yang dipercaya yang akan mewakili mereka pada waktu pengangkatan segel dan pada waktu dilakukan pendaftaran harta peninggalan. Penjelasan Pasal 245 Cukup jelas. Pasal 246 Suami atau istri yang masih hidup, para ahli waris yang diperkirakan dan diketahui atau orang yang mewakili mereka, dan para pelaksana wasiat, dapat hadir pada semua sidang tentang pengangkatan segel dan pendaftaran harta peninggalan. Penjelasan Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 Berita acara pengangkatan segel memuat: a. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya pengangkatan segel; b. nama dan alamat tempat tinggal atau alamat tempat tinggal yang dipilih dari orang yang menuntut pengangkatan segel; c. perintah untuk mengangkat segel; d. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3); e. kehadiran dan semua tuntutan atau keterangan-keterangan dari para pihak; http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 67 f. pemeriksaan segel dan pendapat tentang segel tersebut dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Apabila tidak demikian halnya harus disebutkan keadaan yang ditemukan dan tindakantindakan yang menurut juru sita yang bertugas melakukan penyegelan dianggap perlu dan telah diambilnya; g. pengangkatan notaris dan penaksir, apabila ada alasan untuk itu, yang dipilih oleh orang yang berkepentingan atau apabila ada perselisihan, yang diangkat oleh ketua pengadilan tersebut, demikian pula pengambilan sumpah para penaksir oleh ketua pengadilan tersebut; dan h. pengajuan keberatan dan perselisihan yang timbul di antara para pihak yang berkepentingan pada pengangkatan segel yang memerlukan suatu keputusan. Penjelasan Pasal 247 Terhadap ketentuan ini diberlakukan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 238. Pasal 248 Apabila pada pengangkatan segel, alasan untuk melakukan penyegelan tidak gugur, dan pada pengangkatan tersebut harus dilakukan pendaftaran harta peninggalan, maka segel tersebut diangkat, tergantung dari pendaftaran yang dilakukan pada akhir tiap sidang dilakukan, maka penyegelan dilakukan lagi atas barang yang belum di daftar tetapi telah diangkat segelnya. Penjelasan Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 (1) Dalam hal alasan untuk penyegelan gugur sebelum pengangkatan segel dilakukan atau pada saat sedang dilakukan pengangkatan penyegelan, segel tersebut sekaligus diangkat dan berakhirlah kehadiran selanjutnya dari juru sita pada pendaftaran harta peninggalan jika hal ini dilakukan. (2) Apabila segel diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka kehadiran jurusita pada pendaftaran harta peninggalan berakhir. Penjelasan Pasal 249 Cukup jelas. Bagian Keenam Inventarisasi Atau Pendaftaran Harta Peninggalan Pasal 250 (1) Dalam hal tidak terdapat larangan dalam Undang-Undang, pendaftaran harta peninggalan setelah pengangkatan segel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan, apabila orang yang berkepentingan sepakat. (2) Akta dari pendaftaran harta peninggalan yang ditandatangani oleh para pihak, diserahkan kepada kantor Balai Harta Peninggalan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal terakhir orang yang meninggal dunia. (3) Penyerahan akta pendaftaran harta peninggalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di bawah sumpah para pihak menurut cara yang sama seperti ditentukan dalam hal anak-anak yang belum dewasa. Penjelasan Pasal 250 Cukup jelas. Pasal 251 Semua orang yang menurut Pasal 232 mempunyai hak untuk meminta dilakukan penyegelan, dalam pengangkatan segel berhak untuk meminta inventarisasi atau pendaftaran harta peninggalan, kecuali mereka yang meminta dilakukan penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 huruf d. Penjelasan Pasal 251 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 68 Pasal 252 Pada saat pengangkatan segel sampai dengan dilakukan pendaftaran harta peninggalan, orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3), harus hadir dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pengangkatan segel. Penjelasan Pasal 252 Cukup jelas. Pasal 253 (1) Dalam hal di luar penyegelan, oleh Undang-Undang juga ditentukan suatu pendaftaran harta peninggalan, atau dilakukan pendaftaran harta peninggalan setelah penyegelan diangkat, maka pendaftaran harta peninggalan tersebut, kecuali memuat semua formalitas dari semua akta umum atau di bawah tangan, juga memuat: a. nama kecil, nama, dan alamat tempat tinggal dari: 1) orang yang hadir; 2) orang yang diwakili dan wakil mereka; 3) orang yang diketahui dan dipanggil tetapi tidak hadir; dan 4) para penaksir. b. tempat pendaftaran dilakukan dan tempat barang berada; c. uraian singkat tentang barang dengan penyebutan nilai dari barang bergerak; d. penyebutan tentang nilai dan jumlah mata uang; e. penyebutan tentang keadaan dan berat barang emas dan/atau perak; f. penyebutan tentang buku catatan atau daftar, jika barang tersebut ada; g penyebutan alas hak yang ditemukan dan perikatan tertulis yang merugikan atau menguntungkan harta peninggalan; h penyebutan sumpah pada penutupan pendaftaran harta peninggalan, yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menguasai barang atau yang menghuni rumah di tempat barang tersebut berada, yang dilakukan di hadapan notaris atau di hadapan juru sita yang ditugaskan melakukan penyegelan bahwa mereka tidak menggelapkan sesuatu apa pun, dan juga tidak melihat atau mengetahui ada sesuatu yang digelapkan. i keterangan bahwa surat wasiat dan surat yang tidak termasuk harta peninggalan, yang ditemukan dalam harta peninggalan tersebut, telah berlaku ketentuan dari Pasal 234, Pasal 235, dan Pasal 236 dan penyebutan kepada siapa efek dan surat dari harta peninggalan tersebut diserahkan, baik berdasarkan Undang-Undang maupun berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan. (2) Dalam hal pendaftaran dilakukan secara notariil, maka buku atau daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pada halaman pertama dan terakhir oleh notaris diberi tanda pengesahan. (3) Dalam hal pendataran dilakukan di bawah tangan, maka buku atau daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f pengesahannya dilakukan oleh salah seorang dari pihak yang berkepentingan berdasarkan kesepakatan mereka. Penjelasan Pasal 253 Cukup jelas. Pasal 254 (1) Dalam hal pada waktu pendaftaran harta peninggalan terdapat keberatan atau sengketa, para pihak atau notaris yang melakukan pendaftaran, mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan di daerah hukum pendaftaran harta peninggalan dilakukan, untuk memutuskan lebih dahulu dengan acara singkat sengketa tersebut. (2) Dalam hal pendaftaran harta peninggalan dilakukan di luar daerah hukum dari pengadilan bersidang, notaris membuat berita acara yang memuat uraian tentang keberatan dan sengketa, yang ditandatangani oleh para pihak setelah dibacakan. (3) Dalam hal para pihak tidak dapat menulis atau tidak mau menandatangani berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hal tersebut harus dicatat dalam berita acara. (4) Notaris mengajukan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada Ketua Pengadilan dengan permohonan agar segera menjatuhkan putusan dengan acara singkat. Penjelasan Pasal 254 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 69 Bagian Ketujuh Penjualan Harta Peninggalan Berupa Barang Pasal 255 Apabila semua ahli waris sudah dewasa dan bebas menguasai barang mereka, maka penjualan barang bergerak yang termasuk warisan dapat dilakukan di tempat dan dengan cara seperti disepakati oleh para pihak, dengan ketentuan kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan Pasal 255 Cukup jelas. Pasal 256 Dalam hal harus dilakukan penjualan barang bergerak dan diantara mereka yang berkepentingan terdapat: a. anak yang belum dewasa; b. orang yang berada di bawah pengampuan; c. orang yang tidak hadir; atau d. tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli waris, maka penjualan dilakukan di depan umum dengan perantara kantor lelang menurut kebiasaan setempat. Penjelasan Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Dalam hal semua orang yang berkepentingan sepakat tetapi di antara mereka yang berkepentingan terdapat: a. orang yang belum cukup umur; atau b. orang yang berada di bawah pengampuan; maka pengadilan dapat memberikan izin untuk melaksanakan penjualan dengan cara selain yang ditentukan dalam Pasal 389 KUHPerdata. Penjelasan Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 (1) Dalam hal penjualan harus dilakukan di depan umum, ketua Pengadilan, atas permohonan salah satu pihak, dapat memerintahkan agar penjualan segera dilaksanakan. (2) Dalam hal para pihak tidak mencapai kesepakatan tentang waktu penjualan tersebut, Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan waktu penjualan harus dilakukan. (3) Ketua Pengadilan juga memerintahkan bahwa tentang satu dan lain hal mengenai penjualan diberitahukan pada pihak yang berkepentingan lainnya dengan cara dan dalam waktu yang dipandang layak sesuai dengan keadaan. Penjelasan Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Penjualan barang dilakukan baik dihadiri maupun tidak dihadiri oleh pihak yang berkepentingan. Penjelasan Pasal 259 Cukup jelas. Pasal 260 Dalam hal terdapat keberatan penjualan barang, hal tersebut diputus oleh ketua Pengadilan lebih dahulu melalui pemeriksaan dengan acara singkat. Penjelasan Pasal 260 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 70 Bagian Kedelapan Penjualan Harta Peninggalan Berupa Tanah Pasal 261 Dalam hal tanah hanya merupakan kepunyaan orang dewasa yang menguasai dengan bebas tanah tersebut, maka tanah tersebut dapat dijual dengan cara sesuai dengan kesepakatan mereka, dengan ketentuan kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Penjelasan Pasal 261 Yang dimaksud dengan ”tanah” adalah tanah saja dan/atau tanah berikut benda yang berkaitan dengan tanah. Yang dimaksud dengan ”tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan” misalnya, penjualan yang dilakukan di bawah tangan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah atau penjualan umum melalui menjual lelang. Pasal 262 (1) Dalam hal harus dilakukan penjualan tanah yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan: a. orang yang belum cukup umur; b. orang yang berada di bawah pengampuan; atau c. orang yang tidak diketahui keberadaannya, maka penjualan tersebut harus dilakukan dimuka umum, di hadapan wali pengawas oleh pejabat yang berwenang. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga jika di antara para ahli waris tidak mencapai kata sepakat, dengan ketentuan tidak diharuskan campur tangan dari Balai Harta Peninggalan. Penjelasan Pasal 262 Yang dimaksud ahli waris dalam ayat (2) tidak termasuk ahli waris dalam ayat (1). Pasal 263 (1) Dalam hal semua orang yang berkepentingan mencapai kata sepakat, tetapi di antara orang yang berkepentingan tersebut terdapat orang yang belum cukup umur atau orang berada di bawah pengampuan, pengadilan dalam hal tertentu dapat mengizinkan penjualan tanah tersebut. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas permintaan wali atau pengampu yang harus disertai dengan alasan dan dengan persetujuan bersama dari keluarga sedarah dan semenda. (3) Apabila tidak semua keluarga sedarah atau semenda hadir setelah dipanggil dengan patut maka persetujuan mereka yang datang adalah cukup. (4) Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dijual dengan harga lebih rendah daripada harga sebelum pemberian izin telah ditaksir oleh 3 (tiga) orang ahli yang diangkat oleh Pengadilan. Penjelasan Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 (1) Dalam hal penjualan harus dilakukan di depan umum, atas permohonan salah satu pihak, Pengadilan dapat memerintahkan agar penjualan tersebut segera dilaksanakan. (2) Dalam hal di antara para pihak tidak terdapat kesepakatan tentang penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan menetapkan waktu kapan penjualan harus dilaksanakan. (3) Selain menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengadilan juga memerintahkan agar penjualan tersebut diberitahukan kepada orang lain yang berkepentingan dengan cara dan dalam waktu yang dipandang layak menurut keadaan. Penjelasan Pasal 264 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 71 Pasal 265 Penjualan tanah dilakukan baik dihadiri maupun tidak dihadiri oleh pihak yang berkepentingan. Penjelasan Pasal 265 Cukup jelas. Pasal 266 Dalam hal terdapat keberatan atas penjualan tanah, maka hal tersebut diputus oleh ketua Pengadilan melalui pemeriksaan dengan acara singkat. Penjelasan Pasal 266 Cukup jelas. Bagian Kesembilan Pembagian Harta Peninggalan Pasal 267 Gugatan pemisahan harta peninggalan diajukan kepada Pengadilan. Penjelasan Pasal 267 Cukup jelas. Pasal 268 (1) Putusan Pengadilan atas gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 yang memerintahkan pemisahan harta peninggalan, memuat pengangkatan notaris untuk melakukan pemisahan harta peninggalan. (2) Pengangkatan notaris oleh pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika para pihak yang berkepentingan tidak mencapai kata sepakat mengenai pilihan notaris. (3) Dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditentukan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun para pihak harus hadir, tanpa diperlukan pemanggilan. Penjelasan Pasal 268 Cukup jelas. Pasal 269 (1) Bagi ahli waris yang tidak berlaku ketentuan KUHPerdata, atas permohonan seluruh ahli waris, Pengadilan membuat penetapan tentang pemisahan harta peninggalan. (2) Dalam membuat penetapan pemisahan harta peninggalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan harus memanggil dan mendengar seluruh ahli waris. Penjelasan Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 (1) Dalam hal selama pelaksanaan pemisahan harta peninggalan terdapat keberatan, maka notaris membuat berita acara tersendiri tentang keberatan tersebut yang memuat keterangan dari para pihak. (2) Salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikirimkan kepada kepaniteraan, dan pihak yang paling siap menggugat pihak lawannya di pengadilan. Penjelasan Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 (1) Dalam hal diperlukan penjualan barang bergerak untuk melaksanakan pemisahan harta peninggalan maka berlaku ketentuan KUHPerdata. (2) Dalam hal diperlukan penjualan tanah untuk melaksanakan pemisahan harta peninggalan maka berlaku ketentuan berdasarkan peraturan perundang-undangan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 72 Penjelasan Pasal 271 Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 272 Notaris wajib memberikan salinan atau petikan dari akta pemisahan harta peninggalan kepada para pihak, jika para pihak yang berkepentingan memintanya. Penjelasan Pasal 272 Cukup jelas. Bagian Kesepuluh Hak Istimewa Pendaftaran Harta Peninggalan Pasal 273 Dalam hal ahli waris sedang mempertimbangkan untuk menolak, menerima warisan secara murni, atau menerima dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, ahli waris dapat meminta izin kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat harta peninggalan terbuka, untuk diberi kuasa menjual barang bergerak yang termasuk harta peninggalan yang tidak dapat disimpan. Penjelasan Pasal 273 Yang dimaksud dengan “tempat harta peninggalan terbuka” adalah domisili terakhir dari pewaris. Pasal 274 Dalam hal harus dilaksanakan penjualan barang bergerak atau tanah dari harta peninggalan, maka ahli waris yang menerima warisan dengan hak istimewa untuk pendaftaran harta peninggalan wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut: a. ahli waris tidak boleh menjual benda warisan, baik yang berupa tanah maupun benda bergerak, kecuali dengan cara menjual lelang; b. dalam hal penjualan benda tak bergerak yang dibebani dengan hipotek atau tanah dengan hak tanggungan, ahli waris melunasi utangnya kepada pemegang hipotik atau hak tanggungan dan menyerahkan bukti pelunasan kepada pembeli benda tak bergerak atau tanah. Penjelasan Pasal 274 Terhadap penjualan saham yang dicatat di bursa efek berlaku ketentuan Undang- Undang di bidang Pasar Modal. Pasal 275 (1) Dalam hal diminta oleh para kreditor atau orang lain yang berkepentingan, ahli waris yang menerima warisan dengan hak istimewa untuk pendaftaran harta peninggalan wajib memberikan jaminan secukupnya untuk harga benda-benda bergerak yang termasuk dalam pendaftaran harta peninggalan dan untuk bagian harga benda-benda tak bergerak, yang tidak diserahkan kepada para kreditor hipotik dan/atau pemegang hak tanggungan. (2) Dalam hal setelah lewat 8 (delapan) hari ahli waris lalai memberi jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan dapat memanggil ahli waris tersebut. (3) Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap menolak atau tidak hadir, Pengadilan memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan untuk menjual warisan melalui Kantor Lelang. (4) Balai Harta Peninggalan setelah memperoleh hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan hasil penjualan tersebut untuk melunasi utang dan beban warisan. Penjelasan Pasal 275 Pengadilan memerintahkan Balai Harta Peninggalan dengan penetapan pengadilan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 73 Pasal 276 Gugatan oleh ahli waris yang menerima warisan dengan hak istimewa untuk pendaftaran harta peninggalan, atas beban dari harta warisan, harus diajukan terhadap para ahli waris yang lain, dan jika tidak ada ahli waris yang lain atau apabila gugatan tersebut diajukan oleh semua ahli waris, hal tersebut harus diajukan terhadap Balai Harta Peninggalan, sesudah Balai tersebut, atas permohonan mereka yang berkepentingan, atau atas usul dari kejaksaan, diperintahkan oleh pengadilan untuk menjadi kurator terhadap harta warisan yang telah diterima dengan hak istimewa untuk pendaftaran harta peninggalan. Penjelasan Pasal 276 Cukup jelas. Bagian Kesebelas Penjualan Barang Bergerak Dan Tanah Yang Termasuk Dalam Barang Tak Terurus Pasal 277 Penjualan barang bergerak dan tanah yang termasuk dalam barang tak terurus, Balai Harta Peninggalan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 256, Pasal 257, dan Pasal 262. Penjelasan Pasal 277 Cukup jelas. Bagian Keduabelas Perhitungan dan Pertanggungjawaban Pasal 278 Orang yang wajib mengadakan perhitungan, akan tetapi lalai mengadakan perhitungan, dipanggil ke persidangan dengan cara biasa dan perkaranya diperiksa menurut acara biasa. Penjelasan Pasal 278 Cukup jelas. Pasal 279 (1) Dalam hal putusan hakim memerintahkan untuk diadakan perhitungan, diangkat seorang hakim Pengawas dan dihadapannya dilakukan perhitungan. (2) Hakim Pengawas menetapkan hari diadakannya perhitungan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah diangkat. (3) Apabila pihak yang berkewajiban mengadakan perhitungan tidak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, atau tidak mengadakan perhitungan, maka atas permintaan pihak penggugat diadakan penyitaan dan penjualan barang pihak tergugat sampai sejumlah yang akan ditetapkan dalam putusan Pengadilan. (4) Atas perintah Hakim, paksaan badan terhadapnya dapat juga ditetapkan. Penjelasan Pasal 279 Cukup jelas. Pasal 280 Dalam hal suatu putusan hakim yang menolak tuntutan dibatalkan dalam tingkat banding, perhitungan dan pertanggungjawaban dilakukan di hadapan Hakim yang telah memeriksa pada tingkat pertama atau di hadapan hakim yang ditunjuk pada tingkat banding. Penjelasan Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 (1) Perhitungan memuat penerimaan dan pengeluaran yang sebenarnya. (2) Dalam hal penerimaan melebihi pengeluaran, maka pihak untuk siapa perhitungan diadakan dapat menuntut pada hakim pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar membayar kelebihan tersebut, tanpa adanya anggapan bahwa dengan demikian yang bersangkutan telah membenarkan perhitungan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 74 (3) Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan dalam bentuk putusan. Penjelasan Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 (1) Dalam hal penggugat tidak hadir pada waktu dilakukan perhitungan, maka berita acara perhitungan berikut bukti pendukungnya disampaikan kepadanya melalui Pengadilan. (2) Berita acara perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah diadakan perhitungan yang ditetapkan oleh hakim pengawas. Penjelasan Pasal 282 Cukup jelas. Pasal 283 (1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah pemberitahuan, maka pihak penggugat harus membenarkan perhitungan tersebut atau jika menolak, maka mengajukan bantahan atau perlawanan ke Pengadilan. (2) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah perlawanan atau bantahan diterima oleh Pengadilan, hakim pengawas memanggil para pihak datang menghadap pada jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun yang ditetapkan dalam surat panggilan, untuk menjelaskan tentang soal-soal yang disengketakan, dan jika mungkin, untuk mencapai kesepakatan tentang hal tersebut. (3) Dalam hal para pihak tidak dapat memperoleh kata sepakat, hakim pengawas membuat berita acara dan menyampaikan laporan kepada sidang pengadilan. (4) Pada hari sidang Pengadilan yang ditetapkan, para pihak harus hadir agar dapat menyampaikan kepentingan mereka secara lisan. Penjelasan Pasal 283 Cukup jelas. Pasal 284 Dalam putusan terhadap perkara bantahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1), dicatat seluruh jumlah penerimaan dan pengeluaran serta ditetapkan saldonya. Penjelasan Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Pembantah tidak dapat meminta perhitungan ulang atas dasar terjadi kekeliruan penghapusan, pos-pos palsu atau rangkap, kecuali perbaikan perhitungan. Penjelasan Pasal 285 Yang dimaksud dengan “pos-pos” adalah jenis penerimaan atau pengeluaran dalam pembukuan. Bagian Ketigabelas Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan di Pengadilan atau Konsinyasi Pasal 286 (1) Dalam hal kreditor menolak pembayaran, debitor dapat melakukan penawaran pembayaran tunai utangnya dan jika kreditor menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan. (2) Penawaran yang diikuti dengan penitipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membebaskan debitor dan berlaku baginya sebagai pembayaran, dengan ketentuan penawaran dilakukan dengan cara menurut Undang-Undang. (3) Barang yang dititipkan tetap atas tanggungan kreditor. Penjelasan Pasal 286 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 75 Pasal 287 Syarat-syarat sahnya penawaran pembayaran tunai: a. dilakukan kepada seorang kreditor atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya; b. dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar; c. mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan kemudian; d. piutang tersebut telah jatuh waktu; e. syarat timbulnya utang telah dipenuhi; f. penawaran dilakukan ditempat, dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan dan jika tiada suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut, kepada kreditor pribadi atau di alamat tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya; dan g. penawaran tersebut dilakukan oleh seorang notaris atau jurusita, kedua-duanya disertai dua orang saksi. Penjelasan Pasal 287 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ketentuan ini merupakan suatu utang yang digantungkan pada suatu syarat. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 288 (1) Notaris atau juru sita yang melakukan penawaran wajib membuat berita acara yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. macam dan jenis alat pembayaran yang ditawarkan yang cukup dananya dan dapat diuangkan; b. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penawaran dilakukan; c. jawaban kreditor atau jika yang bersangkutan tidak ada dari orang kepada siapa penawaran dilakukan. Jika jawaban berupa penolakan, Notaris atau juru sita memberitahukan kreditor bahwa apa yang ditawarkan akan dititipkan sesuai dengan Pasal 289; d. tanda tangan Notaris atau juru sita, saksi dan kreditor atau jika kreditor tidak ada, orang kepada siapa penawaran dilakukan; dan e. jika kreditor atau orang kepada siapa penawaran dilakukan menolak untuk menandatangani atau menerangkan tidak dapat menandatangani berita acara penawaran, hal tersebut harus dimuat dalam berita acara. (2) Dalam hal pada waktu penawaran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada ditempat atau tidak dapat dijumpai, surat penawaran harus disampaikan kepada lurah atau kepada kepala desa atau nama lain yang sejenis yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal pihak kreditor. (3) Notaris atau jurusita wajib membuat salinan berita acara penawaran dan salinan tersebut wajib diserahkan kepada kreditor sendiri atau di alamat tempat tinggalnya. (4) Berita acara penawaran yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) batal karena hukum. Penjelasan Pasal 288 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 76 Pasal 289 Suatu penyimpanan sah, tidak perlu adanya kuasa dari Hakim, jika: a. sebelum penyimpanan tersebut kepada kreditor disampaikan suatu keterangan yang memuat penunjukan jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan tempat penyimpanan barang yang ditawarkan. b. debitor telah melepaskan barang yang ditawarkan tersebut dengan menitipkannya pada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan pada pengadilan yang akan mengadilinya jika ada perselisihan beserta bunga sampai pada saat penitipan. c. oleh notaris atau juru sita masing-masing disertai dua orang saksi dibuat berita acara yang menerangkan jenis mata uang yang disampaikan, penolakan kreditor, atau ketidakdatangannya untuk menerima uang tersebut, dan akhirnya pelaksanaan penyimpanan tersebut sendiri. d. kreditor tidak datang untuk menerimanya berita acara penitipan diberitahukan kepadanya dengan peringatan untuk mengambil yang dititipkan tersebut. Penjelasan Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Selama yang dititipkan tidak diambil oleh kreditor, debitor dapat mengambilnya kembali, dalam hal tersebut orang yang turut berutang dan para penanggung utang tidak dibebaskan. Penjelasan Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 (1) Dalam hal yang harus dibayarkan berupa sesuatu barang yang harus diserahkan ditempat barang tersebut berada maka debitor harus memperingatkan kreditor dengan perantaraan pengadilan supaya mengambilnya dengan sepucuk akta yang harus diberitahukan kepada kreditor pribadi atau kepada alamat tempat tinggalnya, maupun kepada alamat tempat tinggal yang dipilih untuk pelaksanaan perjanjian. (2) Dalam hal peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dijalankan dan kreditor tidak mengambil barangnya paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah pengadilan memberitahukan, maka debitor dapat diizinkan oleh Hakim untuk menitipkan barang tersebut di suatu tempat lain. Penjelasan Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Apabila debitor sudah memperoleh suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan dengan putusan tersebut penawaran yang dilakukannya telah dinyatakan sah, yang bersangkutan tidak dapat lagi mengambil kembali apa yang dititipkan untuk kerugian teman-temannya berutang dan para penanggung utang meskipun dengan izin debitor. Penjelasan Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 (1) Gugatan untuk pernyataan sah dan berharga atau pernyataan batal dari penawaranpenawaran yang diajukan atau dari penitipan diperiksa seperti gugatan biasa. (2) Dalam hal penawaran atau penitipan demikian itu terjadi dalam perkara yang bergantung maka hal tersebut diperiksa sebagai suatu gugatan insidentil. Penjelasan Pasal 293 Cukup jelas. Pasal 294 Penitipan sukarela atau penitipan di pengadilan tidak mengurangi hak-hak yang timbul dari penyitaan yang telah dilakukan jika hal tersebut telah terjadi, dan diberitahukan oleh juru sita kepada orang yang meletakkan sita dan pelawan-pelawan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 77 Penjelasan Pasal 294 Cukup jelas. Bagian Keempatbelas Pelepasan Harta Kekayaan Pasal 295 Pelepasan harta kekayaan terjadi jika debitor yang tidak mampu untuk membayar utangnya, menyerahkan semua barang miliknya kepada para kreditor. Penjelasan Pasal 295 Cukup jelas. Pasal 296 (1) Pelepasan harta kekayaan memerlukan penerimaan secara sukarela oleh para kreditor. (2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai akibat lain daripada apa yang bersumber pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang dibuat antara mereka dan debitor. (3) Pelepasan harta kekayaan tidak memindahkan hak milik pada para kreditor. (4) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya memberi hak untuk menjual barang tersebut untuk keuntungan mereka, dan untuk menarik hasil-hasil sampai terjadinya penjualan. (5) Sisa dari hasil penjualan sesudah pemenuhan pembayaran kepada kreditor, dibayarkan kepada debitor. Penjelasan Pasal 296 Cukup jelas. Bagian Kelimabelas Uang Paksa Pasal 297 (1) Atas tuntutan salah satu pihak, Hakim dapat menghukum pihak yang kalah untuk membayar uang paksa, dalam hal pihak tersebut tidak memenuhi hukuman pokok, dengan tidak mengurangi hak pihak yang bersangkutan atas ganti rugi apabila ada dasar hukumnya. (2) Uang paksa hanya dapat dijatuhkan dalam hal hukuman pokok yang tidak merupakan hukuman menyerahkan sejumlah uang. (3) Tuntutan uang paksa dapat juga diajukan dalam perkara perlawanan. (4) Uang paksa tidak dapat ditagih sebelum putusan penghukuman uang paksa diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan. (5) Dalam putusan hakim ditentukan kapan uang paksa dapat ditagih. (6) Uang paksa berlaku paling lama 6 (enam) bulan terhitung setelah tanggal putusan tersebut diberitahukan kepada terhukum. Penjelasan Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Hakim dalam putusannya wajib menentukan besarnya uang paksa yang harus dibayar sekaligus untuk waktu tertentu atau untuk setiap hari keterlambatan melaksanakan kewajiban atau setiap kali melakukan pelanggaran. Penjelasan Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Uang paksa yang sudah dapat ditagih menjadi hak penuh dari pihak yang menang dan pihak tersebut dapat meminta pelaksanaan putusan uang paksa. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 78 Penjelasan Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 300 Atas permohonan dari pihak yang dihukum untuk membayar uang paksa, ketua Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pembayaran uang paksa dapat membatalkan hukuman, memperpendek masa berlaku, atau mengurangi jumlah uang paksa, dalam hal: a. pihak yang dihukum untuk membayar uang paksa untuk sementara atau untuk waktu yang tetap berada dalam keadaan tidak mampu memenuhi sama sekali seluruhnya atau sebagian hukuman pokok; b. keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus terjadi setelah uang paksa dapat ditagih. Penjelasan Pasal 300 Cukup jelas. Pasal 301 (1) Selama kepailitan dari terhukum uang paksa tidak dapat dimintakan pelaksanaannya. (2) Uang paksa yang sudah dapat ditagih sebelum terhukum dinyatakan pailit, tagihan pembayaran uang paksa tersebut diajukan kepada kurator. (3) Dalam hal terhukum meninggal dunia, uang paksa yang sudah dapat ditagih, sebelum terhukum meninggal dapat dimintakan pelaksanaan penagihannya kepada ahli warisnya melalui penetapan pengadilan. (4) Atas permohonan ahli waris, Ketua Pengadilan dapat membatalkan, mengurangi, atau mengubah syarat-syarat mengenai uang paksa tersebut. Penjelasan Pasal 301 Cukup jelas. Bagian Keenambelas Sita Jaminan Terhadap Saham dan Surat Berharga Lainnya Pasal 302 (1) Ketentuan mengenai upaya menjamin hak sebagaimana dimaksud dalam Bab VI berlaku terhadap: a. sita surat berharga atas tunjuk; b. saham atas nama perseroan terbatas atau perseroan terbuka; dan c. surat berharga atas nama yang bukan saham; (2) Surat tanda bukti keanggotaan dari suatu perkumpulan dianggap sebagai surat berharga atas nama jika surat tersebut dapat dipindahtangankan. Penjelasan Pasal 302 Cukup jelas. Pasal 303 (1) Keuntungan saham dan surat berharga yang bukan saham yang berupa uang dan barang bernilai lainnya termasuk dalam sitaan. (2) Hak suara dan kewenangan lain yang melekat pada saham atau surat berharga yang bukan saham yang disita dan tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjadi hak pihak tersita. (3) Dalam hal diminta oleh tersita, penyimpan berkewajiban untuk memberikan surat bukti dan selanjutnya melakukan tindakan yang diperlukan untuk memungkinkan agar pemilik saham dan surat berharga yang bukan saham dapat menggunakan haknya. Penjelasan Pasal 303 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “barang bernilai lainnya” antara lain “tentiem”. Ayat (2) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 79 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 304 (1) Sita terhadap saham atas nama suatu Perseroan Terbatas atau Perseroan Terbuka dilakukan oleh juru sita dengan memberitahukan 3 (tiga) hari sebelumnya tentang akan dilaksanakannya sita tersebut pada perseroan yang bersangkutan. (2) Dalam berita acara sita disebutkan jumlah dan nomor saham yang disita. (3) Salinan surat pemberitahuan harus diberikan kepada perseroan disertai dengan salinan putusan atau alas hak eksekusi lainnya yang menjadi dasar dilaksanakannya sita eksekusi. (4) Dalam buku register atau daftar pemegang saham segera dibuat catatan sita tersebut yang ditandatangani oleh wakil perseroan yang sah dan juru sita dengan menyebutkan jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun, saat sita diletakkan, nama dari pemohon sita dan jumlah serta nomor dari saham yang disita. (5) Perseroan dan setiap orang yang bekerja pada perseroan tersebut yang mempunyai wewenang untuk masuk ke ruangan dimana buku daftar pemegang saham disimpan, wajib memberikan bantuan agar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlaksana. (6) Dalam hal sebelum sita dilaksanakan terhadap saham, perseroan telah mengeluarkan surat saham, wakil perusahaan wajib memberitahukan hal tersebut pada waktu sita dilakukan. (7) Dalam hal tidak didapat bantuan dari orang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka orang tersebut dihukum untuk membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh Hakim (8) Dalam hal anggaran dasar perseroan menentukan bahwa pengalihan atau penyerahan saham atas nama selalu atau dalam keadaan tertentu harus terjadi dengan penyerahan surat saham pada pihak yang berhak menerima penyerahan saham atau pada pembeli saham maka penyerahan tetap dilakukan dengan pemberitahuan dan pencatatan pada daftar pemegang saham perusahaan yang menerbitkan saham atas nama tersebut. Penjelasan Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 (1) Juru sita harus segera, pada hari yang sama memberitahukan secara tertulis mengenai sita yang dilakukan pada pihak tersita. (2) Dengan ancaman batalnya sita yang telah dilakukan, juru sita dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah dilakukan sita harus memberikan salinan resmi berita acara sita pada pihak tersita. Penjelasan Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Saham yang telah disita tidak dapat dipindahtangankan atau dijaminkan. Penjelasan Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah sita dilakukan, perseroan harus memberitahukan secara tertulis kepada pengadilan yang melakukan sita mengenai hak yang telah didapat oleh saham sebelum disita, dengan menyebutkan nama dan tempat tinggal orang yang berhak. Penjelasan Pasal 307 Cukup jelas. Pasal 308 (1) Ketua Pengadilan sebelum mengeluarkan penetapan menjual lelang terlebih dahulu memanggil pemohon sita, termohon eksekusi, pengurus perseroan, dan apabila dianggap perlu orang lain yang berkepentingan untuk didengar. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 80 (2) Ketua Pengadilan dalam penetapannya menentukan dengan cara dan syarat penjualan dan penyerahan harus dilakukan. Penjelasan Pasal 308 Cukup jelas. Bagian Ketujuhbelas Sita Atas Pesawat Terbang Pasal 309 Kecuali ditentukan lain sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketujuhbelas, penyitaan terhadap pesawat terbang berlaku ketentuan mengenai upaya menjamin hak sebagaimana dimaksud dalam Bab VI. Penjelasan Pasal 309 Cukup jelas Pasal 310 (1) Penyitaan terhadap pesawat terbang tidak dapat dilaksanakan terhadap: a. pesawat terbang yang khusus digunakan untuk keperluan negara asing, termasuk di dalamnya angkutan pos, kecuali angkutan perdagangan; b. pesawat terbang yang nyata-nyata digunakan pada lalu lintas udara secara teratur untuk angkutan umum dan pesawat terbang cadangan yang mutlak harus disediakan untuk itu; dan c. pesawat terbang lain yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang dengan pembayaran, jika pesawat telah siap berangkat untuk pengangkutan sedemikian, kecuali: 1. apabila sita diletakkan untuk suatu utang yang dibuat untuk keperluan perjalanan yang segera akan dilakukan oleh pesawat terbang tersebut; atau 2. untuk suatu utang yang timbul selama penerbangan tersebut. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap sita yang diletakkan berkenaan dengan tuntutan kembali atas suatu pesawat terbang yang diambil secara tidak sah. Penjelasan Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 (1) Sita tidak dapat diletakkan atas pesawat terbang, apabila untuk menghindarinya telah diberi jaminan yang cukup. (2) Pengangkatan sita segera diperintahkan atas sita yang telah diletakkan apabila diberi jaminan yang cukup. (3) Jaminan yang mencukupi adalah: a. jaminan yang menutup jumlah dari tuntutan utang dan biaya lain untuk dibayarkan kepada kreditor; b. dalam hal nilai jaminan tersebut menutup nilai atau harga dari pesawat terbang tersebut; atau c. dalam hal nilai atau harga pesawat terbang tersebut lebih kecil dari jumlah utang dan biayanya. (4) Dalam hal pada waktu menawarkan jaminan untuk menghindarkan penyitaan terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah atau jenis jaminan maka ketua pengadilan dalam daerah mana pesawat terbang tersebut berada atas permohonan dari pihak yang paling siap, memutuskan sesudah mendengar atau memanggil dengan cukup pihak lawan atau wakilnya. (5) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan surat tercatat atau oleh juru sita. Penjelasan Pasal 311 Ayat (1) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 81 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Panggilan ini dilakukan oleh juru sita dengan cara penyampaian surat panggilan yang tanda terimanya ditandatangani oleh yang dipanggil. Pasal 312 (1) Menjual lelang pesawat terbang dilakukan setelah diumumkan 2 (dua) kali dalam jangka waktu 8 (delapan) hari secara berturut-turut dalam surat kabar harian yang terbit di kota dimana menjual lelang akan dilakukan. (2) Dalam hal di kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada surat kabar harian yang terbitkan, maka pengumuman dilakukan dalam harian yang terbit di kota terdekat di mana pesawat terbang tersebut akan di jual lelang. (3) Pelaksanaan menjual lelang pesawat terbang dilakukan dengan cara sebagaimana menjual lelang terhadap tanah. Penjelasan Pasal 312 Cukup jelas. Bagian Kedelapanbelas Sita Eksekusi dan Penjualan Terhadap Kapal Pasal 313 (1) Kapal laut yang siap untuk berlayar tidak dapat disita kecuali untuk utang yang dibuat bagi keperluan perjalanan yang akan dilakukan kapal tersebut. (2) Penyitaan demikian dapat dihalangi dengan memberikan jaminan untuk utang tersebut. (3) Kapal dianggap siap berlayar apabila nahkoda mempunyai surat-surat untuk siap berlayar. Penjelasan Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 (1) Kreditor dari peserta pengusaha kapal tidak dapat menyita atau menjual seluruh kapal melainkan hanya dapat menyita bagian hak atas kapal dari peserta pengusaha kapal. (2) Penyitaan dilakukan dengan penetapan sita yang disampaikan kepada debitor, pemegang buku, dan pemegang perusahaan kapal. (3) Penjualan bagian hak kapal dilaksanakan sesuai dengan aturan tentang penjualan kapal dengan ketentuan bahwa pengumuman penjualan tidak ditempelkan pada kapal. Penjelasan Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 (1) Sita eksekusi terhadap kapal, termasuk terhadap kapal yang sedang dibangun, hanya dapat dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan atau berdasarkan alas hak lainnya yang sah. (2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelumnya harus diberitahukan kepada pemilik atau agennya, paling lambat 1 (satu) hari sebelum penyitaan dilaksanakan, dialamat tempat tinggal yang bersangkutan. (3) Dalam hal ada kekhawatiran, bahwa kapal tersebut akan segera diberangkatkan ketempat lain, penyitaan terhadap kapal segera dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan di daerah hukum kapal tersebut berada. Penjelasan Pasal 315 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 82 Pasal 316 (1) Penyitaan terhadap kapal harus dilaksanakan di atas kapal tersebut. (2) Dalam melaksanakan penyitaan, juru sita harus didampingi 2 (dua) orang saksi, yang nama, pekerjaan, dan alamat tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara penyitaan. (3) Berita acara penyitaan dan salinannya harus ditandatangani oleh juru sita dan dua orang saksi. Penjelasan Pasal 316 Cukup jelas. Pasal 317 Berita acara penyitaan harus memuat: a. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyitaan dilakukan; b. nama lengkap, pekerjaan, dan alamat tempat tinggal pemohon; c. alas hak yang menjadi dasar penyitaan; d. jumlah uang dari utang yang harus dibayar; e. pilihan alamat tempat tinggal oleh pemohon sita dalam daerah hukum Pengadilan kapal tersebut berada untuk dilakukan penjualan; f. nama lengkap, alamat tempat tinggal pemilik kapal, agen, pemegang buku dalam hal mereka diketahui, dan nama nahkoda; g. nama, jenis, dan luas ruang kapal; dan h. penyebutan perlengkapan kapal, termasuk alat-alat yang ada dan persediaan makanan yang terdapat dalam kapal tersebut. Penjelasan Pasal 317 Cukup jelas. Pasal 318 Juru sita harus menunjuk seorang penunggu yang harus tinggal dikapal tersebut, setelah mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah keberangkatan kapal. Penjelasan Pasal 318 Cukup jelas. Pasal 319 (1) Dalam hal yang disita adalah kapal atau saham atas kapal, yang ukuran isi kotor sekurangkurangnya 20 m3 (dua puluh meter kubik) atau yang nilainya sama dengan itu, maka berita acara penyitaan harus dicatat dalam buku register yang khusus disediakan untuk itu dan terbuka untuk umum di Pengadilan dalam daerah hukum penyitaan tersebut dilaksanakan. (2) Dalam hal kapal tersebut telah terdaftar dalam buku induk register pendaftaran kapal, maka juru sita harus menyerahkan salinan resmi dari berita acara penyitaan kepada kantor pendaftaran kapal untuk dicatat dalam buku induk register pendaftaran kapal yang bersangkutan. (3) Terhitung setelah pencatatan penyitaan dalam buku induk register pendaftaran kapal, pemilik kapal, agennya, dan orang lain yang merasa berhak atas kapal dilarang untuk mengalihkan, menyewakan, atau menjaminkan kapal tersebut kepada pihak ketiga. (4) Semua perbuatan yang bertentangan dengan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), batal karena hukum. Penjelasan Pasal 319 Cukup jelas. Pasal 320 (1) Salinan berita acara penyitaan harus disampaikan oleh juru sita kepada pemilik kapal atau agennya di alamat tempat tinggalnya. (2) Dalam hal pemilik atau agennya bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang memerintahkan penyitaan, penyampaian salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah tanggal dilaksanakannya penyitaan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 83 (3) Dalam hal pemilik atau agennya bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan yang memerintahkan penyitaan, penyampaian salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal dilaksanakannya penyitaan. (4) Dalam hal pemilik kapal atau agennya bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia atau alamat tempat tinggalnya tidak diketahui, maka salinan berita acara penyitaan, diserahkan kepada Nakhoda kapal tersebut atau wakilnya. (5) Dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak mungkin dilaksanakan, maka salinan berita acara penyitaan ditempelkan di tempat yang mudah terbaca di atas kapal tersebut. (6) Dalam hal penyitaan dilaksanakan untuk suatu utang dengan hak didahulukan atau atas suatu hipotek atas kapal sebagai jaminan piutang, berita acara penyitaan tersebut harus diberitahukan kepada nahkoda kapal di atas kapal. Penjelasan Pasal 320 Cukup jelas. Pasal 321 (1) Menjual lelang kapal yang ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3 (dua puluh meter kubik) atau yang nilainya sama dengan itu, dilakukan setelah diumumkan 2 (dua) kali dalam jangka waktu 8 (delapan) hari secara berturut-turut dalam surat kabar harian yang terbit di kota dimana menjual lelang akan dilakukan. (2) Dalam hal di kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada surat kabar harian yang diterbitkan, maka pengumuman dilakukan dalam surat kabar harian yang terbit di kota terdekat tempat kapal tersebut akan di jual lelang. (3) Pelaksanaan menjual lelang kapal dilakukan dengan cara sebagaimana menjual lelang terhadap tanah. Penjelasan Pasal 321 Cukup jelas. Pasal 322 Penyitaan dan menjual lelang perahu dan kapal yang ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3 (dua puluh meter kubik) atau yang nilainya sama dengan itu dilakukan seperti penyitaan dan menjual lelang terhadap barang bergerak pada umumnya. Penjelasan Pasal 322 Cukup jelas. Pasal 323 (1) Pembeli yang telah diizinkan untuk membeli kapal wajib membayar harga pembelian kepada juru lelang paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah pelaksanaan menjual lelang. (2) Dalam hal waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembeli tidak memenuhi kewajibannya, terhadapnya dikenakan paksa badan. (3) Dalam hal setelah dikenakan paksa badan sebagaiman dimaksud pada ayat (2), pembeli tetap tidak melakukan pembayaran, kapal dijual lagi. (4) Pembeli baru dinyatakan sebagai pembeli yang sah, setelah yang bersangkutan membayar lunas harga kapal tersebut dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung setelah diadakan penempelan pengumuman sebagai pembeli atas biaya pembeli pertama. Penjelasan Pasal 323 Ayat (1) Penggunaan kata “wajib” dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa pembeli diwajibkan untuk melakukan pembayaran harga pembelian atau konsinyasi. Pembayaran harga pembelian tidak boleh melebihi waktu 8 (delapan) hari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 84 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 324 Penjualan kapal melalui kantor lelang berdasarkan Penetapan Pengadilan mengakibatkan kapal tersebut bebas dari segala utang dengan hak untuk didahulukan yang semula membebani kapal tersebut. Penjelasan Pasal 324 Cukup jelas. Bagian Kesembilan Belas Eksekusi Putusan Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Pasal 325 (1) Apabila seseorang dihukum untuk melakukan perbuatan dan perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan dalam Putusan Pengadilan, pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama secara tertulis atau lisan supaya kepentingan yang akan diperolehnya jika putusan tersebut dilaksanakan, dinilai dengan uang yang besarnya harus diberitahukan kepada Ketua Pengadilan. (2) Setelah Ketua Pengadilan memanggil secara sah pihak yang kalah dan mendengar keterangannya, Ketua Pengadilan menentukan besarnya nilai perbuatan yang tidak dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menghukum pihak yang kalah untuk membayar jumlah tersebut. Penjelasan Pasal 325 Ayat (1) Jika permohonan tersebut diajukan secara lisan, maka permohonan tersebut harus dicatat. Ayat (2) Ketua Pengadilan menetapkan besarnya nilai perbuatan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar jumlah yang dimohon atau kurang daripada itu. Bagian Kedua Puluh Ketentuan Lain-lain Pasal 326 (1) Dalam hal orang sudah dewasa, tetapi karena keterbelakangan mental atau karena sakit jiwa sehingga tidak mampu memelihara dirinya sendiri atau mengurus harta kekayaannya, maka istri, suami, atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau garis samping sampai dengan derajat ketiga dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk diangkat sebagai pengampu untuk memelihara orang tersebut dan mengurus harta kekayaannya. (2) Dalam hal orang yang sudah dewasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai istri, suami, atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau garis samping sampai dengan derajat ketiga, jaksa pada daerah hukum Pengadilan yang berwenang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan supaya diangkat seorang pengampu untuk memelihara orang tersebut dan mengurus harta kekayaanya. Penjelasan Pasal 326 Ayat (1) Mengenai penentuan ”keterbelakangan mental atau sakit jiwa” didasarkan atas keterangan ahli ilmu jiwa atau dokter yang berwenang. Ayat (2) Jaksa mengajukan permohonan berdasarkan surat kuasa khusus, bertindak untuk dan atas nama negara sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 85 Pasal 327 (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 ayat (1) diajukan kepada Ketua Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan. (2) Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memanggil pemohon, saksi, dan orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan pada hari sidang yang ditentukan. (3) Dalam hal orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan tidak datang ke persidangan pada hari yang telah ditentukan, Majelis Hakim melaksanakan sidang di tempat orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan berada. Penjelasan Pasal 327 Yang dimaksud dengan “di tempat orang yang akan ditaruh di bawah pengampuan berada” adalah alamat tempat tinggal, alamat tempat kediaman, atau tempat yang bersangkutan dirawat. Pasal 328 Apabila berdasarkan surat keterangan dokter dan keterangan para saksi cukup alasan untuk menaruh orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 di bawah pengampuan, permohonan dikabulkan dan Pengadilan mengangkat seorang pengampu yang mampu untuk memelihara orang yang diampu dan mengurus harta kekayaannya dengan sebaik-baiknya. Penjelasan Pasal 328 Cukup jelas. Pasal 329 (1) Dalam hal tidak terdapat lagi alasan untuk memberikan pengampuan, Pengadilan memberhentikan pengampuan tersebut. (2) Pemberhentian pengampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan orang yang ditaruh di bawah pengampuan. (3) Pemeriksaan permohonan dan penetapan pemberhentian pengampuan, dilakukan sesuai dengan tata cara pengangkatan pengampu. Penjelasan Pasal 329 Cukup jelas. Pasal 330 (1) Dalam hal pengampu diberhentikan karena penetapannya dicabut atau karena sebab lain, pengampu wajib memberi laporan tertulis mengenai pertanggungjawaban atas pengampuan yang dilaksanakan kepada orang yang dinyatakan tidak ada lagi alasan untuk ditaruh di bawah pengampuan. (2) Dalam hal orang yang dinyatakan tidak ada lagi alasan untuk ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, laporan tertulis mengenai pertanggungjawaban atas pengampuan disampaikan kepada ahli warisnya. Penjelasan Pasal 330 Cukup jelas. Pasal 331 (1) Dalam hal terdapat orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya tanpa memberi kuasa kepada seseorang untuk mewakili kepentingan dirinya dan mengurus harta kekayaannya atau mengatur urusan atau kepentingannya, maka dalam keadaan mendesak orang yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk menunjuk dirinya atau orang lain: a. sebagai wakil dari orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya; dan b. mengurus harta kekayaan orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya. (2) Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, panitera, dan juru sita, bersama-sama orang yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segera melakukan penyegelan, membuat daftar harta kekayaan orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya, serta membuat berita acara penyegelan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 86 (3) Berita acara penyegelan dan daftar harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, panitera, juru sita, dan orang yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Berita acara penyegelan dan daftar harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan pada persidangan yang ditentukan. (5) Pengadilan dengan penetapan menyerahkan pengurusan sementara harta kekayaan tersebut kepada orang yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Orang yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. membuat laporan pertanggungjawaban pengurusan harta kekayaan setiap tahun kepada Ketua Pengadilan; dan b. mengembalikan harta kekayaan yang diurus setelah dikurangi pembayaran utang dan seluruh pengeluaran biaya pengurusan, kepada orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya setelah orang tersebut datang kembali. Penjelasan Pasal 331 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “orang yang berkepentingan” adalah istri, suami, atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau garis samping sampai derajat ketiga dari orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya tersebut. Yang dimaksud dengan “Pengadilan yang berwenang” adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal terakhir dari orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya. Ayat (2) Pembuatan berita acara penyegelan dan daftar harta kekayaan dimaksudkan untuk mencegah agar harta kekayaan orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya tersebut tidak dikuasai oleh orang yang tidak berkepentingan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 332 (1) Dalam hal seseorang meninggalkan alamat tempat tinggalnya tanpa memberi kuasa kepada seseorang untuk mewakili kepentingan dirinya, mengurus harta kekayaannya, dan tidak mengatur urusan atau kepentingannya maka: a. setelah lewat waktu 5 (lima) tahun meninggalkan alamat tempat tinggalnya; atau b. 5 (lima) tahun setelah diperoleh berita terakhir bahwa orang tersebut masih hidup sedangkan selama waktu tersebut tidak ada berita lagi mengenai orang tersebut; maka baik telah dilakukan maupun belum dilakukan tindakan sementara oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331, atas permohonan orang yang berkepentingan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi alamat tempat tinggal orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya, Pengadilan memanggil orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya. (2) Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui surat kabar harian dan/atau media elektronik serta melalui pengumuman yang ditempelkan pada kantor Pengadilan dan kantor Pemerintah Daerah setempat, yang berlaku untuk selama 3 (tiga) bulan atau lebih sesuai dengan perintah Pengadilan. (3) Dalam hal setelah dipanggil sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau kuasanya tidak datang menghadap ke Pengadilan untuk menerangkan bahwa orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya masih hidup, atas permohonan orang yang berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan memerintahkan untuk dilakukan pemanggilan ulang. (4) Dalam hal setelah dilakukan pemanggilan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau kuasanya tidak datang menghadap ke Pengadilan, atas permohonan orang yang berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan memerintahkan untuk dilakukan pemanggilan kembali. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 87 Penjelasan Pasal 332 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengumuman melalui surat kabar harian dilakukan dalam surat kabar harian yang terbit di wilayah alamat tempat tinggal terakhir orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 333 (1) Apabila atas panggilan yang ketiga kali orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau kuasanya tidak menghadap untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan masih hidup maka Pengadilan dapat menjatuhkan penetapan yang menyatakan adanya dugaan hukum bahwa orang tersebut meninggal dunia setelah yang bersangkutan meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau setelah adanya kabar terakhir bahwa yang bersangkutan masih hidup. (2) Hari dan tanggal dugaan hukum bahwa orang tersebut telah meninggal dunia harus disebutkan dengan jelas dalam penetapan Pengadilan. Penjelasan Pasal 333 Cukup jelas. Pasal 334 (1) Pengadilan menjatuhkan penetapan yang menyatakan adanya dugaan hukum bahwa orang tersebut meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 setelah Pengadilan mendengar saksi dan memperhatikan: a. sebab-sebab ketidakhadiran orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau kuasanya; b. sebab-sebab yang merintangi penerimaan kabar dari orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atau kuasanya; dan c. hal ikwal lain yang berkenaan dengan dugaan kematian. (2) Pengadilan dapat menangguhkan untuk menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332. Penjelasan Pasal 334 Cukup jelas. Pasal 335 (1) Dalam hal sebelum orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya telah mengangkat seorang kuasa untuk mewakili mengurus harta kekayaan atau telah mengatur pengurusan harta kekayaannya, dan apabila 10 (sepuluh) tahun telah lewat setelah keberangkatnya atau setelah kabar terakhir bahwa yang bersangkutan masih hidup, sedangkan dalam waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut tidak pernah terdapat tanda-tanda yang bersangkutan masih hidup atau meninggal dunia maka orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya atas permintaan yang berkepentingan dapat dipanggil dan dinyatakan ada dugaan hukum bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dengan cara dan menurut ketentuan dalam Pasal 332, Pasal 333, dan Pasal 334. (2) Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tetap berlaku meskipun kuasa yang diberikan atau aturan mengenai pengurusan harta kekayaan yang dibuat oleh orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir terlebih dahulu. (3) Dalam hal surat kuasa atau aturan mengenai pengurusan harta kekayaan yang dibuat oleh orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya telah berakhir terlebih dahulu maka berlaku ketentuan dalam Pasal 331. Penjelasan Pasal 335 Cukup jelas. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 88 Pasal 336 (1) Tenggang waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) dan 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) dipersingkat menjadi 1 (satu) tahun dalam hal: a. orang yang meninggalkan alamat tempat tinggalnya adalah anak buah kapal atau penumpang kapal atau pesawat; b. orang yang hilang dalam hal kecelakaan yang menimpa kapal atau pesawat atau sebagian anak buahnya atau penumpangnya; atau c. orang yang hilang dalam bencana alam, peperangan, atau kerusuhan yang terjadi di sekitarnya. (2) Tenggang waktu 1 (satu) tahun dihitung setelah kabar terakhir diterima dari kapal atau pesawat atau dalam hal tidak ada berita, dihitung setelah kapal berlayar atau pesawat tinggal landas atau setelah bencana alam, peperangan, atau kerusuhan terjadi. Penjelasan Pasal 336 Cukup jelas. Pasal 337 Penetapan Pengadilan tentang adanya dugaan hukum tentang kematian, harus diumumkan dalam surat kabar harian dan/atau media elektronik yang sama yang mengumumkan pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2). Penjelasan Pasal 337 Cukup jelas. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 338 (1) Gugatan atau permohonan yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku sudah diajukan ke Pengadilan tetapi belum diperiksa, diadili, dan diputus maka gugatan atau permohonan tersebut diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Gugatan atau permohonan yang pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini sudah diperiksa dan tinggal diputus, maka gugatan atau permohonan tersebut tetap diputus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku mutatis mutandis bagi perkara di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 338 Cukup jelas. Pasal 339 (1) Putusan pengadilan yang pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini telah berkekuatan hukum tetap tetapi belum dilaksanakan, maka pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dalam proses pelaksanaan, maka pelaksanaannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama. Penjelasan Pasal 339 Cukup jelas. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 340 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Hukum Acara Perdata dinyatakan masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau peraturan pelaksanaan berdasarkan Undang- Undang ini belum ditetapkan. http://www.legalitas.org http://www.legalitas.org 89 Penjelasan Pasal 340 Yang dimaksud dengan ”Hukum Acara Perdata” adalah Het Herziene Indonesische Reglement (Staatsblad 1941:44) yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan Het Rechtsreglement Buitengewesten (Staatsblad 1927:227) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Staatsblad 1847:52 jo Staatsblad 1849:63) Pasal 341 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 1. Het Herziene Indonesische Reglement (Staatsblad 1941:44) yang berlaku untuk Jawa dan Madura; 2. Het Rechtsreglement Buitengewesten (Staatsblad 1927:227) yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura; 3. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Staatsblad 1847:52 jo Staatsblad 1849:63); 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah un 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), sepanjang yang berkaitan dengan ketentuan hukum acara perdata yang telah diatur dalam Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Penjelasan Pasal 341 Cukup jelas. Pasal 342 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Penjelasan Pasal 342 Cukup jelas. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, …………… Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, …………….

Julian Assange, Wikileaks dan Dekonstruksi Hegemoni

//
//
// 

//

Julian Paul Assange atau yang lebih kita kenal dengan nama Julian Assange lahir pada tanggal 3 Juli 1971 di Townsville, Queensland, Australia. Dia adalah Pendiri sekaligus Pemimpin redaksi dan juru bicara WikiLeaks. Wikileaks sendiri merupakan situs yang mempublikasikan dokumen rahasia pemerintah dan beberapa institusi.

Pada usia 11 hingga 16 tahun, Assange hidup dalam pelarian karena hubungan ibunya dengan seorang musisi dipenuhi kekerasan. Pada usia 18 tahun, dia memiliki seorang anak. Dia berpisah dengan istrinya pada tahun 1991, setelah polisi menyerang dan membawa putra mereka. Hingga tahun 1999, dia melakukan gugatan atas pengaturan hak asuh anaknya. Bersama dengan ibunya, Assange membentuk suatu kelompok aktivis Penyelidikan Orang Tua terhadap Perlindungan Anak. Kegiatan kelompok ini berpusat pada pembuatan bank data yang berisi catatan hukum terkait dengan isu hak asuh anak di Australia.

Pada tahun 1991, ketika Assange berusia 20 tahun, dia dan beberapa teman yang berprofesi sebagai hacker (pengacak komputer) memecahkan dan memasuki jaringan terminal Nortel, perusahaan telekomunikasi Kanada. Akibatnya, dia tertangkap dan dinyatakan bersalah atas 25 dakwaan yang dikenakan padanya. Dia harus membayar denda sejumlah ribuan dolar kepada pemerintah Australia, namun dibebaskan dari hukuman penjara.

Assange diketahui pernah belajar di enam universitas. Dari tahun 2003-2006, dia mempelajari fisika dan matematika di Universitas Melbourne. Selain itu, dia juga mempelajari filosofi dan neurosains. Pada tahun 1990-an, Assange bekerja sebagai perancang program perangkat lunak yang mengatur keamana komputer di Australia dan luar negeri. Di tahun 1997, dia ikut menciptakan Rubberhose deniable encryption, suatu sistem kriptografi yang dibuat untuk pekerja hak asasi manusia untuk melindungi data sensitif di lapangan dan dia juga menjadi salah satu tokoh kunci dalam gerakan pembebasan perangkat lunak.

Jaksa Swedia menjatuhkan tuduhan kepada Assange atas pemerkosaan, pelecehan seksual, dan pemaksaan yang dilaporkan oleh dua wanita. Tuduhan tersebut diumumkan pada Agustus 2010, kemudian dibatalkan dan setelah itu diperbaharui kembali. Pada 24 November 2010, pengadilan Swedia menolak usaha banding Assange atas perintah penahanan yang dijatuhkan kepadanya. Kasus ini masih ditangani oleh Mahkamah Agung.

Julian Assange dan WikiLeaks

Di tahun 2006, Assange memutuskan untuk mendirikan WikiLeaks. Hal ini dilakukannya karena dia yakin bahwa pertukaran informasi akan mengakhiri pemerintahan yang tidak sah. Situs tersebut memiliki server utama di Swedia dan menerbitkan berbagai bahan dari berbagai sumber. Terkadang, dia dan beberapa rekan di WikiLeaks menyusup ke dalam sistem keamanan untuk mencari dokumen dan kemudian mempublikasikannya. WikiLeaks tidak menggaji Assange, namun dia memiliki investasi yang tidak diungkapkannya.Sekarang banyak polisi internasional bekerja sama untuk memburu Assange untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam kebocoran informasi rahasia milik negara..

Wikileaks adalah organisasi internasional yang bermarkas di Swedia.[2] Situs Wikileaks menerbitkan dokumen-dokumen rahasia sambil menjaga kerahasiaan sumber-sumbernya. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006. Saat ini alamat situs telah dialihkan ke http://www.wikileaks.ch untuk alasan keamanan. Organisasi ini didirikan oleh disiden politik Cina, dan juga jurnalis, matematikawan, dan teknolog dari Amerika Serikat, Taiwan, Eropa, Australia, dan Afrika Selatan.[1] Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks.[3] Situs Wikileaks menggunakan mesin MediaWiki.
WikiLeaks telah memenangkan beberapa penghargaan, termasuk New Media Award dari majalah Economist untuk tahun 2008.[4] Pada bulan Juni 2009, WikiLeaks dan Julian Assange memenangkan UK Media Award dari Amnesty International (kategori New Media) untuk publikasi tahun 2008 berjudul Kenya: The Cry of Blood – Extra Judicial Killings and Disappearances,[5] sebuah laporan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya tentang pembunuhan oleh polisi di Kenya.[6] Pada bulan Mei 2010, New York Daily News menempatkan WikiLeaks pada peringkat pertama dalam “situs yang benar-benar bisa mengubah berita”.[7]
Pada Juli 2010, situs ini mengundang kontroversi karena pembocoran dokumen Perang Afganistan.[8] Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis kabel diplomatik Amerika Serikat.apa yang terjadi dengan Wikileaks adalah hasil dari tata dunia baru yang terbentuk pasca perang dingin dimana dalam era ini demaokrasi dan media melakukakan simbiosa mutualisma dan ini terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam era reformasi proses reformasi terjadi terobosan pada tingkat ideologi politik, globalisasi di segala bidang sebagai peluang memperluas wawasan geopolitik, perkembangan teknologi informasi digital sebagai cara memperlancar komunikasi politik, dan keterbukaan ekonomi melalui pasar bebas sebagai medan untuk memperluas pertukaran ekonomi-politik. 

Namun, meski semua kondisi itu telah terpenuhi, proses “percepatan demokrasi” tak kunjung datang. Alih-alih kian menguat, bangunan demokrasi justru kian “keropos”, dan wajah demokrasi tampil kian “palsu”, bahkan di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat. Di berbagai tempat proses demokratisasi dipenuhi intrik-intrik, jalan terjal, dan horor seperti ditunjukkan di Afganistan, Irak, dan Indonesia.
Masa transisi menuju demokrasi terlalu panjang, spirit perubahan terlalu lamban, dan kondisi turbulensi terlalu berlarut-larut, menimbulkan ketaksabaran, keputusasaan, dan frustrasi. Kemacetan demokratisasi membangkitkan spirit “negativitas demokrasi” (democracy negativity), berupa sikap-sikap sinis, apatis bahkan fatalistik terhadap demokrasi, yang dianggap terlalu “elitis”, karena hanya dinikmati elite tertentu, sementara rakyat tak mampu mengubah nasib.
Ada “hantu-hantu demokrasi”, berupa “jejaring kekuasaan” extra-nation state (teroris, narkoba, subkultur, kapitalis, cyberspace) yang memacetkan jalan demokrasi.
“Kuasa rakyat” (demos) sebagai pilar demokrasi kini diambil alih “kuasa jaringan” (netos), sehingga kekuasaan tertinggi yang secara de jure ada di tangan rakyat, kini secara de facto beralih pada “kekuasaan jaringan”, dengan medan “kedaulatan” sendiri, yang menjadi “parasit’’ di dalam sistem demokrasi.
Parasit demokrasi
Jacques Derrida dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1994) menjelaskan, “hantu” (specter) sebagai segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem, ideologi, atau rezim—terutama yang telah “mati”—yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim (demokratis) yang baru. “Hantu-hantu” itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai parasit, yang mengancam keberlanjutan sistem itu.
Proses demokratisasi yang berlangsung di atas tubuh bangsa ini kerap dibayangi “hantu-hantu” itu, yang menyebabkan berjalan amat lamban, chaotic, dan terancam masa depannya.
Pertama, “hantu totalitarianisme”, yang bangkit dalam wujud baru, yaitu (1) “fasis-fasis kecil” (micro-fascism) dalam sistem otonomi daerah; (2) “fasisme massa” (mass fascism) berupa pemaksaan kehendak (organisasi) massa melalui aneka kekerasan massa (penyerangan, penghancuran, pembakaran); dan (3) “fasisme media” (media fascism) berupa kecenderungan “totaliter” media (elektronik) dalam membentuk pikiran dan kesadaran massa, tanpa diimbangi kontrol dan pengawasan.
Kedua, “hantu fundamentalisme”, baik fundamentalisme agama, politik, maupun ekonomi. Isu terorisme global dapat dilihat dalam skema perseteruan antara satu “fundamentalis agama” dan “fundamentalisme agama” lainnya, yang menggunakan negara sebagai “medan permainan”. Dalam program antiterorisme Presiden George W Bush, fundamentalisme agama, politik, dan ekonomi dikombinasikan sebagai “kendaraan” melawan terorisme atas nama demokrasi.
Ketiga, “hantu anarkisme”, berupa spirit “pembangkangan sipil” (civil disobedience) terhadap otoritas negara, dengan merebaknya tafsir bebas, cara kekerasan dan tindak main hakim sendiri aneka kelompok tertentu, untuk menyelesaikan aneka persoalan publik (tempat perjudian, minuman keras, dan pornografi) yang tidak dapat diatasi negara. Sebaliknya, pelaku pornografi dan tindak sosial memperjuangkan “kebebasan ekspresi tanpa batas” (baca: anarkis) juga atas nama demokrasi.
Keempat, “hantu informasionisme” (specter of informationism). Politik abad informasi amat menggantungkan diri pada kekuatan tekno-media (techno-mediatic power) sebagai aparatus komunikasi aneka gagasan politik. Tetapi, dengan terbukanya media bagi aneka manipulasi citra, virtualitas politik yang diharapkan dapat memperkokoh bangunan demokrasi, malah mengancam masa depan demokrasi sendiri, karena runtuhnya kebenaran (truth) di dalamnya.
Demokrasi atau netokrasi?
Dalam era politik virtual (virtual politics) yang dibangun tidak lagi oleh kekuatan geopolitik, tetapi oleh kekuatan “politik jaringan” (politics of network), terutama jaringan televisi dan internet, “kedaulatan” kini kehilangan sistem hierarki dan klasifikasinya. “Hantu-hantu jaringan” (teroris, narkoba, kapitalis, subkultur, cyberspace) yang hidup di atas tubuh negara demokratis mengembangkan “sistem kedaulatan” sendiri, “melampaui” kedaulatan negara dan mengancam sistem demokrasinya.
Alexander Bard dan Jan Soderqvist, dalam Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism (2002) menyebut kecenderungan beralihnya kuasa “rakyat” (demos) ke “kuasa jaringan” (netos), sebagai peralihan demokrasi menuju netokrasi (netocracy). Dalam kuasa jaringan seperti internet tidak ada yang disebut “rakyat”, digantikan para individu bebas, yang tidak terikat sistem demokratis mana pun.
Terorisme adalah “jaringan” seperti itu, yang tak mengenal kekuasaan, rakyat, dan teritorial kekuasaan, tetapi mampu membangun sistem “kedaulatan” sendiri. Meski tanpa institusi kekuasaan, “kekuasaan nyata” terorisme ada di mana-mana; meski tanpa teritorial, teroris dapat menggelar kekuatan di teritorial mana pun (deterritorialisation); meski tanpa “rakyat”, teroris dapat merekrut para individu dari ras, bangsa, dan agama mana pun. Jaringan kapitalisme, narkoba, subkultur, atau komunitas virtual mempunyai cara kerja serupa.
Dihuni “hantu-hantu”, masa depan demokrasi menjadi semacam “demokrasi bayang-bayang”, di dalamnya geopolitik diambil alih “netopolitik” (neto-politics), komunikasi politik digantikan simulasi politik, rakyat menjadi komunitas virtual, fundamentalisme menggerogoti demokrasi, dan demos menjelma menjadi netos. Demokrasi hanya tampak pada citra permukaan, sementara dalam tubuh demokrasi hidup spirit-spirit anti-demokrasi, the specters of democracy.

apa yang kita saksikan sekarang dengan Wikileaks beserta Julian Assangenya adalah suatu ironi zaman karena negara sebesar Amerika Serikat yang merupakan pemegang hegemoni duni era pasca perang dingin dan berambisi menjadi logosentrisme dalam segala hal akhirnya menjadi bulan-bulan dari sebuah situs yang bernama Wikileaks karena Amerika Serikat dalam hegemoni global sekarang yang ingin dipegangnya justru terjebak dalam teknokogi informasi yang menjadi kekuatan dari Amerika Serikat sendiri , dan kemampuan WIkileaks dalam semesta informasi melalui teknologi informasi ( cyber) mampu menelanjangi segala intrik-intrik dan kebusukan poitik AMerika SErikat tidak hanya terhadap lawan dari Amerika Serikat sendiri tetapi juga terhadap para sekutu dekatnya , sehingga apa yang disebut dengan double standard dari kebijakan poitik ( luar negeri) Amerika menjadi benar adanya dan tak terbantahkan , dan konyolny sikap Amerika Serikat dan negara sekutunya menghadapi fenomena WIkileaks sunggullah memalukan karena menghadapinya secara reaktif dan emosional dangkal dengan menangkap Julian Assange di Inggris dengan tuduhan yang bisa dibilang dibuat-buat, Amerika Serikat dan negara -negara yang membenci sepak terjang Wikileaks tidak sadar bahwa dalam era sekarang kekuatan dari suatu kekuasaan bukan terletak pada individu seperti Julian Assange tapi pada jaringan yang terbentuk daripadanya , tidak saja dalam jaringan yang dibentuk Wikileaks sendiri tapi dari jaringan komunitas yang mnedukung Wikileaks itu sendiri , itu terbukti ketika Wikileaks ‘ dibunuh ‘ oleh negara seperti Amerika Serikat justru ribuan lebih para hacker di dunia menghidupkannya kembali , Episteme zaman ini meminjam definisi Michael Focault adalah kuasa sehingga siapa yang memiliki kuasa (power) adalah orang yang punya kekuasaan untuk mereproduksi pengetahuan, dan Wikileaks beserta julian assange adalah orang yang hidup dalam logika berpikir seperti ini.sehingga melalui upaya yang dilakukan oleh Wikileaks adalah dekonstruksi terhadap hegemoni ..

// //

ERICH FROMM

ERICH FROMM

1900 – 1980

 

Erich Fromm was born in 1900 in Frankfurt, Germany. His father was a business man and, according to Erich, rather moody. His mother was frequently depressed. In other words, like quite a few of the people we’ve looked at, his childhood wasn’t very happy.

Like Jung, Erich came from a very religious family, in his case orthodox Jews. Fromm himself later became what he called an atheistic mystic.

In his autobiography, Beyond the Chains of Illusion, Fromm talks about two events in his early adolescence that started him along his path. The first involved a friend of the family’s:

    Maybe she was 25 years of age; she was beautiful, attractive, and in addition a painter, the first painter I ever knew. I remember having heard that she had been engaged but after some time had broken the engagement; I remember that she was almost invariably in the company of her widowed father. As I remember him, he was an old, uninteresting, and rather unattractive man, or so I thought (maybe my judgment was somewhat biased by jealousy). Then one day I heard the shocking news: her father had died, and immediately afterwards, she had killed herself and left a will which stipulated that she wanted to be buried with her father. (p. 4)

As you can imagine, this news hit the 12 year old Erich hard, and he found himself asking what many of us might ask: why? Later, he began finding some answers — partial ones, admittedly — in Freud.

The second event was even larger: World War I. At the tender age of 14, he saw the extremes that nationalism could go to. All around him, he heard the message: We (Germans, or more precisely, Christian Germans) are great; They (the English and their allies) are cheap mercenaries. The hatred, the “war hysteria,” frightened him, as well it should.

So again he wanted to understand something irrational — the irrationality of mass behavior — and he found some answers, this time in the writings of Karl Marx.

To finish Fromm’s story, he received his PhD from Heidelberg in 1922 and began a career as a psychotherapist. He moved to the U.S. in 1934 — a popular time for leaving Germany! — and settled in New York City, where he met many of the other great refugee thinkers that gathered there, including Karen Horney, with whom he had an affair.

Toward the end of his career, he moved to Mexico City to teach. He had done considerable research into the relationship between economic class and personality types there. He died in 1980 in Switzerland.


TheoryAs his biography suggests, Fromm’s theory is a rather unique blend of Freud and Marx. Freud, of course, emphasized the unconscious, biological drives, repression, and so on. In other words, Freud postulated that our characters were determined by biology. Marx, on the other hand, saw people as determined by their society, and most especially by their economic systems.

He added to this mix of two deterministic systems something quite foreign to them: The idea of freedom. He allows people to transcend the determinisms that Freud and Marx attribute to them. In fact, Fromm makes freedom the central characteristic of human nature!

There are, Fromm points out, examples where determinism alone operates. A good example of nearly pure biological determinism, ala Freud, is animals (at least simple ones). Animals don’t worry about freedom — their instincts take care of everything. Woodchucks, for example, don’t need career counseling to decide what they are going to be when they grow up: They are going to be woodchucks!

A good example of socioeconomic determinism, ala Marx, is the traditional society of the Middle Ages. Just like woodchucks, few people in the Middle Ages needed career counseling: They had fate, the Great Chain of Being, to tell them what to do. Basically, if your father was a peasant, you’d be a peasant. If your father was a king, that’s what you’d become. And if you were a woman, well, there was only one role for women.

Today, we might look at life in the Middle Ages, or life as an animal, and cringe. But the fact is that the lack of freedom represented by biological or social determinism is easy. Your life has structure, meaning, there are no doubts, no cause for soul-searching, you fit in and never suffered an identity crisis.

Historically speaking, this simple, if hard, life began to get shaken up with the Renaissance. In the Renaissance, people started to see humanity as the center of the universe, instead of God. In other words, we didn’t just look to the church (and other traditional establishments) for the path we were to take. Then came the Reformation, which introduced the idea of each of us being individually responsible for our own soul’s salvation. And then came democratic revolutions such as the American and the French revolutions. Now all of a sudden we were supposed to govern ourselves! And then came the industrial revolution, and instead of tilling the soil or making things with our hands, we had to sell our labor in exchange for money. All of a sudden, we became employees and consumers! Then came socialist revolutions such as the Russian and the Chinese, which introduced the idea of participatory economics. You were no longer responsible only for your own well-being, but for fellow workers as well!

So, over a mere 500 years, the idea of the individual, with individual thoughts, feelings, moral conscience, freedom, and responsibility, came into being. but with individuality came isolation, alienation, and bewilderment. Freedom is a difficult thing to have, and when we can we tend to flee from it.

Fromm describes three ways in which we escape from freedom:

1. Authoritarianism. We seek to avoid freedom by fusing ourselves with others, by becoming a part of an authoritarian system like the society of the Middle Ages. There are two ways to approach this. One is to submit to the power of others, becoming passive and compliant. The other is to become an authority yourself, a person who applies structure to others. Either way, you escape your separate identity.

Fromm referred to the extreme version of authoritarianism as masochism and sadism, and points out that both feel compelled to play their separate roles, so that even the sadist, with all his apparent power over the masochist, is not free to choose his actions. But milder versions of authoritarianism are everywhere. In many classes, for example, there is an implicit contract between students and professors: Students demand structure, and the professor sticks to his notes. It seems innocuous and even natural, but this way the students avoid taking any responsibility for their learning, and the professor can avoid taking on the real issues of his field.

2. Destructiveness. Authoritarians respond to a painful existence by, in a sense, eliminating themselves: If there is no me, how can anything hurt me? But others respond to pain by striking out against the world: If I destroy the world, how can it hurt me? It is this escape from freedom that accounts for much of the indiscriminate nastiness of life — brutality, vandalism, humiliation, vandalism, crime, terrorism….

Fromm adds that, if a person’s desire to destroy is blocked by circumstances, he or she may redirect it inward. The most obvious kind of self-destructiveness is, of course, suicide. But we can also include many illnesses, drug addiction, alcoholism, even the joys of passive entertainment. He turns Freud’s death instinct upside down: Self-destructiveness is frustrated destructiveness, not the other way around.

3. Automaton conformity. Authoritarians escape by hiding within an authoritarian hierarchy. But our society emphasizes equality! There is less hierarchy to hide in (though plenty remains for anyone who wants it, and some who don’t). When we need to hide, we hide in our mass culture instead. When I get dressed in the morning, there are so many decisions! But I only need to look at what you are wearing, and my frustrations disappear. Or I can look at the television, which, like a horoscope, will tell me quickly and effectively what to do. If I look like, talk like, think like, feel like… everyone else in my society, then I disappear into the crowd, and I don’t need to acknowledge my freedom or take responsibility. It is the horizontal counterpart to authoritarianism.

The person who uses automaton conformity is like a social chameleon: He takes on the coloring of his surroundings. Since he looks like a million other people, he no longer feels alone. He isn’t alone, perhaps, but he’s not himself either. The automaton conformist experiences a split between his genuine feelings and the colors he shows the world, very much along the lines of Horney’s theory.

In fact, since humanity’s “true nature” is freedom, any of these escapes from freedom alienates us from ourselves. Here’s what Fromm had to say:

    Man is born as a freak of nature, being within nature and yet transcending it. He has to find principles of action and decision making which replace the principles of instincts. he has to have a frame of orientation which permits him to organize a consistent picture of the world as a condition for consistent actions. He has to fight not only against the dangers of dying, starving, and being hurt, but also against another anger which is specifically human: that of becoming insane. In other words, he has to protect himself not only against the danger of losing his life but also against the danger of losing his mind. (Fromm, 1968, p. 61)

I should add here that freedom is in fact a complex idea, and that Fromm is talking about “true” personal freedom, rather than just political freedom (often called liberty):  Most of us, whether they are free or not, tend to like the idea of political freedom, because it means that we can do what we want.  A good example is the sexual sadist (or masochist) who has a psychological problem that drives his behavior.  He is not free in the personal sense, but he will welcome the politically free society that says that what consenting adults do among themselves is not the state’s business!  Another example involves most of us today:  We may well fight for freedom (of the political sort), and yet when we have it, we tend to be conformist and often rather irresponsible.  We have the vote, but we fail to use it!  Fromm is very much for political freedom — but he is especially eager that we make use of that freedom and take the responsibility that goes with it.

Families

Which of the escapes from freedom you tend to use has a great deal to do with what kind of family you grew up in. Fromm outlines two kinds of unproductive families.

1. Symbiotic families. Symbiosis is the relationship two organisms have who cannot live without each other. In a symbiotic family, some members of the family are “swallowed up” by other members, so that they do not fully develop personalities of their own. The more obvious example is the case where the parent “swallows” the child, so that the child’s personality is merely a reflection of the parent’s wishes. In many traditional societies, this is the case with many children, especially girls.

The other example is the case where the child “swallows” the parent. In this case, the child dominates or manipulates the parent, who exists essentially to serve the child. If this sounds odd, let me assure you it is common, especially in traditional societies, especially in the relationship between a boy and his mother. Within the context of the particular culture, it is even necessary: How else does a boy learn the art of authority he will need to survive as an adult?

In reality, nearly everyone in a traditional society learns both how to dominate and how to be submissive, since nearly everyone has someone above them and below them in the social hierarchy. Obviously, the authoritarian escape from freedom is built-in to such a society. But note that, for all that it may offend our modern standards of equality, this is the way people lived for thousands of years. It is a very stable social system, it allows for a great deal of love and friendship, and billions of people live in it still.

2. Withdrawing families. In fact, the main alternative is most notable for its cool indifference, if not cold hatefulness. Although withdrawal as a family style has always been around, it has come to dominate some societies only in the last few hundred years, that is, since the bourgeoisie — the merchant class — arrive on the scene in force.

The “cold” version is the older of the two, found in northern Europe and parts of Asia, and wherever merchants are a formidable class. Parents are very demanding of their children, who are expected to live up to high, well-defined standards. Punishment is not a matter of a slap upside the head in full anger and in the middle of dinner; it is instead a formal affair, a full-fledged ritual, possibly involving cutting switches and meeting in the woodshed. Punishment is cold-blooded, done “for your own good.” Alternatively, a culture may use guilt and withdrawal of affection as punishment. Either way, children in these cultures become rather strongly driven to succeed in whatever their culture defines as success.

This puritanical style of family encourages the destructive escape from freedom, which is internalized until circumstances (such as war) allow its release. I might add that this kind of family more immediately encourages perfectionism — living by the rules — which is also a way of avoiding freedom that Fromm does not discuss. When the rules are more important than people, destructiveness is inevitable.

The second withdrawing kind of family is the modern family, found in the most advanced parts of the world, most notably the USA. Changes in attitudes about child rearing have lead many people to shudder at the use of physical punishment and guilt in raising children. The newer idea is to raise your children as your equals. A father should be a boy’s best buddy; a mother should be a daughter’s soul mate. But, in the process of controlling their emotions, the parents become coolly indifferent. They are, in fact, no longer really parents, just cohabitants with their children. The children, now without any real adult guidance, turn to their peers and to the media for their values. This is the modern, shallow, television family!

The escape from freedom is particularly obvious here: It is automaton conformity. Although this is still very much a minority family in the world (except, of course, on TV!), this is the one Fromm worries about the most. It seems to portent the future.

What makes up a good, healthy, productive family? Fromm suggests it is a family where parents take the responsibility to teach their children reason in an atmosphere of love. Growing up in this sort of family, children learn to acknowledge their freedom and to take responsibility for themselves, and ultimately for society as a whole.

The social unconscious

But our families mostly just reflect our society and culture. Fromm emphasizes that we soak up our society with our mother’s milk. It is so close to us that we usually forget that our society is just one of an infinite number of ways of dealing with the issues of life. We often think that our way of doing things is the only way, the natural way. We have learned so well that it has all become unconscious — the social unconscious, to be precise. So, many times we believe that we are acting according to our own free will, but we are only following orders we are so used to we no longer notice them.

Fromm believes that our social unconscious is best understood by examining our economic systems. In fact, he defines, and even names, five personality types, which he calls orientations, in economic terms!  If you like, you can take a personality test made up of lists of adjectives Fromm used to describe his orientations.  Click here to see it!

1. The receptive orientation. These are people who expect to get what they need. if they don’t get it immediately, they wait for it. They believe that all goods and satisfactions come from outside themselves. This type is most common among peasant populations. It is also found in cultures that have particularly abundant natural resources, so that one need not work hard for one’s sustenance (although nature may also suddenly withdraw its bounty!). it is also found at the very bottom of any society: Slaves, serfs, welfare families, migrant workers… all are at the mercy of others.

This orientation is associated with symbiotic families, especially where children are “swallowed” by parents, and with the masochistic (passive) form of authoritarianism. It is similar to Freud’s oral passive, Adler’s leaning-getting, and Horney’s compliant personality. In its extreme form, it can be characterized by adjectives such as submissive and wishful. In a more moderate form, adjectives such as accepting and optimistic are more descriptive.

2. The exploitative orientation. These people expect to have to take what they need. In fact, things increase in value to the extent that they are taken from others: Wealth is preferably stolen, ideas plagiarized, love achieved by coercion. This type is prevalent among history’s aristocracies, and in the upper classes of colonial empires. Think of the English in India for example: Their position was based entirely on their power to take from the indigenous population. Among their characteristic qualities is the ability to be comfortable ordering others around! We can also see it in pastoral barbarians and populations who rely on raiding (such as the Vikings).

The exploitative orientation is associated with the “swallowing” side of the symbiotic family, and with the masochistic style of authoritarianism. They are Freud’s oral aggressive, Adler’s ruling-dominant, and Horney’s aggressive types. In extremes, they are aggressive, conceited, and seducing. Mixed with healthier qualities, they are assertive, proud, captivating.

3. The hoarding orientation. hoarding people expect to keep. They see the world as possessions and potential possessions. Even loved ones are things to possess, to keep, or to buy. Fromm, drawing on Karl Marx, relates this type to the bourgeoisie, the merchant middle class, as well as richer peasants and crafts people. He associates it particularly with the Protestant work ethic and such groups as our own Puritans.

Hoarding is associated with the cold form of withdrawing family, and with destructiveness. I might add that there is a clear connection with perfectionism as well. Freud would call it the anal retentive type, Adler (to some extent) the avoiding type, and Horney (a little more clearly) the withdrawing type. In its pure form, it means you are stubborn, stingy, and unimaginative. If you are a milder version of hoarding, you might be steadfast, economical, and practical.

4. The marketing orientation. The marketing orientation expects to sell. Success is a matter of how well I can sell myself, package myself, advertise myself. My family, my schooling, my jobs, my clothes — all are an advertisement, and must be “right.” Even love is thought of as a transaction. Only the marketing orientation thinks up the marriage contract, wherein we agree that I shall provide such and such, and you in return shall provide this and that. If one of us fails to hold up our end of the arrangement, the marriage is null and void — no hard feelings (perhaps we can still be best of friends!) This, according to Fromm, is the orientation of the modern industrial society. This is our orientation!

This modern type comes out of the cool withdrawing family, and tend to use automaton conformity as its escape from freedom. Adler and Horney don’t have an equivalent, but Freud might: This is at least half of the vague phallic personality, the type that lives life as flirtation. In extreme, the marketing person is opportunistic, childish, tactless. Less extreme, and he or she is purposeful, youthful, social. Notice today’s values as expressed to us by our mass media: Fashion, fitness, eternal youth, adventure, daring, novelty, sexuality… these are the concerns of the “yuppie,” and his or her less-wealthy admirers. The surface is everything! Let’s go bungee-jumping!

5. The productive orientation. There is a healthy personality as well, which Fromm occasionally refers to as the person without a mask. This is the person who, without disavowing his or her biological and social nature, nevertheless does not shirk away from freedom and responsibility. This person comes out of a family that loves without overwhelming the individual, that prefers reason to rules, and freedom to conformity.

The society that gives rise to the productive type (on more than a chance basis) doesn’t exist yet, according to Fromm. He does, of course, have some ideas about what it will be like. He calls it humanistic communitarian socialism. That’s quite a mouthful, and made up of words that aren’t exactly popular in the USA, but let me explain: Humanistic means oriented towards human beings, and not towards some higher entity — not the all-powerful State nor someone’s conception of God. Communitarian means composed of small communities (Gemeinschaften, in German), as opposed to big government or corporations. Socialism means everyone is responsible for the welfare of everyone else. Thus understood, it’s hard to argue with Fromm’s idealism!

Fromm says that the first four orientations (which others might call neurotic) are living in the having mode. They focus on consuming, obtaining, possessing…. They are defined by what they have. Fromm says that “I have it” tends to become “it has me,” and we become driven by our possessions!

The productive orientation , on the other hand, lives in the being mode. What you are is defined by your actions in this world. You live without a mask, experiencing life, relating to people, being yourself.

He says that most people, being so used to the having mode, use the word have to describe their problems: “Doctor, I have a problem: I have insomnia. Although I have a beautiful home, wonderful children, and a happy marriage, I have many worries.” He is looking to the therapist to remove the bad things, and let him keep the good ones, a little like asking a surgeon to take out your gall bladder. What you should be saying is more like “I am troubled. I am happily married, yet I cannot sleep….” By saying you have a problem, you are avoiding facing the fact that you are the problem — i.e. you avoid, once again, taking responsibility for your life.

Orientation Society Family Escape from Freedom
Receptive Peasant society Symbiotic (passive) Authoritarian (masochistic)
Exploitative Aristocratic society Symbiotic (active) Authoritarian (sadistic)
Hoarding Bourgeois society Withdrawing (puritanical) Perfectionist to destructive
Marketing Modern society Withdrawing (infantile) Automaton conformist
Productive Humanistic communitarian
socialism
Loving and reasoning Freedom and responsibility acknowledged and accepted

Evil

Fromm was always interested in trying to understand the really evil people of this world — not just one’s who were confused or mislead or stupid or sick, but the one’s who, with full consciousness of the evil of their acts, performed them anyway: Hitler, Stalin, Charles Manson, Jim Jones, and so on, large and small.

All the orientations we’ve talked about, productive and non-productive, in the having mode or the being mode, have one thing in common: They are all efforts at life. Like Horney, Fromm believed that even the most miserable neurotic is at the least trying to cope with life. They are, to use his word, biophilous, life-loving.

But there is another type of person he calls necrophilous — the lovers of death. They have the passionate attraction to all that is dead, decayed, putrid, sickly; it is the passion to transform that which is alive into something unalive; to destroy for the sake of destruction; the exclusive interest in all that is purely mechanical. It is the passion “to tear apart living structures.”

If you think back to high school, you may remember a few misfits: They were real horror movie aficionados. They may have made models of torture devices and guillotines. They loved to play war games. They liked to blow things up with their chemistry sets. They got a kick out of torturing small animals. They treasured their guns. They were really into mechanical devices. The more sophisticated the technology, the happier they were. Beavis and Butthead are modeled after these kids.

I remember watching an interview on TV once, back during the little war in Nicaragua. There were plenty of American mercenaries among the Contras, and one in particular had caught the reporters eye. He was a munitions expert — someone who blew up bridges, buildings, and, of course, the occasional enemy soldier. When asked how he got into this line of work, he smiled and told the reporter that he might not like the story. You see, when he was a kid, he liked to put firecrackers up the backside of little birds he had caught, light the fuses, let them go, and watch them blow up. This man was a necrophiliac.

Fromm makes a few guesses as to how such a person happens. He suggested that there may be some genetic flaw that prevents them from feeling or responding to affection. It may also be a matter of a life so full of frustration that the person spends the rest of their life in a rage. And finally, he suggests that it may be a matter of growing up with a necrophilous mother, so that the child has no one to learn love from. It is very possible that some combination of these factors is at work. And yet there is still the idea that these people know what they are doing, are conscious of their evil, and choose it. It is a subject that would bear more study!

Biophilous Necrophilous
Having Mode Receptive
Exploitative
Hoarding
Marketing
Being Mode Productive

 
Human Needs

Erich Fromm, like many others, believed that we have needs that go far beyond the basic, physiological ones that some people, like Freud and many behaviorists, think explain all of our behavior.  He calls these human needs, in contrast to the more basic animal needs.  And he suggests that the human needs can be expressed in one simple statement:  The human being needs to find an answer to his existence.

Fromm says that helping us to answer this question is perhaps the major purpose of culture.  In a way, he says, all cultures are like religions, trying to explain the meaning of life.  Some, of course, do so better than others.

A more negative way of expressing this need is to say that we need to avoid insanity, and he defines neurosis as an effort to satisfy the need for answers that doesn’t work for us.  He says that every neurosis is a sort of private religion, one we turn to when our culture no longer satisfies.

He lists five human needs:

1. Relatedness

As human beings, we are aware of our separateness from each other, and seek to overcome it.  Fromm calls this our need for relatedness, and views it as love in the broadest sense.  Love, he says, “is union with somebody, or something, outside oneself, under the condition of retaining the separateness and integrity of one’s own self.” (p 37 of The Sane Society).  It allows us to transcend our separateness without denying us our uniqueness.

The need is so powerful that sometimes we seek it in unhealthy ways.  For example, some seek to eliminate their isolation by submitting themselves to another person, to a group, or to their conception of a God.  Others look to eliminate their isolation by dominating others.  Either way, these are not satisfying:  Your separateness is not overcome.

Another way some attempt to overcome this need is by denying it.  The opposite of relatedness is what Fromm calls narcissism. Narcissism — the love of self — is natural in infants, in that they don’t perceive themselves as separate from the world and others to begin with.  But in adults, it is a source of pathology.  Like the schizophrenic, the narcissist has only one reality:  the world of his own thoughts, feelings, and needs.  His world becomes what he wants it to be, and he loses contact with reality.

2. Creativity

Fromm believes that we all desire to overcome, to transcend, another fact of our being:  Our sense of being passive creatures.  We want to be creators.  There are many ways to be creative: We give birth, we plant seeds, we make pots, we paint pictures, we write books, we love each other.  Creativity is, in fact, an expression of love

Unfortunately, some don’t find an avenue for creativity.  Frustrated, they attempt to transcend their passivity by becoming destroyers instead.  Destroying puts me “above” the things — or people — I destroy.  It makes me feel powerful.  We can hate as well as love.  But in the end, it fails to bring us that sense of transcendence we need.

3. Rootedness

We also need roots.  We need to feel at home in the universe, even though, as human beings, we are somewhat alienated from the natural world.

The simplest version is to maintain our ties to our mothers.  But to grow up means we have to leave the warmth of our mothers’ love.  To stay would be what Fromm calls a kind of psychological incest.  In order to manage in the difficult world of adulthood, we need to find new, boader roots.  We need to discover our brotherhood (and sisterhood) with humanity.

This, too has its pathological side:  For example, the schhizophrenic tries to retreat into a womb-like existence, one where, you might say, the umbilical cord has never been cut.  There is also the neurotic who is afraid to leave his home, even to get the mail.  And there’s the fanatic who sees his tribe, his country, his church… as the only good one, the only real one.  Everyone else is a dangerous outsider, to be avoided or even destroyed.

4.  A sense of identity

“Man may be defined as the animal that can say ‘I.'” (p 62 of The Sane Society)  Fromm believes that we need to have a sense of identity, of individuality, in order to stay sane.

This need is so powerful that we are sometimes driven to find it, for example by doing anything for signs of status, or by trying desperately to conform.  We sometimes will even give up our lives in order to remain a part of our group.  But this is only pretend identity, an identity we take from others, instead of one we develop ourselves, and it fails to satisfy our need.

5. A frame of orientation

Finally, we need to understand the world and our place in it.  Again, our society — and especially the religious aspects of our culture — often attempts to provide us with this understanding.  Things like our myths, our philosophies, and our sciences provide us with structure.

Fromm says this is really two needs:  First, we need a frame of orientation — almost anything will do.  Even a bad one is better than none!  And so people are generally quite gullible.  We want to believe, sometimes even desperately.  If we don’t have an explanation handy, we will make one up, via rationalization.

The second aspect is that we want to have a good frame of orientation, one that is useful, accurate.  This is where reason comes in.  It is nice that our parents and others provide us with explanations for the world and our lives, but if they don’t hold up, what good are they?  A frame of orientation needs to be rational.

Fromm adds one more thing:  He says we don’t just want a cold philosophy or material science.  We want a frame of orientation that provides us with meaning.  We want understanding, but we want a warm, human understanding.


DiscussionFromm, in some ways, is a transition figure or, if you prefer, a theorist that brings other theories together. Most significantly for us, he draws together the Freudian and neo-Freudian theories we have been talking about (especially Adler’s and Horney’s) and the humanistic theories we will discuss later.  He is, in fact, so close to being an existentialist that it almost doesn’t matter! I believe interest in his ideas will rise as the fortune of existential psychology does.

Another aspect of his theory is fairly unique to him: his interest in the economic and cultural roots of personality. No one before or since has put it so directly: Your personality is to a considerable extent a reflection of such issues as social class, minority status, education, vocation, religious and philosophical background, and so forth. This has been a very under-represented view, perhaps because of its association with Marxism. But it is, I think, inevitable that we begin to consider it more and more, especially as a counterbalance to the increasing influence of biological theories.


ReferencesFromm is an excellent and exciting writer.  You can find the basics of his theory in Escape from Freedom (1941) and Man for Himself (1947).  His interesting treatise on love in the modern world is called The Art of Loving (1956).  My favorite of his books is The Sane Society (1955), which perhaps should have been called “the insane society” because most of it is devoted to demonstrating how crazy our world is right now, and how that leads to our psychological difficulties.  He has also written “the” book on aggression, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), which includes his ideas on necrophilia. He has written many other great books, including ones on Christianity, Marxism, and Zen Buddhism!


Copyright 1997, 2006  C. George Boeree

 

Qoutation from Erich Fromm’s The Art of Loving

Love is not a sentiment which can be easily indulged in by anyone, regardless of the level of maturity reached by him. All his attempts for love are bound to fail, unless he trys most actively to develope his total personality, so as to achieve a productive orientation; that satisfaction in individual love cannot be attained without the capacity to love one’s neighbour, without true humility, courage, faith and discipline. In a culture in which these qualities are rare, the attainment of the capacity to love must remain a rare achievement. Or – anyone can ask himself how many TRULY loving persons he he known. If two people who have been strangers, as all of us are, suddenly let the wall between them break down, and feel close, feel one, this moment of oneness is one of the most exhilarating, most exciting experiences in life. It is all the more wonderful and miraculous for persons who have been shut off, isolated, without love. This miracle of sudden intimacy is often facilitated if it is combined with, or initiated by, sexual attraction and consummation. However, this type of love is by its very nature not lasting. The two persons become well aquainted, their intimacy loses more and more of its miraculous character, until their antagonism, their disappointments, their mutual boredom kill whatever is left of the initial excitement. Yet, in the beginning they do not know all this: in fact, they take the intensity of the infatuation, this being “crazy” about each other, for proof of the intensity of their love, while it may only prove the degree of their preceding loniness. There is hardly any activity, any enterprise, which is started with such tremendous hopes and expectations, and yet, which fails so regularly, as love. If this were the case with any other activity, people would be eager to know the reasons for the failure, and to learn how one could do better – or they would give up the activity. The first thing we have to learn is that love is an art, just as living is an art; if we want to learn how to love we must proceed in the same way we have to proceed if we want to learn any other art. Maybe here lies the answer to the question of why people in our culture try so rarely to learn this art, in spite of their obvious failures: in spite of the deep-seated craving for love, almost everything else is considered to be more important than love: success, prestige, money, power – almost all our energy is used for learning of how to achieve these aims, and almost none to learn the art of loving. Could it be that only these things are considered worthy of being learned with which one can earn money or prestige, and that love, which ONLY profits the soul, but is profitless in the modern sense, is a luxury we have no right to spend much energy on? Man can only go forward by developing his reason, by finding a new harmony, a human one, instead of the prehuman harmony which is irretrievably lost. Man is gifted with reason; he is life being aware of itself. This awareness of himself as a separate entity, the awareness of his own short life span, of the fact that he will die before those whom he loves, or they before him, the awareness of his aloneness and separateness, of his helplessness before the forces of nature and of society, all this makes his separate, disunited existence an unbearable prison. He would become insane could he not liberate himself from the prison and reach out, unite himself in some form or other with others, with the world outside. The experience of separateness arouses anxiety; it is, indeed, the source of all anxiety. Being separate means being cut off, without any capacity to use my human powers. Beyond that, it arouses shame and the feeling of guilt. This experience of guilt and shame in separateness is expressed in the Biblical story of Adam and Eve… who, by recognising their separateness they remain strangers, because they have not yet learned to love each other; Adam defends himself by blaming Eve rather than trying to defend her. The deepest need of man, then, is the need to overcome his separateness, to leave the prison of his aloneness. The absolute failure to achieve this aim means insanity, because the panic of complete isolation can be overcome only by such a radical withdrawal from the world outside that the feeling of separation disappears – because the world outside, from which one is separated, has disappeared. In society the union with the group is the prevalent way of overcoming separateness. It is a union in which the individual self disappears to a large extent, and where the aim is to belong to the herd. If I am like everybody else, if I have no feelings or thoughts which make me different, if I conform in custom, dress, ideas, to the pattern of the group, I am saved; saved from the frightening experience of aloneness. The dictatorial systems use threats and terror to induce this conformity; the democratic countries, suggestion and propaganda. But in spite of this difference the democratic societies show an overwhelming degree of conformity.The reason lies in the fact that there has to be an answer to the quest for union, and if there is no other or better way, then the union of herd conformity becomes the predominant one. One can only understand the fear to be different, the fear to be only a few steps away from the herd, if one understands the depths of the need not to be separated. Most people are not even aware of their need to conform. They live under the illusion that they follow their own ideas and inclinations, that they are individualists, that they have arrived at their opinions as the result of their own thinking – and that it just happens that their ideas are are the same as the majority. The consensus of all serves as a proof for the correctness of “their” ideas. Since there is still a need to feel some individuality, such a need is satisfied with regard to minor differences; the initials on the handbag or sweater, the belonging to the Democrate rather than the Republican party, to the Elks instead of the Shriners become the expression of individual differences. The advertising slogan of “it is different” shows up this pathetic need for difference, when in reality there is hardy any left. Union by conformity is not intense and violent; it is calm, dictated by routine, and for this very reason often is insufficient to pacify the anxiety of separateness. The incidence of alcoholism, drug addiction, compulsive sexualism, and suicide in contemporary society are symptoms of this relative failure of herd conformity. This desire for interpersonal fusion is the most powerful striving in man. It is the most fundamental passion, it is the force which keeps the human race together. The failure to achieve it means insanity or destrution – self destruction or the destrution of others. Without love humanity could not exist. Mature love is union under the condition of preserving one’s integrity, one’s individuality. Love is an active power in man, a power which breaks through the walls which separate man from his fellow men, which unites him with others; love makes him overcome the sense of isolation and sepateness, yet permits him to be himself, to retain his integrity. In love the paradox occurs that two beings become one and yet remain two. Spinoza arrives at the conclusion that virtue and power are one and the same. Envy, jealousy, ambition towards any kind of greed are passions; love is an action, the practice of human power, which can be practised only in freedom and never as a result of a compulsion. Love is primarily giving, not receiving. Giving is the highest expression of potency. Giving is more joyous than receiving, not because it is deprivation, but because in the act of giving lies the expression of my aliveness. Whoever is capable of giving himself is rich. He experiences himself as one who can confer of himself to others. He gives of himself, of the most precious thing he has, he gives of his life. He gives what is live in him; he gives his joy, his intrest, his understanding, his knowledge, his humour, his sadness, he gives of all the expressions and manifestations of that which is alive in him. In thus giving of his life, he enriches the other person, he enchances the others sense of aliveness by enchancing his own sense of aliveness. In giving he cannot help bringing something to life in the other person, and this which is brought to life reflects back to him and they both share in the joy of what they have brought to life. Love is a power which produces love. You can exchange love only for love, confidence for confidence, etc. If you wish to enjoy an art, you must be an artistically trained person; if you wish to have an influence on other people you must be a person who has a really stimulating and furthering influence on other people. In the Book of Jonah, God explains to Jonah that the essence of love is to labour for something and to make something grow, that love and labour are inseparable. One loves that for which one labours, and one labours for that which one loves. Care and concern imply another aspect of love. Today responsibilty is often meant to denote duty, something imposed on one from the outside. But responsibility, in its TRUE sense, is an entirely voluntary act; it is my response to the needs of others. The loving person respondes. Responsibility could easily deteriorate into domination and possessiveness, were it not for a third component of love, respect. Respect is not fear or awe; it denotes the ability to see a person as he/she is, to be aware of the unique individuality. Respect means the concern that the other person should grow and unfold as they are. Respect, thus, implies the absense of exploitation. I want the loved person to grow and unfold for their own sake, and not for the purpose of serving me. If I love the other person, I feel one with him or her, but with them as they are, not as I need them to be as an object for my use. It is clear that respect is only possible if I have achieved independence, without having to exploit anyone else. Respect exists only on the basis of freedom, for love is the child of freedom, never that of domination. To respect a person is not possible without knowing him; care and responsibility would be blind if they were not guided by knowledge. Knowledge would be empty if it were not motivated by concern. There are many layers of knowledge; the knowledge which is an aspect of love is one which does not stay at the periphery, but penetrates to the core. It is possible only when I can transend the concern for myself and see the other person in his own terms. Care, responsibility, respect and knowledge are mutually interdependent. They are a syndrome of attitudes which are to be found in the mature person; that is the person who developes his own powers productively, who wants only to have that which he has worked for, who has given up narcissistic dreams of ominiscience and omnipotence, who has aquired humility based on inner strength which only genuine productive activity can give. If a person loves only one other person and is indifferent to the rest of his fellow men, his love is not love but a symbiotic attachment, or an enlarged egotism. Yet most people believe that love is constituted by the object, not by the faculty. In fact, they even believe that it is proof of the intensity of their love when they do not love anybody except the “loved” person. This is the same fallacy which I have already mentioned above. Because one does not see that love is an activity, a power of the soul, one believes that all that is necessary to find is the right object – and that everything goes by itself afterward. This attitude can be compared to that of the man who wants to paint but who, instead of learning the art, claims that he just has to wait for the right object – and that he will paint beautifully when he finds it. If I truly love one person I love all persons, I love the world, I love life. If I can say to somebody else, “I love you,” I must be able to say, “I love in you everybody, I love through you the world, I love in you also myself.” The most fundamental kind of love, which underlies all types of love, is brotherly love. By this I mean the sense of responsibility, care, respect, knowledge of any other human being, the wish to further his life. This is the kind of love the Bible speaks about when it says: Love your neighbour as yourself. Brotherly love is love for all human beings; it is characterized by its very lack of exlusiveness. If I have developed the capacity for love, then I cannot help loving my brothers. In brotherly love there is the experience of union with the whole of mankind, of human solidarity. Brotherly love is based on the experience that we’re all one. The differences in talents, intelligence, knowledge are negligible in comparison with the identity of the human core common to all men. In order to experience this identity it is necessary to penetrate from the periphery to the core. If I perceive in another person mainly the surface, I perceive mainly differences, that which separates us. If I penetrate to the core, I perceive our identity, the fact of out brotherhood. Love of the helpless, the poor and the stranger, are the beginning of brotherly love. To love ones flesh and blood is no achievement. The animal loves its young and cares for them. Only in the love of those who do not serve a purpose, does love begin to unfold. Compassion implies the element of knowledge and identification. “You know the heart of the stranger,” says the Bible, “for you were strangers in the land of Egypt;… therefore love the stranger!” The greatest impediment of mankind is not desease.. it is dispair. Extracts from – The Art of Loving – By Erich Fromm LAW INDEX SEVEN SPIRITS HOME PAGE